People Innovation Excellence

FUNGSI HUKUM DALAM HUBUNGAN NORMA DAN NOMOS

Oleh SHIDARTA (Agustus 2016)

Secara garis besar makna hukum dapat dipilah menjadi dua kategori, yaitu hukum dalam arti sebagai norma, dan hukum dalam arti sebagai nomos. Jadi, hukum dapat berupa norma dan berupa nomos.

Kata “nomos” di sini perlu diberi penjelasan lebih dalam. Kata ini berasal dari bahasa Yunani  (jamak: “nomoi”) yang berarti kebiasaan. Pada awalnya, masyarakat memahami apa yang boleh dan tidak boleh [dilakukan] diukur berdasarkan kebiasaan yang mereka terima sebagai kenyataan. Jadi, hukum adalah kebiasaan. Kebiasaan adalah hukum. Inilah nomos. Pada galibnya, kebiasan itu berkenaan dengan masyarakat dalam jumlah banyak dan berlangsung dalam waktu lama, bahkan bergenerasi-generasi. Hanya orang-orang yang berada dalam ruang dan waktu yang sama akan merasa terikat pada kebiasaan bersama itu, yaitu kebiasan yang kemudian dilanggengkan sebagai kebudayaan. Adat adalah contoh dari nomos seperti ini.

Namun, ada nomos yang melibatkan jumlah masyarakat yang lebih kecil, yang lazim disebut komunitas. Mereka tidak harus berasal dari latar belakang budaya yang sama. Komunitas bisa juga terbuka untuk semua orang. Komunitas-komunitas hobby, misalnya, bisa beranggotakan orang-orang dari berbagai negara, etnis, agama, bahasa, dan sebagainya. Dalam komunitas ini sering tercipta pola-pola perilaku tertentu, misalnya cara berkomunikasi, atribut, terminologi, bahkan “struktur sosial” dalam kaitannya dengan hubungan relasional di antara mereka. Kebiasaan-kebiasan seperti ini tentu tidak tepat jika disebut sebagai adat karena tidak ada kewajiban untuk menjaga dan memeliharanya dalam kurun waktu lama. Anggota komunitasnya juga bisa sangat longar dan terbuka, dalam arti dapat mudah untuk masuk dan keluar. Komunitas penggemar motor besar (gede) adalah contohnya. Anggota dari komunitas ini cenderung memiliki pola perilaku yang sama tatkala mereka mengendarai kendaraannya di jalan. Mereka senang berkonvoi dan meminta prioritas untuk didahulukan. Ada atribut-atribut tertentu yang dikenakan untuk menunjukkan perasaan in-group mereka sebagai anggota komunitas ini. Kebiasaan-kebiasaan demikian adalah nomos dalam makna yang kedua, yaitu pola-pola perilaku simbolik yang disepakati oleh suatu komunitas. Tentu saja, pola perilaku komunitas ini belum tentu selalu berkonformasi dengan budaya masyarakat dalam arti luas.

Dalam kaitan dengan pembentukan hukum, nomos merupakan sumber material bagi norma hukum. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang kaya dengan dimensi primordial, nomos dalam makna yang pertama (adat kebiasaan) mungkin akan sangat berperan untuk berkontribusi sebagai sumber material. Sementara dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang berdimensi netral, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat urban atau yang bersentuhan dengan era digital dan teknologi informasi, dapat dipastikan nomos dalam makna kedua (pola perilaku komunitas) justru lebih berperan. Hal ini dapat dilacak antara lain dari istilah-istilah yang beredar dan biasa dipakai dalam suatu komunitas, yang kemudian masuk dan diadopsi menjadi terminologi hukum ketika dirasakan perlu dibentuk peraturan perundang-undangan untuk mengatur aktivitas terkait dengan komunitas tersebut. Kata-kata seperti: cracking, hacking, carding, adalah istilah-istilah yang saat ini cukup dikenal sebagai kosa kata hukum, yang semula diciptakan oleh komunitas pegiat teknologi informasi.

Bagi ilmuwan hukum, substansi yang dialirkan dan berasal dari nomos ini perlu untuk diformat dalam prosedur dan kemasan hukum. Dengan kata lain, ada tahap pemositifan agar bisa menjadi hukum positif. Nomos-nomos (nomoi) itu belum tentu dipertahankan seperti materi awalnya. Tahap pemositifan itu juga akan menambahkan unsur stuktural di dalam substansi tersebut. Jadi, di dalam norma hukum positif tersebut, ketika sudah disahkan dan diberlakukan pada masyarakat, sudah tidak lagi sekadar norma substansial. Di situ sudah ada norma proseduralnya, dan di dalamnya ada struktur hukum yang akan menjamin implementasinya berjalan dengan baik. Apabila ada sanksi pidana, misalnya, maka dipastikan di situ institusi kepolisian, kejaksaan, kehakiman, akan diikutsertakan.

Demikianlah, terlihat di sini suatu pola transformasi yang menarik dari nomos ke norma dan selanjutnya dari norma ke nomos. Pada pola transformasi yang pertama (nomos ke norma), fungsi hukum yang diharapkan pertama-tama adalah fungsi hukum sebagai social order. Masyarakat luas dan/atau komunitas berharap materi nomos yang mereka berikan kepada norma, bakal pas mengatur apa yang selama ini sudah berjalan. Masyarakat/komunitas itu ingin tercipta tertib sosial dalam aktivitas mereka, kurang lebih sama seperti yang telah mereka praktikkan selama ini. Namun, di mata hukum normatif, tidak mungkin norma itu sekadar mengikuti nomos dalam arti material [mentah] itu tadi. Hukum normatif ingin agar nomos dapat mengikuti kehendak norma. Dengan perkataan lain, nomos perlu berubah atau menyesuaikan diri mengikuti pesan-pesan norma. Fungsi hukumnya sekarang tidak lagi social order, tetapi menjadi social engineering.

Patut dicatat bahwa sumbangan substansial dari nomos boleh jadi belum siap untuk langsung diakomodasi menjadi norma hukum positif (norma yuridis). Dalam kondisi demikian, material nomos itu akan disimpan dulu menjadi norma ideal yang memiliki keberlakuan filosofis (filosofische Geltung).  Sebagai norma ideal, ia bersifat metayuridis. Artinya, ia belum dipositifkan, tetapi tetap bisa dijadikan acuan normatif yang berlaku [baru] dalam tahap prapositif.


Screen.Shot.2016.08.27.at.19.46.35


Jika mengacu pada keterangan di atas, berarti fungsi social engineering bisa berhasil atau tidak berhasil sangat bergantung pada dua hal. Petama dari sisi materi atau substansi normanya, yaitu apakah kandungan nomos yang diakomodasi di dalam norma itu masih dapat diterima oleh masyarakat/komunitas sebagai subjek norma (normadressaat; normadressaten) yang notabene adalah pemangku kepentingan dalam hukum positif itu. Kedua dari sisi struktur norma yang disertakan di dalam materi norma itu tadi. Aspek struktural yang dilekatkan di dalam substansi hukum menunjukkan adanya intervensi negara di dalam proses pemositifan hukum. Oleh sebab itu, dari sisi ini akan dicermati seberapa jauh negara memainkan peranannya, ikut mengatur pola-pola perilaku di dalam nomos. Misalnya, benarkah kewenangan yang diserahkan kepada lembaga-lembaga hukum itu cukup wajar (tidak berlebihan atau melampaui batas)? Benarkah sanksi-sanksi akibat pelanggaran norma itu tidak dirasakan memberatkan, sehingga hak-hak anggota masyarakat/komunitas tidak jadi terkekang?

Untuk dapat merekayasa masyarakat sesuai dengan fungsi social engineering ini, para pembentuk norma hukum positif harus memiliki strategi. Mungkin saja, masyarakatnya belum siap untuk langsung berubah dalam waktu cepat. Untuk itu, perlu disusun strategi jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek. Tujuannya adalah agar dari waktu ke waktu ekspektasi norma hukum positif untuk mengubah nomos itu berhasil dilakukan.

Pembentuk norma hukum positif tidak perlu sedih jika masyarakat/komunitas tidak bisa cepat-cepat mengubah pola perilaku mereka mengikuti kehendak norma hukum positif. Kendati demikian, ekspektasi ideal ini tidak boleh dihilangkan atau dilupakan. Ekspektasi ini harus tersimpan sebagai bagian dari memori jangka panjang pembangunan hukum kita. Ekspektasi jangka panjang ini harus tetap ada, kendati mungkin tidak perlu diformulasikan lebih dulu di dalam norma hukum positif. Ekspektasi ini bisa disimpan menjadi ius constituendum. Posisi ius constituendum ini sebenarnya ada di dalam norma juga, yakni norma metayuridis. Apabila pembentuk undang-undang ingin merevisi hukum positif, norma metayuridis ini wajib untuk dijadikan acuan ideal di samping pembentuk undang-undang perlu terus memeriksa dinamika perkembangan pada ranah nomos. Demikian juga, hakim pun dapat menggunakan norma metayuridis ini melalui penafsiran futuristis untuk menyelesaikan kasus-kasus konkret. (***)


SHD

 

 

 

 

 

 


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close