People Innovation Excellence

PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA

Oleh ERNA RATNANINGSIH (Maret 2016)

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah mempengaruhi pola interaksi masyarakat melintasi batas-batas suku, bangsa dan agama. Pergaulan manusia lintas batas ini menimbulkan ketertarikan satu dengan lainnya yang menyebabkan terjadinya perkawinan tidak hanya terjadi di antara satu suku, tetapi juga antara bangsa-bangsa dan yang berlainan agama. Dalam masyarakat Indonesia yang plural dengan nilai, tradisi, keyakinan dan agama yang berbeda-beda mengakibatkan pernikahan antara suku, pernikahan dengan warga negara asing, pernikahan dengan orang yang berbeda keyakinan dan agamanya sangat dimungkinkan terjadi.

Perkawinan adalah hak alami yang dianugrahkan oleh Pencipta pada manusia untuk meneruskan keturunannya. Untuk itu, seorang calon suami atau calon isteri berhak untuk menentukan pilihannya dalam membentuk keluarga. Undang-Undang Dasar 1945 mengatur tentang setiap warga negara Indonesia berhak membentuk keluarga, berhak untuk menentukan pilihan untuk menikah atau tidak menikah, berhak memilih pasangan berdasarkan pilihannya, berhak melaksanakan perkawinan berlandaskan ajaran agama atau kepercayaan atau keyakinan masing-masing, berhak memperoleh keturunan, dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Namun, hak untuk membentuk keluarga dan memilih pasangan hidupnya yang dijamin di dalam Konstitusi tersebut terganjal dengan peraturan perundang-undangan yang melarang adanya perkawinan beda agama.

Fenomena maraknya perkawinan beda agama telah berlangsung lama dalam masyarakat sebut saja perkawinan artis Katon Bagaskara dengan Ira Wibowo, Ari Sihasale dengan Nia Zulkarnaen, Frans dengan Amara. Perkawinan ini dilaksanakan dengan cara menikah di luar negeri atau salah satu pihak menundukkan diri ke agama pasangannya. Surat menikah yang mereka peroleh dari luar negeri kemudian dicatatkan di Kantor Catatan Sipil. Perkawinan beda agama menjadi isu yang sensitif dalam masyarakat dan sampai saat ini belum mendapat pengakuan secara hukum. Tulisan ini akan memaparkan perkawinan dalam perspektif Hak Asasi Manusia, pengakuan negara terhadap perkawinan beda agama dan putusan MK tentang perkawinan beda agama.

 Perkawinan dalam perspektif Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh setiap manusia yang hidup yang bukan merupakan pemberian siapapun juga termasuk Negara. Perkawinan beda agama diakui di dalam Pasal 16 ayat (1) Deklarasi Universal : “Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Semua memiliki hak yang sama dalam soal perkawinan di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian”. [i] Dengan kata lain, ketentuan ini menjamin hak setiap orang untuk menikah dan membentuk keluarga walaupun pasangan calon suami dan isteri berbeda agama.

Hak untuk melangsungkan perkawinan dijamin dalam Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dengan tujuan untuk melindungi hak setiap orang dan perlindungan keluarga. Hak untuk berkeluarga, beragama dan berkeyakinan adalah termasuk dalam hak-hak sipil. Indonesia telah meratifikasi Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR – International Covenant on Civil and Political Rights) pada tahun 2006 dengan itu Indonesia telah menerima kewajiban untuk melindungi kebebasan hak-hak sipil dan politik. Ketentuan-ketentuan Konvenan hak sipil dan politik telah diadopsi ke dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28B ayat (1) yang menegaskan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Kemudian dikuatkan oleh Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menjamin hak setiap orang untuk membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan menjamin hak kebebasan untuk memilih calon suami dan calon isteri, termasuk perempuan memiliki hak untuk menikah dengan warga negara asing dan bebas untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya.

Dalam konteks hukum Internasional hak kebebasan menganut agama diatur di dalam Pasal 18 ayat (1) ICCPR adalah “Setiap orang bebas atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri dan kebebasan baik individu maupun bersama-sama dengan orang lain dan baik di tempat umum maupun tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran”. Kemudian hak membentuk keluarga melalui perkawinan termuat di dalam Pasal 23 ayat (2) ICCPR : “Hak laki-laki dan perempuan pada usia perkawinan untuk menikah dan membentuk keluarga harus diakui”.

Namun, hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah yang dijamin di dalam Konvenan International yang sudah diratifikasi dan Konstitusi dibatasi oleh ketentuan di dalam Pasal 2 ayat (1) UUP yang mensyaratkan sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Selanjutnya di dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUP memaparkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Menyikapi persoalan perkawinan beda agama, Majelis-Majelis Agama Tingkat Pusat (MATP) dalam rapat yang diselenggarakan pada tanggal 12 September 2014 yang dihadiri oleh MUI, PGI KWI, Matakin, Walubi dan PHDI menghasilkan tiga kesepakatan yaitu: perkawinan adalah peristiwa yang sakral oleh sebab itu pada dasarnya harus dilakukan sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Kedua, negara wajib mencatat perkawinan yang sudah disahkan oleh agama sesuai UU No: 1 Tahun 1974. Ketiga, kewajiban negara untuk mencatat perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan dan dicatatkan oleh Catatan Sipil sesuai dengan UU No: 23 Tahun 2006 jo UU No:24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.[ii]

Putusan MK tentang Perkawinan Beda Agama

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 68/PUU-XII/2014 menolak pengujian Pasal 2 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Pemohon perkara ini merasa hak-hak konstitusionalnya berpotensi dirugikan dengan berlakunya syarat keabsahan perkawinan berdasarkan hukum agama. Pemohon berpendapat pengaturan pasal ini akan berimplikasi pada tidak sahnya perkawinan yang dilakukan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya misalkan perkawinan beda agama.

Dalam putusannya MK menyatakan bahwa UUP telah dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 serta dapat menampung segala kenyataan hidup dalam masyarakat. Lebih lanjut, dalam Pasal 28 J UUD 1945 menyebutkan dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga negara wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh UU. Menurut MK, perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia. Untuk itu, segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh warga negara termasuk urusan yang menyangkut perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hakim MK Maria Farida mengajukan concurring opinion (alasan berbeda) yang pada prinsipnya menyatakan UU Perkawinan seyogianya memberi solusi bagi mereka yang karena keterpaksaan melangsungkan perkawinan beda agama dan kepercayaan baik terhadap sahnya perkawinan maupun pencatatannya. Sebab perkawinan merupakan peristiwa hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi mereka yan menikah. Mengingat UUP dibentuk 41 tahun yang lalu, sebelum Perubahan UUD 1945 maka sudah selayaknya UUP dikaji kembali dan dipertimbangkan dilakukan perubahan agar menjadi UU yang dapat melindungi dan menjamin hak konstitusional dan hak asasi semua warga negara.

Perkawinan antara perempuan dan laki-laki yang seiman merupakan harapan dari setiap orang yang akan membina hidup bersama. Disinilah peran dari keluarga dan pemuka agama untuk memberikan pemahaman agama untuk memilih calon pendamping yang seiman. Apabila harapan ini tidak tercapai akankan kita paksakan salah satu pasangan yang akan menikah berubah keyakinan pada saat perkawinan namun setelah itu mereka tetap pada agama sebelumnya. Membiarkan ketidakjujuran dalam perkawinan hanya untuk memenuhi syarat formil lebih berdampak buruk dibandingkan menerima kenyataan bahwa ada suatu kondisi di mana salah satu pihak tidak bisa menundukkan diri terhadap agama pasangannya. Mengingat keyakinan dan kepercayaan harus datang dari diri sendiri dan merupakan hubungan manusia dengan Tuhannya. Oleh sebab itu, saya sepakat dengan pendapat hakim MK, Maria Farida bahwa seharusnya UUP memberikan solusi bagi mereka yang karena keterpaksaan melaksanakan perkawinan beda agama.

Pembentukan hukum di masa yang akan datang (ius constituendum) didasarkan pada gejala-gejala sosial di masyarakat termasuk di dalamnya fakta bahwa terdapat ‘penyelundupan hukum’ terkait dengan perkawinan beda agama. Mencermati pertimbangan hukum hakim MK Maria Farida untuk mengkaji kembali UUP maka diharapkan ke depan UU Perkawinan berlaku bagi seluruh warga negara tanpa pembedaan asal usul daerah, ras, etnis, budaya dan agama. Dengan demikian keabsahan perkawinan harus disandarkan kepada syarat-syarat perkawinan yang dapat diterima oleh semua warga negara tanpa terkecuali. Pelekatan keabsahan perkawinan pada ajaran agama tertentu jelas menegasikan fakta keberagaman agama dan kepercayaan yang tumbuh dan berkembang di Tanah Air ini. (***)


REFERENSI:

[i] Adnan Buyung Nasution, Patra M.Zein, Instrumen International Pokok Hak Asasi Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006, hlm.106.

[ii] Pernikahan Beda Agama Disesuaikan Menurut Keyakinan, http://www.antaranews.com/berita/453280/pernikahan-beda-agama-disesuaikan-menurut-keyakinan diakses pada tanggal 17 September 2014.


 

Screen.Shot.2016.01.29.at.22.22.14


 


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close