PERTANYAAN YANG MENJERAT
Kalau boleh saya ingin bertanya Pak, mengenai “pertanyaan yang bersifat menjerat”. Dalam pasal 166 KUHAP dinyatakan pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi. Yang ingin saya tanyakan apakah Pasal 166 tersebut berlaku juga untuk ahli? (apakah hakim boleh bertanya yang bersifat menjerat kepada ahli?). Karena menurut hemat saya dalam KUHAP tidak digunakan istilah “saksi ahli” yang digunakan ialah “ahli”. Seperti Pasal 184 tentang alat bukti “keterangan ahli”. Terimakasih pak, maaf mengganggu.
Pertanyaan yang menjerat, dalam buku teks logika disebut sebagai complex question, yang dibahas dalam topik kesesatan penalaran (fallacy). Jadi, pertanyaan demikian mendorong orang yang ditanya untuk tidak bisa menjawab secara tepat karena apapun jawaban yang diberikan akan menyudutkan posisi si pemberi jawaban. Sebagai contoh, seorang hakim bertanya kepada seorang terdakwa, “Apakah Saudara telah berhenti memukul isteri Anda sekarang?”. Pilihan jawaban yang diinginkan oleh hakim adalah “Ya” atau “Tidak”. Padahal, si terdakwa ini sedang diperiksa untuk suatu tindakan pemukulan yang disangkalnya sejak awal. Ia merasa tidak pernah memukul isterinya. Tapi, ketika ditanya dengan bentuk pertanyaan seperti itu, ia dalam keadaan sulit untuk menjawab apapun. Jika ya, berarti ia memang pernah memukul isterinya (sekalipun sekarang tidak lagi). Jika tidak, berarti ia juga pernah memukul isterinya (dan itu terus terjadi sampai sekarang). Oleh sebab itu, pertanyaan yang menjeratkan seperti ini tidak boleh sampai diajukan oleh siapapun, baik oleh jaksa, penasihat hukum, maupun hakim; dan kepada siapapun, baik itu kepada terdakwa, saksi, atau ahli. Dengan demikian, walaupun Pasal 166 KUHAP tidak menyebut kata “ahli” di situ, pada hakikatnya ahli termasuk sebagai subjek-subjek yang terlibat dalam aktivitas persidangan. Semua subjek itu wajib menghormati bunyi Pasal 166 KUHAP. Hal ini karena pengajuan pertanyaan yang menyesatkan adalah bentuk ketidakadilan dan ketidakprofesionalan aparat penegak hukum. Mereka yang mengajukan pertanyaan seperti itu, dapat teridentifikasi melanggar kode etik profesinya. Sebagai contoh, silakan lihat Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang ditetapkan melalui Keputusan Bersama Ketua MA dan Ketua KY Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009, khususnya pada butir 1.1(7) dan butir 10.
Ahli yang memberikan keterangan di pengadilan, bisa diajukan oleh jaksa atau penasihat hukum (mewakili terdakwa). Apabila kasusnya perdata, maka ahli bisa diajukan oleh penggugat atau tergugat. Ahli hanya memberikan keterangan berangkat dari bidang keahliannya. Ahli bukanlah saksi yang mengalami, menyaksikan, atau mendengar langsung peristiwa hukum yang sedang diadili. Oleh sebab itu, jika ahi mendapati ada pertanyaan yang tidak relevan terkait dengan bidang keahlian dalam konteks peristiwa hukum yang sedang diadili, ia berhak untuk menolak memberikan jawaban. Apalagi untuk pertanyaan-pertanyaan yang menjerat seperti itu, maka ia harus bisa menghindarkan diri untuk tidak menjawabnya. Hakim dan siapapun di persidangan tidak dapat memaksa ahli untuk menjawab pertanyaan seperti itu.
Demikian juga dengan terdakwa atau saksi yang mendapat pertanyaan seperti itu, maka terdakwa atau saksi itupun boleh menolak memberikan jawaban. Dalam persidangan, sering pihak penasihat hukum dengan sigap mengajukan keberatan jika ada pertanyaan dari jaksa penuntut umum (bahkan dari hakim) yang menjerat terdakwa. Hal yang sama dapat saja terjadi untuk saksi (biasanya saksi korban) yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. JIka ada pertanyaan dari penasihat hukum yang menjerat seperti itu, sementara saksinya tidak sadar adanya pertanyaan demikian, pihak jaksa penuntut umum seyogianya mengajukan keberatan atas pertanyaan seperti itu. Dengan demikian, akan ada keseimbangan di antara pihak-pihak dalam persidangan.
Bagi para profesional yang diajukan untuk memberikan keterangan, maka terhadap mereka seharusnya istilah “ahli” memang lebih tepat digunakan daripada “saksi” atau “saksi ahli”. Oleh sebab itu ada perbedaan antara keterangan saksi dan keterangan ahli. Namun, dalam praktik istilah “saksi ahli” rupanya sangat populer dan luas dipakai. Sebagai orang yang berkecimpung di dalam dunia hukum, kita sepatutnya menggunakan terminologi yang memang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan. (***)
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...