People Innovation Excellence

KEKUATAN PEMBUKTIAN SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH

Oleh ERNI HERAWATI (Juli 2016)

Beberapa waktu lalu mengemuka berita mengenai adanya kasus mafia tanah di daerah Jakarta, khususnya kasus pembelian lahan seluas 4,6 hektar di wilayah Cengkareng. Secara singkat kasus ini mulai terangkat dikarenakan adanya peninjauan laporan hasil pemeriksaan (LHP) oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Pemprov DKI Jakarta tahun anggaran 2015. Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Perumahan pada tahun 2014 membeli tanah di Cengkareng tersebut untuk kepentingan pembangunan rumah susun sewa. Pada akhirnya diketahui bahwa pada bidang tanah yang sama, terdapat lebih dari satu pihak yang memiliki sertipikat hak atas tanah tersebut. Terdapat dugaan bahwa ada kemungkinan oknum pegawai pemerintah yang bermain untuk mengambil keuntungan atas kasus pembelian tanah tersebut (kompas.com, detik.com, m.merdeka.com). terlepas darikasus di atas, ada hal yang perlu dicermati dalam kasus ini yaitu sejauh manakah sertipikat dapat dipakai sebagai alat bukti kepemilikan hak atas tanah? Hal ini penting, mengingat banyak kasus sejenis yang terjadi di Indonesia di mana terdapat lebih dari satu sertipikat hak atas tanah terhadap bidang tanah yang sama.

Sertipikat hak atas tanah diterbitkan untuk kepentingan kegiatan pendaftaran tanah. Baik pendaftaran tanah untuk pertama kalinya atas bidang-bidang tanah yang masih dikuasai dengan hak milik adat dan juga kepentingan pemeliharaan data. Bidang tanah dengan hak tanah adat artinya belum dilakukan pendaftaran hak atas tanah sesuai dengan hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Sedangkan pemeliharaan data merupakan kegiatan yang dilakukan untuk kepentingan pemeliharaan data terhadap perubahan data fisik dan data yuridis. Biasanya hal ini terjadi jika ada proses pemindahan hak atas suatu bidang tanah.

Dalam UUPA disebutkan bahwa pendaftaran tanah dilakukan untuk menjamin kepastian hukum. Salah satu kegiatan pendaftaran tanah adalah pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat (Pasal 19 UUPA). Sejalan dengan UUPA, PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan bahwa tujuan pendaftaran tanah ini adalah untuk kepastian dan perlindungan hukum, menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dan terselenggaranya tertib administrasi. Demi kepastian hukum tersebut, maka diterbitkan sertipikat hak atas tanah.  Data yang ada dlam sertipikat terdiri dari data fisik dan data yuridis. Data tersebut tidak hanya tercantum dalam sertipikat saja, tetapi juga dalam register di kantor pertanahan. Sehingga seharusnya tidak dimungkinkan aanya data yang tumpang tindih dalam satu bidang tanah yang sudah terdaftar.

Proses pendaftaran tanah yang dilakukan oleh pemerintah (dalam hal ini oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang) pada akhirnya akan membuat informasi di bidang pertanahan menjadi terpetakan dan terbuka dengan jelas. Kejelasan dan kekuatan informasi yang diterbitkan oleh Kementrian ini akan terkait dengan sistem publikasi apa yang dianut oleh kita. Dalam penjelasan PP No. 24 Tahun 1997 disebutkan bahwa sistem publikasi dalam pendaftaran tanah di Indonesia adalah sistem publikasi negatif. Artinya adalah meskipun dalam peraturan ini memberikan penegasan mengenai sejauh mana kekuatan pembuktian sertipikat seperti yang diamanatkan oleh UUPA, namun selama belum dibuktikan sebaliknya maka data fisik dan data yuridis yang ada dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam sengketa di Pengadilan. Kalimat ini pada akhirnya membuat adanya ketidakjelasan atas ketentuan tentang kekuatan pembuktian sertipikat sebagai alat bukti yang kuat. Karena ada persyaratan bahwa untuk dapat menjadi alat bukti yang kuat atas suatu kepemilikan hak atas tanah, yaitu : 1) sepanjang data yang fisik dan data yuridis sesuai dengan yang tercantum dalam sertipikat; 2) sepanjang lima tahun penerbitan sertipikat oleh individu atau badan hukum dengan itikad baik, tidak ada pihak yang menggugat. Dari uraian tersebut di atas, maka  dapat disimpulkan bahwa sebetulnya Indonesia menganut sistem publikasi yang tidak murni negatif karena ditegaskan bahwa sertipikat adalah tanda bukti yang kuat. Hal ini merupakan ciri dari sistem publikasi positif. Sebaliknya sistem publikasi negatif tidak menggunakan sistem pendaftaran hak, negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Dengan sistem yang seperti ini menyebabkan masih akan ada potensi terjadinya sengketa hak atas tanah, karena peraturan perundang-undangan bidang pertanahan pun belum dapat menjamin kepastian hak si pemegang hak atas tanah dari gangguan pihak lain. Karena data yang tercantum dalam sertipikat pun masih bisa dimungkinkan sebagai data yang tidak benar. (***)


Screen.Shot.2015.10.19.at.05.50.43


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close