PENGUJIAN KEBIJAKAN PENGOSONGAN KOLOM AGAMA DI KK DAN KTP
Pada tanggal 2 Februari 2017 lalu, bertempat di Mahkamah Konstitusi RI, kembali berlangsung sidang uji material (perkara nomor 97/PUU-XIV/2016) atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan jo. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dosen Jurusan Hukum Bisnis (Business Law) BINUS, Shidarta, tampil menjadi ahli yang keterangannya disampaikan untuk mendukung para pemohon.
Menurut Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) UU Adminduk, kolom agama bagi para penghayat kepercayaan (agama yang belum diakui oleh negara) diperintahkan untuk tidak diisi pada kartu keluarga dan kartu tanda penduduk mereka. Penyelenggara negara berkilah bahwa pengosongan itu tidak berarti negara tidak melayani para penghayat kepercayaan itu. Data tentang kepercayaan mereka tetap dicatat dalam database kependudukan, hanya saja tidak dicantumkan di dalam kartu keluarga dan kartu tanda penduduk (KTP-el).
Menurut Shidarta sebagai ahl filsafat hukumi, kedua ayat dalam UU Adminduk di atas menunjukkan ada perlakuan berbeda bagi penganut agama yang diakui dan belum diakui (masih diberi label penghayat kepercayaan). Sangat disayangkan Penjelasan UU Adminduk sama sekali tidak menyatakan apa-apa, padahal ketentuan tersebut sungguh-sungguh serius karena berpotensi kontradiktif terhadap unsur filosofis dari keberadaan UU Adminduk itu sendiri. “Perlakuan berbeda tanpa ada alasan rasional yang dapat dibenarkan merupakan bentuk perilaku diskriminatif. Padahal, bunyi konsiderans pertama dari UU Adminduk seperti dikutip di atas jelas-jelas mengatakan bahwa negara berkewajiban memberikan “perlindungan dan pengakuan” terhadap penentuan status pribadi (mohon dibaca: termasuk di dalamnya data perseorangan) dari tiap-tiap penduduknya. Pengakuan inilah yang saat ini diharapkan datang dari negara, tidak sekadar disimpan di dalam database kependudukan, namun juga diakui secara eksplisit dalam kolom-kolom dokumen resmi seperti kartu keluarga dan kartu tanda penduduk,” demikian pandangan ahli.
Shidarta juga mencatat kebijakan negara seperti ini menunjukkan implementasi dari negara hukum Indonesia sebagaimana diamanatkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 belum sepenuhnya beralan seperti diharapkan. Ibarat orang yang memakai baju, ujar Shidarta, negara hukum kita seperti orang yang badannya kurus tetapi mengenakan baju yang superbesar (kedodoran). Negara seperti ini hanyalah negara yang secara formal menjanjikan banyak hal, tetapi dalam praktiknya tidak mampu merealisasikan janji-janji itu. Negara yang menerapkan standar ganda karena ketidakmampuan mengambil sikap yang jelas. Isu yang diangkat dalam pengujian UU Adminduk ini memperlihatkan fenomena demikian.
Pertama, dapat dicermati bagaimana ketindaksinkronan antara landasan filosofis dari kewajiban negara untuk “melindungi dan mengakui penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh [setiap] penduduk” dengan tindakan untuk mengosongkan data peseorangan tentang agama/kepercayaan yang notabene adalah elemen penting terkait peristiwa kependudukan/penting tersebut.
Kedua, ketidaksinkronan antara keinginan negara untuk meminta pencantuman data “agama/kepercayaan” sebagai data perseorangan (Pasal 58 UU Adminduk menuliskan kata “agama” ini bergandengan dengan kata “kepercayaan”) dengan perintah untuk mengisi data “agama” tetapi mengosongkan data “kepercayaan” bagi penduduk yang agamanya belum diakui oleh negara. Ketidaksinkronan sikap kita untuk di satu pihak ingin melindungi dan mengakui, tetapi di lain pihak ingin meniadakan, bukan ciri yang layak diterima sebagai karakter negara hukum.
Ketiga, secara sosiologis, ketidaksinkronan sikap para penyelenggara administrasi negara dalam melayani masyarakat dengan cara mengosongkan kolom agama pada kartu keluarga dan kartu tanda penduduk (KTP-el), telah memberi dampak yang sudah diungkapkan oleh para pemohon. Beberapa di antara mereka mengungkapkan kesulitan yang dialami tatkala mereka harus mendapat pelayanan publik, seperti bekerja dan bersekolah. Ada instansi yang khawatir menerima mereka untuk bekerja atau anak-anak mereka untuk bersekolah ketika didapati kolom agama tidak diisi pada kartu keluarga dan kartu tanda penduduk mereka. Kondisi seperti ini mengarahkan warga masyarakat tersebut ke dalam kematian perdata (civiliter mortuus; burgelijke dood). Larangan tentang kematian perdata ditulis dalam Pasal 3 Kitab Hukum Acara Perdata. Rumusan asli pasal ini berbunyi sebagai berikut: “Geenerlei straf heeft den burgerlijken dood of het verlies van alle burgerlijke regten ten gevolge” (Tiada suatu penjatuhan hukuman yang dapat mengakibatkan seseorang mati perdata atau kehilangan semua hak-hak sipilnya).
Para pemohon dalam pengujian berasal dari unsur-unsur (1) komunitas Marapu di Sumba Timur, Pulau Sumba, (2) penganut kepercayaan Parmalim di Sumatera Utara, (3) penganut kepercayaan Ugamo Bangsa Batak di Medan,Sumatera Utara, (4) penganut kepercayaan Sapto Darmo yang berkembang terutama di pulau Jawa. Mereka berharap Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Adminduk bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai (conditionally constitusional) frasa “agama” termasuk juga “kepercayaan”; dan menyatakan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) UU Adminduk bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya. (***)