People Innovation Excellence

GUGATAN DERIVATIF DI SINGAPURA

Oleh AGUS RIYANTO (Desember 2019)

Singapura adalah negara dengan sejuta potensi ekonomi. Ekonomi Singapura tumbuh dengan laju lebih cepat dari pada perkiraan pada kuartal keempat tahun 2017, didorong industri jasa dan perdagangan, seperti finansial dan asuransi.[i] Untuk memperkuat sektor-sektor tersebut dibutuhkanlah hukum yang dapat lebih melindungi kepentingan investor. Salah satunya, dengan kejelasan terhadap hak-hak pemegang saham. Hak tersebut adalah hak gugat derivatif sebagaimana diatur oleh pasal 216A dan 216B Singapore Companies Act Chapter 50, 2006.[ii] Dengan kedua ketentuan ini menunjukkan pembentuknya berkehendak mengatur tersendiri gugatan derivatif sebagai keberpihakan terhadap pemegang saham minoritas. Gugatan derivatif dapat diajukan oleh setiap anggota perseroan, Menteri, atau orang lain yang menurut keputusan Pengadilan dianggap tepat untuk dapat mengajukan permohonan gugatan (pasal 216A ayat (1)). Dengan ketentuan ini berarti gugatan dapat dilakukan setiap pemegang saham selama dapat meyakinkan pengadilan dan memberikan izin kepadanya, mengizinkan kepada setiap entitas perseroan, dengan tanpa menghitung jumlah kepemilikan sahamnya, untuk melindungi dirinya dalam hal direksi ataupun pihak lainnya bertindak bertentangan, sehingga dapat merugikan perseroan dapat digugat di Pengadilan. Hal ini berarti, seperti di negara-negara common law lainnya, tidak diatur batas ambang (threshold) presentase jumlah pihak penggugat yang dapat menggugtnya, sehingga setiap pemegang saham dapat mengggunakan hak-haknya. Artinya, kesempatan yang ada adalah sama (equal opportunity) antara pemegang saham dalam memperjuangkan hak-haknya, khususnya tentang hak gugat derivatif.

Untuk menjalankan hak gugat itu, penggugat dapat memohon persetujuan ke pengadilan untuk mengajukan gugatan atas nama perseroan, atau mengintervensi suatu gugatan yang mana di dalamnya perusahaan menjadi salah satu pihaknya, untuk keperluan pengajuan tuntutan, pembelaan ataupun penghentian gugatan atas nama perseroan (pasal 216A ayat (2)). Ketentuan ini memperlihatkan gugatan derivatif di Singapura tidak dapat langsung dilakukan, tetapi terlebih dahulu penggugat memohon izin Pengadilan. Diaturnya hal ini menunjukkan pengadilan memiliki kedudukan yang sentral dalam memeriksa tahap awal perselisihan gugatan derivatif. Pengadilan berfungsi untuk mempelajari duduk perkara yang menjadi obyek gugatan derivatif, dengan parameter memenuhi persyaratan ataukah tidak. Pengadilan dalam penanganan gugatan ini bersifat persuasif dan preventif dengan melakukan filterilisasi gugatan derivatif itu sesuai atau tidak. Artinya, dalam tahapan ini pengadilan bermaksud untuk melakukan pemetaan dan selektif penanganan perkara yang akan dihadapinya. Hal ini adalah langkah baik di dalam menghindari terjadinya potensial penumpukaan perkara di dalam sistem peradilan di Singapura, sehingga prosedur awal di gugatan derivatif ini adalah sebuah upaya memodernisasi penangan perkara korporasi yang membutuhkan waktu yang lama dan bertahun-tahun dalam penyelesaian sengketa dan hal itu telah disadarinya, sehingga deteksi awal dengan segala permasalahan telah terencanakan untuk bagaimana penyelesaiannya.

Beda halnya dengan gugatan derivatif di Indonesia, yang telah diatur pasal 97 ayat (6) dan pasal 114 ayat (6) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), tetapi tidak mengatur prosedurnya, tidak seperti pasal 216A dan pasal 216B Singapore Companies Act yang telah mengatur tentang mekanisme atau prosedural gugatan derivatif di Singapura. Kejelasan tentang hal ini menjadi urgent untuk diatur, karena tidak akan dapat maksimal memperjuangkan hak-hak pemegang saham dalam gugatannya apabila hanya ada aturan umum tetang gugatan derivatif, tetapi pemegang saham tidak tahu bagaimana mewujudkannya di pengadilan. Hal itu terjadi karena belum diatur prosedurnya dan bagaimana seharusnya. Di Singapura gugatan derivatif, disamping harus memperhatikan pasal 216A ayat (1) dan (2), dilakukan dengan tahapan berikut : Pertama, pasal 216A ayat (3) huruf a menentukan penggugat telah menyampaikan pemberitahuan kepada direksi perseroan mengenai maksudnya itu untuk mengajukan permohonan ke pengadilan, dalam jangka waktu empat belas hari, atau sebagaimana yang diperintahkan pengadilan, apabila direksi perseroan tidak mau mengajukan, menuntut atau membela atau menghentikan gugatan. Dengan ketentuan ini terkandung makna bahwa dalam gugatan derivatif, penggugat dan tergugat (dalam hal ini Direksi) untuk bernegosiasi mencari jalan keluar terhadap permasalahan internal dan Direksi tidak mengambil tindakan untuk memperbaiki dan menyelamatkan perusahaan, maka penggugat baru mengajukan permohonan gugatan. Tahap pertama ini dikenal juga sebagai syarat “demand requirement”.

Kedua, setelah tahapan pertama dilakukan dan tidak memperoleh penyelesaian tentang adanya dugaan potensi kerugian atau kesalahan di dalam perseroan, penggugat berdasarkan kepada pasal 216A ayat (3) huruf (b) dan (c), berhak mengajukan gugatannya ke Pengadilan dengan ketentuan memenuhi dua syarat, yaitu pertama, gugatan harus di dasarkan kepada itikad baik.[iii] Hal ini berarti bahwa dasar atau alasan gugatan derivatif adalah untuk memperbaiki keadaan perseroan yang dinilai penggugat terdapat masalah dan harus segera diselesaikan. Artinya, gugatan derivatif niatnya harus obyektivitas dan tidak karena urusan personal di antara penggugat dengan tergugat. Kedua, gugatan itu dilakukan dengan bukti-bukti permulaan yang cukup (prima facie). Hal ini mengandung arti bahwa gugatan derivatif tidak hanya asal menggugat saja, tetapi penggugat harus memiliki bukti-bukti permulaan yang cukup dan dapat dijadikan alasan untuk menggugat Direksi perseroan. Maksudnya, gugatan dilakukan demi adanya perbaikan perseroan, sehingga penggugat telah mengetahui dan memiliki bukti-bukti yang menjadi dasar gugatannya. Dalam hal bukti-bukti tidaklah cukup, maka potensial akan ditolak pengadilan sehingga berhati-hati dalam menggunakan hak gugat deriavtif itu. Tahap kedua ini dikenal juga sebagai “syarat substansial”.

Tahap ketiga, setelah terpenuhinya kedua persyaratan tersebut, pengadilan akan segera mengeluarkan putusan sela dengan tujuan agar gugatan derivatif tersebut dilanjutkan ke tingkatan Pengadilan Distrik. Putusan sela adalah putusan yang memberikan arahan dan pelaksanaan gugatan atau arbitrase oleh orang yang berwenang; dan sebuah putusan yang mengharuskan perusahaan membayar biaya hukum yang wajar dan pengeluaran wajar yang dikeluarkan penggugat sehubungan dengan adanya gugatan tersebut (pasal 216A ayat (5)). Dalam pasal 216B ayat (3) diatur juga tentang biaya pengajuan gugatan derivatif diatur dalam yaitu dalam permohonan yang dibuat atau gugatan yang diajukan atau diintervensi berdasarkan pada bagian 216A, Pengadilan dapat kapan saja memerintahkan perusahaan untuk membayar biaya sementara kepada penggugat, termasuk biaya hukum dan pengeluaran, tetapi penggugat dapat dimintai tanggung jawabnya untuk membayar biaya sementara tersebut pada disposisi akhir permohonan atau gugatan tersebut. Melalui pasal ini, maka pihak yang bertanggung jawab untuk membayar sejumlah biaya dalam permohonan yang dibuat atau gugatan yang diajukan adalah perusahaan. Biaya hukum yang dimaksud adalah biaya administrasi yang dikeluarkan sebelum pelaksanaan gugatan derivatif diajukan. Tetapi pengadilan juga dapat meminta penggugat untuk membayar biaya sementara tersebut. Pengadilan dapat mengeluarkan perintah dalam hal biaya-biaya pengajuan gugatan derivatif melalui putusan sela sebagaimana yang telah disebutkan diatas yang diatur dalam pasal 216A ayat (5).

Belajar dari bagaimanakah Singapura mengatur gugatan derivatif dapat dijadikan sebagai alternatif UUPT, yang juga telah mengaturnya, namun terlalu umum dan tidak lengkap. Hal itu terutama tentang mekanisme prosedur yang belum mengaturnya. Hal ini penting, karena diaturnya dalam UUPT belum menjamin hak-hak pemegang saham itu sama dan setara bagaikan memberi hak-haknya, karena menutup kemungkinan hak-hak itu dapat diwujudkan dalam realitas keadilan kepada pemegang saham minoritas. Tidak ada yang salah belajar dari Singapore Companies Act Chapter 50, 2006 sebagai bahan pembanding UUPT dengan menggunakan pendekatan dari sistem hukum Common Law. Sebuah usaha untuk menjawab kekuranglengkapan UUPT tentang pengaturan gugatan derivatif, yang sudah waktunya memoderinisasi dirinya dengan mengedepankan hak-hak pemegang saham, khususnya minoritas, di masa yang akan datang. (***)

________________________________________________________________________________

REFERENSI:

[i]https://ekonomi.bisnis.com/read/20180102/9/722558/ekonomi-singapura-sektor-jasa-dorong-pdb-lampaui-target-di-akhir-2017

[ii] https://sso.agc.gov.sg/Act/CoA1967#pr216A-

[iii] https://singaporelegaladvice.com/law-articles/commence-derivative-action-behalf-company-singapore/

 


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close