People Innovation Excellence

PEMBERITAAN ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM: BERKACA DARI KASUS AG

Oleh AHMAD SOFIAN (Maret 2023)

Dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh MDS, bersama dengan rekannya LS dan seorang anak yang berusia 15 tahun, telah menyita perhatian banyak pihak akhir-akhir ini. Saya sendiri diposisikan sebagai ahli pidana yang dihadirkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk memberikan keahlian terkait kasus ini.

Peristwa ini bermula dari keinginan MDS untuk bertemu anak korban D yang masih belum jelas masalah yang dihadapi oleh MDS dan D, karena D sendiri masih berada di rumah sakit yang membutuhkan perawatan khusus. Keterangan sementara berdasarkan apa yang disampaikan MDS dan AG adalah keinginan AG memulangkan kartu pelajar, yang kemudian disambut MDS untuk menyelesaikan “persoalan” dirinya dan D.

Setelah berhasil “menjebak” D, MDS pun akhirnya keluar dari mobil dan menghampiri D, menggiring D ke tempat “penganiyaan”. Akhirnya D terkapar setelah menerima beberapa kali pukulan dan tendangan dan LS terlibat dalam  ikut serta/menbantu menganiaya dan melakukan perekaman penganiayaan tersebut. Dalam rekonstruksi yang saya saksikan di media, MDS sempat “selebrasi” setelah D tidak berdaya.

Lalu di manakah peran AG? Dalam banyak pemberitaan AG diduga terlibat dalam memancing keluar dari lokasi keberadaan D, dengan mengatakan ingin memulangkan kartu pelajar kepada  D.  Tulisan pendek ini, akan mengulas proses hukum yang seharusnya dilalui AG jika dalam penyidikan Kepolisian menemukan adanya bukti permulaan bahwa  AG terlibat sebagai pelaku (penyertaan atau perbantuan). Analisa pendek ini tentunya menggunakan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak  (UU RI No. 11/2012) dan pandangan saya sebagai ahli pidana.

Dalam   Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut SPPA), AG  digolongkan sebagai  anak yang berhadapan dengan hukum (children conflict with law). Anak yang berhadapan dengan hukum (selanjutnya disebut ABH), memiliki tiga jenis, yaitu sebagai  anak sebagai saksi, anak sebagai korban  dan  anak sebagai pelaku (sering disebut pelaku anak).  Batas usia ABH yaitu ketika melakukan dugaan tindak pidana, usianya belum berusia 18 tahun. Dan AG masih berusia 15 tahun saat terlibat dalam tindak pidan ini. Dalam segala proses pemeriksaan apakah sebagai saksi, korban dan pelaku, harus menerapkan prinsip pemeriksaan yang ramah anak (child friendly procedure). Dalam proses pemeriksaan yang ramah anak ini, maka anak dijauhkan dari media, anak tidak diperiksa oleh penyidik yang telah memiliki “sertifikat” sebagai penyedik anak, pemeriksaan dilakukan di tempat yang aman yang nyaman bagi anak, tidak menggunakan seragam saat pemeriksaan dan memperhatikan kepentingan terbaik anak. Stigma sebagai ABH itu sangat mengganggu tumbuh kembang anak, dan perkembangan psikologi anak, sehingga segala pemberitaan dan ekspos terhadap ABH harus dijauhkan. Penyidik bertanggung jawab untuk mencegah segala macam pemberitaan terhadap ABH.

Identitas anak pun harus disembunyikan. Identitas bukan saja soal nama, tetapi juga foto, video, gambar, harus dihindari dan penyidik bertanggung jawab untuk menjauhkan anak dari pemberitaan dan ekspos ketika anak harus diperiksa oleh penyidik anak.

Dalam penanganan AG mulai dari pemeriksaan di Polres Jakarta selatan, kemudian dipindahkan ke Polda Metro Jaya, terlihat bahwa media telah menanti-nanti momen pemeriksaan AG. Kemudian AG akhirnya diperiksa di Polda Metro Jaya pada Rabu 15 Maret 2023. Media telah menanti kehadiran AG. Dan hal inilah yang tidak diantisipasi Polda Metro Jaya, pasca pemeriksaan AG lalu polda menetapkan untuk menahan AG. Para media serta selegram, tiktoker, youtuber, ikut meramaikan momen ini serta mengeksposnya secara besar-besaran ke publik. Situasi ini tentu saja sudah melanggar prinsip perlindungan identitas ABH sebagaimana diatur dalam UU 11/2012, bahkan ada ancaman pidana atas pelanggaran perlindungan identitas ABH.  Polda Metro jaya juga “ikut serta” atau berkontribusi atas tereksposnya secara besar-besar gambar, video AG ke publik. Dalam perlindungan identitas ABH, segala bentuk penampakan ABH dilarang, meskipun wajahnya di bluur atau menggunakan masker sekalipun.

Solusi

Dalam penanganan ABH, UU No. 11/2012 telah meletakkan dasar-dasar atau prinsip dan panduan dalam memberitakan ABH. Penyidik tidak harus memeriksa anak di kantor polisi. Jika dipandang perlu untuk kepentingan terbaik anak, anak yang berhadapan dengan hukum bisa diperiksa di tempat yang aman, apakah di rumah anak, di tempat yang tersembunyi jauh dari media, atau tempat-tempat yang anak merasakan kenyamanan ketika diperiksa. Jadi penyidik bisa membuat keputusan yang tepat dalam melakukan pemeriksaan yang ramah anak. Penyidk tidak harus menggiring anak ke kantor polisi untuk diperiksa, polisi bisa membuat keputusan untuk memindahkan proses verbal pada anak ketika menemukan fakta banyaknya media yang berkerumun di kantor polisi. Dengan demikian penyidik paham betul prinsip-prinsip pemeriksaan yang ramah anak.

Dalam UN Convention tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum  yang dikenal dengan Beijing Rules juga telah memberikan panduan bagaimana menjauhkan anak  dari  pemberitaan atau ekspos publik.  Hal ini dimandatkan oleh Beijing Rules untuk menghindari stigma negatif  dari publik. Jika kita cermati kasus AG,  cap negatif tersebut telah diberikan oleh publik setelah membaca, mendengar, menyaksikan ekspose kasus ini, dan stigma ini tentu saja sangat membahayakan masa depan anak. Untuk itu, Kepolisian, Kejaksaan dan pengadilan yang akan melanjutkan proses ini, harus memastikan tidak ada lagi ekspose atas keterlibatan AG dalam kasus ini. Cukuplah orang dewasa saja yang diberitakan, yaitu MDS dan S. Bisa saja, AG adalah korban dari skenario MDS dan S.  Kegagalan Lembaga penegakan hukum dalam mencegah ekspose identitas anak ke publik, menunjukkan proses pemeriksaan ABH yang tidak ramah anak, dan berpotensi dilaporkan ke Komite Hak Anak PBB. (***)


 

 

 


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close