People Innovation Excellence

PENYELESAIAN PIUTANG TAK TERTAGIH MENURUT HUKUM PERPAJAKAN

 

Oleh JANUARDO S.P. SIHOMBING (Maret 2016)

Dalam transaksi bisnis, utang yang diberikan oleh suatu entitas hukum (Kreditur) kepada pihak lain (debitur) merupakan aset yang berbentuk Piutang bagi Kreditur sebagaimana tercermin dalam neraca keuangannya. Walau demikian, sebagian dari asset tersebut memungkinkan, baik apakah itu sebagian ataupun keseluruhan menjadi tak tertagih sebelum jangka waktunya berakhir. Hal ini diakibatkan oleh kondisi-kondisi tertentu yang ada di sisi Debitur, di antaranya keuangan debitur yang tidak sehat akibat pengaruh faktor internal maupun eksternal dari sisi bisnis debitur.

Dalam beberapa literatur, piutang tak tertagih juga disebut sebagai “bad debt” sebagaimana merujuk dalam pemahaman gramatikal berikut: “Bad debt means the debt which cannot be collcted. An income tax deduction is allowed for bad debts.[1]. Terminologi ini hendak menunjukkan implikasi hukum atas utang yang tidak bisa ditagih, di mana hal ini menimbulkan hak secara hukum bagi Kreditur untuk memperlakukan status piutang tak tertagihnya itu menjadi biaya yang dapat menjadi faktor pengurang Pajak Penghasilan.

Secara perikatan hukum, sebuah Perjanjian Utang Piutang yang diberikan oleh Kreditur kepada Debitur telah mengatur mengenai pembayaran pinjaman dan bunga. Oleh karena Kreditur mengakui adanya potensi gagal bayar dari Debitur, maka biasanya suku bunga yang dikenakan kepada Debitur secara umum lebih tinggi dari suku bunga terhadap pinjaman yang tak beresiko (secured-loan).

Secara historikal,[2] ada 2 (dua) buah metode yang biasanya dipergunakan untuk menghitung penghapusan atas “bad debts” yakni charge-off / direct write-off (PENGHAPUSAN LANGSUNG) dan reserve method (BERTAHAP MELALUI CARA DICADANGKAN) . Dalam charge-off method, jumlah yang tidak bisa ditagih itu diakui dalam nilai yang sama juga sebagai biaya (PIUTANG TAK TERTAGIH = BIAYA), atau dalam bahasa lain ketika piutang sudah tidak tertagih lagi, maka hal tersebut direalisasikan dengan mengurangi saldo piutang dan memunculkan biaya piutang tak tertagih. Jika ternyata, nilai utang yang awalnya tidak bisa ditagih itu akhirnya dapat dibayarkan di kemudian hari oleh Debitur, maka hal tersebut diperlakukan sebagai “Penghasilan Lain-Lain”.

Sementara itu, dalam reserve method, piutang dicatat sebesar nilai nominal sampai mereka benar-benar menjadi tidak tertagih. Oleh karenanya, DIBENTUK SUATU CADANGAN sesuai dengan fakta hukum yang ada terkait jumlah piutang yang benar-benar tidak bisa ditagih. Kedua metode tersebut memiliki tingkat kesulitan dalam mengidentifikasi kapan suatu utang tersebut sebenarnya menjadi tidak dapat ditagih di masa depan oleh Kreditur.

Dalam hukum positif Indonesia, hal-hal terkait piutang tak tertagih diatur dalam Pasal 6 ayat 1 huruf h Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (“UU PPh”) yang berbunyi,“piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih (dan memenuhi syarat tertentu) dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena pajak (sebagai deductable expenses).” Syarat-syarat yang ditetapkan agar biaya kerugian penghapusan piutang tersebut dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto adalah sebagai berikut :

  1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial ;
  2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
  3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau
  4. adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;

Dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh tersebut dijelaskan: “Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak (red. Kreditur) telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial dan telah melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir, misalnya melakukan somasi secara patut kepada Debitur, mengadakan pertemuan untuk melakukan penyelesaian utang piutang dengan Debitur, dan upaya maksimal lainnya.”

Secara spesifik, konsekuensi/dampak hukum yang muncul akibat dipergunakannya ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh (unsur butir 4) di atas adalah sebagai berikut:

  1. Utang Debitur Lunas, berlaku ketentuan Pasal 1439 KUH Perdata yang pada intinya menggaris bawahi bahwa,” Pembebasan utang adalah suatu perikatan yang menyatakan bahwa kreditur dengan SUKARELA membebaskan debitur dari segala kewajiban utangnya.”
  2. Pembebasan utang tersebut berakibat bahwa Debitur mendapatkan keuntungan karena utangnya lunas sehingga mewajibkan Debitur untuk membayar kewajiban perpajakannya (Pasal 4 ayat [1] huruf k UU PPh);[3]
  3. Piutang Kreditur yang tidak bisa ditagih tersebut bergeser menjadi Biaya dalam laporan laba rugi Kreditur (red. Biaya Piutang Tak Tertagih) yang menjadi faktor pengurang terhadap penghasilan kena pajak (taxable income) bagi Kreditur.

Dari hasil uraian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa metode penyelesaian atas piutang tak tertagih dimungkinkan menggunakan cara yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh, di samping beberapa cara lain yang lazim dipergunakan dalam praktek seperti misalnya melakukan restrukturisasi utang, penyelesaian melalui mekanisme PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) dan/atau Kepailitan, Gugatan Wanprestasi, dan/atau upaya hukum lainnya.


REFERENSI:

[1] Webster’s Dictionary of Law, Indian Edn., 2005, hal. 41

[2] Julio Escalano, Parthasarathi Shome, Tax Policy Handbook, (Washington D.C.: International Monetary Fund), 1995, hal. 145-146.

[3] Syarat ini tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih atas debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k UU PPh; Hal mana juga sebagaimana diatur dalam PP Nomor 130 Tahun 2000, dimana penghapusan piutang terhadap debitur dengan kriteria tertentu dikecualikan dari objek pajak, yakni untuk utang sampai batasan Rp 350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah).


Screen.Shot.2016.02.29.at.15.54.36


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close