People Innovation Excellence

‘MEDIA BRIEFING’ DARI DOSEN HUKUM BINUS UNTUK KASUS HARIS AZHAR

Screen.Shot.2016.08.08.at.17.20.44


Pada tanggal 8 Agustus 2016, bertempat di Resto 9 Square, bersebelahan dengan Kampus Anggrek BINUS, dilangsungkan media briefing oleh para dosen Jurusan Business Law BINUS. Acara ini dihadiri oleh sejumlah dosen, seperti Dr. Ahmad Sofian dan Dr. Shidarta. Sementara pembahas lain, yakni Dr. Bambang Pratama menyempatkan memberikan catatan secara tertuis, kendati berhalangan hadir. Acara ini juga didukung oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang diwakili oleh Supriyadi W. Eddyono, S.H.  Dari unsur media tampak hadir beberapa jurnalis, antara lain kompas.com dan hukumonline.com. Topik yang diangkat dalam acara ini adalah tentang Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Institusi Negara: justified or not?

Menurut Ahmad Sofian, pencemaran nama baik dari perspektif hukum pidana tidak terlepas dari Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Pencemaran nama baik melalui media elektronik diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektornik (ITE) yaitu UU No. 11 Tahun 2008. Objek pencemaran nama baik dalam Pasal 310 dan 311 adalah orang, sedangkan pihak yang melakukan pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak disebutkan. Artinya orang yang mencemarkan sebuah institusi pun “berpotensi” dipidana. Namun demikian, harus dipahami bahwa Pasal 27 ayat (3) genusnya harus dikembalikan kepada Pasal 310 dan 311, artinya jika ingin ditafsirkan maka pihak pencemaran nama baik adalah orang per orang.

Dalam sejarah Mahkamah Agung, Pasal 27 ayat (3) pernah dipergunakan dalam kasus Prita Mulyasari. Pada kasus ini, Prita dituduh mencemarkan nama baik sebuah rumah sakit. Namun yang melaporkan kasus ini adalah dua orang tenaga dokter yang disebutkan dalam email tuduhan pencemaran nama baik tersebut. Rumah sakit sebagai sebuah institusi tidak terlibat dalam pihak yang melaporkan Prita. Kasus ini dalam tingkat pertama (Pengadilan Negeri) membebasksn Prita, namun dalam Putusan Kasasi menghukum Prita dan pada tingkat Peninjauan Kembali (PK), membebaskan Prita.[3]

Referensi lain yang patut dipertimbangkan adalah dalam uji materiil Pasal 27 ayat (3) dan lalu diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam salah satu pertimbangan MK menyatakan bahwa pasal 27 ayat (3) adalah pasal yang termasuk dalam kategori delik aduan.[4] Dalam doktrin hukum pidana, delik aduan adalah delik yang korbannya adalah manusia bukan institusi. Dengan demikian, maka pasal 27 ayat (3) jika menggunakan dua analisa di atas maka masuk dalam kategori yang korbannya adalah manusia bukan institusi.

Ahli filsafat dan teori hukum Dr. Shidarta menegaskan bahwa pasal-pasal dalam pencemaran nama baik dalam KUHP sejak awal memang didesain untuk pencemaran terhadap pribadi, bukan terhadap institusi, apalagi institusi negara. Hal ini terlihat dari teks asli kata “een ambtenaar” yang bermakna seorang pejabat dalam redaksi asli KUHP. Kata pejabat ini mengacu ke personala, bukan institusi jabatannya. Pasa 310 ayat (3) KUHP mengecualikan pembelakuan Pasal 310 apabila dilakukan untuk kepentingan umum. Filosofi dari ketentuan ini memberi batasan tentang adanya fungsi yang melekat pada instiusi negara sebagai pengemban kepentingan umum, sehingga segala informasi yang terkait dengan fungsi suatu institusi harus pertama-tama dibaca dalam konteks mendukung kinerja institusi itu dalam menjalankan fungsinya, bukan dimaknai sebaliknya.

Beliau juga menambahkan bahwa institusi negara yang menjalankan fungsi-fungsi negara dengan sendirinya menjalankan kepentingan umum. Oleh sebab itu, apabila ada warga negara yang memberi informasi terkait kinerja suatu institusi negara, harus jangan langsung dicurigai sebagai pencemaran nama baik atas insitusi itu. Bagaimanapun warga negara itu juga punya kepentingan untuk mendapatkan institusi negara yang melindungi kepentingannya juga sebagai bagian dari kepentingan umum. Lain halnya jika informasi itu ternyata tidak berkaitan dengan institusi negara, melainkan kepada personalia tertentu. Apabila informasi itu ternyata sengaja disebarluaskan untuk membuat pihak yang bersangkutan malu, demi maksud merusak harga diri dan martabatnya (bukan untuk kepentingan umum), maka dengan sendirinya konteksnya sudah berbeda.

Dalam kasus Haris Azhar ini, memang tidak dapat dicegah jika ada pemimpin institusi negara yang merasa lembaganya mungkin “tercermar nama baiknya” (walaupun delik apa yang dituduhkan belum jelas sampai sekarang) dan ia merasa berperan untuk mengajukan pengaduan ke penyidik Polri. Adalah tugas aparat penegak hukum, atau nanti hakim jika kasus ini bermuara di pengadilan, untuk membuat pertimbangan yang matang terkait unsur “kepentingan umum” ini.

Pakar hukum siber dari Jurusan Business Law BINUS, Dr. Bambang Pratama menambahkan, bahwa dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, maka bentuk penyebaran penghinaan, fitnah, dan sebagainya menjadi lebih mudah, cepat, dengan sebaran yang lebih luas. Munculnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU-ITE) dianggap mampu mengatasi hal ini. Tetapi dalam praktik, ketentuan pasal 27 ayat (3) UU-ITE tentang pencemaran nama baik di ruang siber (pencemaran nama baik dengan memanfaatkan jaringan Internet) sering kali disalahgunakan karena bentuk deliknya adalah delik biasa, bukan delik aduan. Menjawab hal ini, MK memutuskan bahwa untuk menafsirkan Pasal 27 ayat (3) harus mengacu kepada KUHP, khususnya Pasal 310 dan Pasal 311 KUHPidana.[5] Tetapi, perlu dipahami lebih lanjut, bahwa untuk menjawab unsur ‘diketahui umum’ pada ruang siber berbeda dengan di ruang non-siber. Untuk menjawab hal tersebut di atas, filsuf bahasa Amerika Serikat, Peter Ludlow, membuat klasifikasi ruang publik dan ruang privat pada ruang siber. Pada intinya, Ludlow berpendapat bahwa “ruang privat” adalah ruang siber yang memerlukan undangan (invitation) atau password dari seseorang, sedangkan “ruang publik” adalah ruang siber yang dapat dimasuki tanpa memerlukan izin/undangan.[6]

Pasal 27 ayat (3) UU-ITE bukan “pasal karet”, karena tafsir dan penerapannya mengacu pada pasal 310 dan pasal 311 KUHPidana. Pasal 27 ayat (3) harus ditafsirkan menggunakan penafsiran sistematis (mengacu pada sumber hukum lain). Sayangnya, ketidaktahuan hukum juga dialami oleh penegak hukum sehingga Pasal 27 ayat (3) dapat digunakan sebagai senjata untuk melakukan kriminalisasi. Hal penting lainnya yang perlu diketahui adalah jenis delik aduan yang melekat pada Pasal 27 ayat (3) sebagaimana diputuskan oleh MK. Artinya hal ini menuntut penegak hukum untuk cermat menerima aduan dari korban langsung yang menganggap telah terjadi pencemaran nama baik/fitnah. (***)


IMG.20160808.WA0013


IMG.20160808.WA0011


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close