People Innovation Excellence

PENGUSULAN RUU PROLEGNAS JANGKA MENENGAH

Oleh SHIDARTA (Juni 2022)

Ada dua kondisi yang terkesan kontradiktif mencermati data yang diambil dari hasil evaluasi program legislasi nasional (prolegnas) bidang renlag di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Tahun 2021. Data itu memberi gambaran yang kurang menggembirakan terkait kinerja prolegnas dalam tiga periode prolegnas jangka menengah, yaitu kecilnya capaian undang-undang yang disahkan (lihat tabel di bawah). Bahkan, sampai pada semester pertama tahun 2022 ini, capaiannya baru 4.3% dari target. Sementara itu, pada sisi lain terdapat kondisi sebaliknya, bahwa Pemerintah ingin produksi peraturan perundang-undangan (tentu ini berarti juga undang-undang) tidak justru menghasilkan kesemrawutan akibat terlalu banyak aturan (over-regulated).



Bagaimana menyikapi dua kondisi yang bertolak belakang seperti ini? BPHN yang salah satu fungsinya adalah pelaksanaan perencanaan hukum, telah berinisiatif membuat pedoman pengusulan RUU prolegnas jangka menengah di lingkungan Pemerintah melalui laman “Seleksi RUU Prolegnas Jangka Menengah” (Selena) pada aplikasi sirenkum.bphn.go.id. Pedoman ini diharapkan dapat menjadi salah satu instrumen pengendalian usulan RUU prolegnas jangka menengah tahun 2025-2029 di lingkungan Pemerintah.

Pedoman ini memberi panduan cukup komprehensif kepada kementerian atau lembaga (K/L) yang menjadi pemrakarsa RUU. Pemrakarsa wajib membuat rencana usulan RUU, yang kemudian akan divalidasi substansi awalnya  oleh BPHN. Selanjutnya K/L akan melakukan evaluasi ex-ante untuk memperoleh analisis dampak pengaturan. Jika semua menunjukkan hasil yang dapat dipertanggungjawabkan, barulah RUU itu dinyatakan dapat diusulkan. Untuk itu, K/L wajib membuat penjadwalan (timeline) penyelesaiannya. Berdasarkan timeline ini akan dijadwalkan target tahun pembahasannya (prolegnas prioritas tahunan). Dari rangkaian kegiatan itu, terlihat bahwa peran BPHN untuk melakukan validasi substansi awal sangatlah penting dan menentukan. 

Tulisan pendek ini tentu sangat menghargai inisiatif yang telah dikembangkan dalam aplikasi Sistem Informasi Perencanaan Hukum (Sirenkum) ini. Mengingat sistem ini baru akan diterapkan untuk usulan periode 2025-2029, maka tentu masih cukup banyak waktu untuk menyempurnakan pedoman melalui aplikasi pada laman Sirenkum tersebut, sehingga lebih berdaya guna.

Jika dicermati, dapat saya simpulkan bahwa pedoman itu pada pokoknya mengambil dua pendekatan. Pertama, pendekatan normatif-sistematis. Pendekatan ini dijalankan oleh BPHN sebagai pemegang kendali agar rancangan yang dibuat tidak sampai mengganggu sistem hukum secara keseluruhan. Untuk itu, dikatakan bahwa BPHN akan melakukan validasi substansi awal, yaitu melihat ketepatan jenis peraturan dengan materi muatan serta konsistensi dengan asas lex superior derogat legi inferiori. Kedua, pendekatan empiris-sektoral. Pendekatan ini tampaknya dijalankan oleh K/L dengan cara melakukan evaluasi ex-ante. Oleh karena K/L adalah pemrakarsa, maka diasumsikan K/L tersebut bakal cenderung untuk menunjukkan dampak positif dari RUU tersebut, misalnya dengan memperlihatkan positive-externality cost yang akan timbul dari pemberlakuan peraturan itu. Kecenderungan demikian harus diantisipasi, dalam tidak boleh diterima begitu saja (taken for granted). BPHN wajib peduli terhadap objektivitas dari hasil evaluasi ex-ante ini, misalnya dengan meminta dilakukan lebih dari satu tim peneliti yang kredibel dengan metode yang berbeda satu dengan lainnya (triangulasi data). Hasil dari evaluasi tim K/L itupun perlu dikritisi, misalnya BPHN mengundang pakar dalam bidang keahlian yang relevan untuk membahasnya secara terbuka.

Tulisan ini akan memberi catatan kecil terhadap analisis (validasi substansi awal) melalui pendekatan pertama saja. Beberapa catatan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

  1. Analisis dengan pendekatan normatif-sistematis sangat perlu memantau semua potensi ketidaksinkronan suatu RUU dengan berbagai sumber hukum. Jadi, tidaklah cukup sekadar melihatnya secara vertikal dan/atau horisontal. Secara vertikal, analisis biasanya dianggap cukup hanya mengandalkan pengujian berdasarkan asas lex superior derogat legi inferiori; dan secara horisontal umumnya menggunakan asas lex specialis derogat legi generali dan asas lex posterior derogat legi priori. Padahal, di luar sesama peraturan perundang-undangan, masih terdapat sumber hukum seperti yurisprudensi, kebiasaan, dan doktrin.
  2. Pendekatan normatif-sistematis sangat memerlukan kajian meta-kaidah hukum. Di dalam kajian jenis ini, seorang analis wajib memetakan jenis-jenis aturan (secara garis besar dibedakan menjadi primer atau sekunder) dan keterkaitan di antara aturan-aturan itu. Misalnya, salah satu metakaidah itu berupa norma definisi. Di dalam pendekaan normatif-sistematis, semua konsep (pranata) hukum yang menjadi kata atau frasa kunci di dalam suatu RUU perlu untuk dibongkar definisinya satu demi satu dari sisi intensi dan ekstensinya. Jangan sampai ada terma konseptual yang didefinisikan minimalis dan “asal ada” tanpa peduli bahwa definiens seperti itu ternyata tidak menambah jelas pengertian dari terma definiendum-nya. Analis perlu mencermati apa konsekuensi dari tiap-tiap jenis definisi yang lazim digunakan dalam perancangan peraturan perundang-undangan.*
  3. Perlu diingat bahwa setiap RUU yang berangkat dari perspektif sektoral  pasti membawa asas-asas yang spesifik. Di sisi lain, terdapat asas-asas yang melekat pada area hukum yang lebih umum. Misalnya, asas persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law) adalah asas di dalam hukum secara general, berbeda cakupannya dengan asas legalitas di dalam hukum pidana. Namun, asas-asas itu tidak mengenal hierarki.** Asas persamaan kedudukan di hadapan hukum tidaklah lebih tinggi atau lebih rendah daripada asas legalitas. Asas juga tidak mengenal karakter semua atau tidak sama sekali (alle of niets karakter) maka kompromi yang terjadi di antara asas-asas ini harus juga menjadi bagian dari analisis. Jangan sampai analisis terjebak untuk memaknai asas cukup sekadar menyebutkannya secara terminologis tanpa memberi proposisi-proposisi (premis-premis) yang menarasikan asas tersebut dengan jelas. Hal inilah yang dikritik oleh Humberto Avila dalam bukunya “The Theory of Legal Principle”, dengan mengatakan bahwa asas itu kerap dipuja-puja sebagai dasar atau pilar dari tatanan hukum (Iegal order), tetapi ternyata tidak ada unsur apapun yang ditambahkan atas kehadiran asas itu, melainkan sekadar diproklamasikan (limited to the mere proclamation).**
  4. Setiap RUU akan menawarkan rezim hukumnya sendiri-sendiri yang berkelindan dengan rezim hukum pada area peraturan normatif lainnya. Rezim hukum pada hakikatnya adalah sebuah sistem hukum juga, namun ia wajib tunduk pada sistem hukum yang lebih luas, baik sistem hukum nasional, bahkan sistem hukum internasional. Untuk mencermati hal ini secara makro, perlu ada pemahaman terkait empat permasalahan dari sistem hukum dari RUU ini, antara lain dengan melihat problem of existence, problem of identity, problem of structure, dan problem of content.***
  5. Pada akhirnya, pendekatan normatif-sistematis akan mencermati derajat keaturan (degree of ruleness) dari setiap ketentuan yang ada di dalam RUU. Ada banyak landasan teori yang dapat digunakan untuk mengukur derajat tersebut. Apabila secara garis besar dapat dibedakan ada norma memaksa dan mengatur, maka hal ini masih perlu didalami lagi dengan melakukan evaluasi fungsi sosial dari aturan dan evaluasi normatif atas nilai substansial sistem aturan.**** Di sini, sekilas terkesan bahwa evaluasi fungsi sosial ini mulai pergi meninggalkan posisi awalnya sebagai pendekatan normatif. Namun, oleh karena evaluasi fungsi sosial ini masih berada dalam tataran hipotetis (untuk melihat reaksi masyarakat seandainya RUU itu menjadi bagian dari hukum positif), maka evaluasi fungsi sosial inipun sebenarnya belum beranjak terlalu jauh dari posisi awal tadi.  Dalam hal demikian, memang ada baiknya dibuat simulasi-simulasi dengan menghadapkan aturan-aturan tertentu kepada kasus-kasus kompleks (hard-cases) yang dibayangkan akan terjadi dan ada anggota masyarakat yang dijadikan sampel (responden, informan, atau istilah lain yang relevan) untuk menyerap dan mencerap fungsi sosial ini.

Lima hal di atas masih dapat ditambah lagi dengan banyak catatan yang menunjukkan perlunya para analis pada tahapan validasi subsanti awal itu bersentuhan dengan kerangka berpikir yang mumpuni berkenaan dengan kajian-kajian metakaidah. Mengingat tantangan yang muncul dari setiap RUU itu berbeda-beda, maka pisau analisis yang dipakai juga tidak mungkin tunggal. Artinya, para analis perlu menyiapkan berbagai kerangka berpikir terkait pendekatan normatif-sistematis ini. Mengingat wacana tentang metakaidah ini menjadi bagian penting dalam diskursus teori hukum (jurisprudence), maka para analis yang menggunakan pendekatan normatif-sistematis ini perlu terlibat dalam perbincangan tentang kajian-kajian mutakhir mengenai konsep hukum dan sistem hukum. Tidak terhindarkan bahwa diskursus dalam area ini pada gilirannya akan menggapai pula dimensi filosofis dari hukum.


NOTES:

*) Lihat J.J.H. Bruggink dalam “Refleksi tentang Hukum”. Pembaca yang ingin mengikuti rangkaian diskusi tentang buku ini dapat mengunjungi: https://business-law.binus.ac.id/2022/03/04/membaca-bruggink/ Sementara itu, tentang jenis-jenis definisi yang lazim dipakai dalam perancangan peraturan perundang-undangan, dapat mengacu ke tulisan Philip Eijlander dan Wim Veermans, “Wetgevingsleer” (2000: 232-238).

**) Humberto Avila meyakni bahwa rules dan principles itu memiliki kesamaan posisi, dalam arti tidak ada yang lebih tinggi. Beda halnya dengan postulat. Avila memperluas konsepnya dengan menambahkan postulat pada rules dan principles dengan memasukkan kriteria seperti proporsionalitas, kewajaran, dan efisiensi dan kepastian hukum, (padahal semua ini biasa disebut principles). Pembaca yang ingin mengikuti rangkaian diskusi tentang buku ini dapat mengunjungi:https://business-law.binus.ac.id/2022/03/30/membaca-avila/

***) Keempat problem ini menjadi alat kritik dari Joseph Raz dalam bukunya “The Concept of A Legal System”. Pembaca yang ingin mengikuti rangkaian diskusi tentang buku ini dapat mengunjungi: https://business-law.binus.ac.id/2022/06/06/membaca-joseph-raz/

****) Lihat misalnya penjelasannya melalui teori Presumptive Positivism dari Frederick Schauer dalam bukunya “Playing by the Rules”. Pembaca yang ingin mengikuti rangkaian diskusi tentang buku ini dapat mengunjungi: https://business-law.binus.ac.id/2022/05/06/membaca-schauer/



Published at :

Periksa Browser Anda

Check Your Browser

Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

We're Moving Forward.

This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

  1. Google Chrome
  2. Mozilla Firefox
  3. Opera
  4. Internet Explorer 9
Close