People Innovation Excellence

ETIMOLOGI “QANUN” DAN POSISINYA SEBAGAI SUMBER HUKUM

Oleh SHIDARTA (Januari 2015)

Dalam sistem perundang-undangan nasional, terminologi “qanun” tidak dikenal, tetapi keberadaannya dikenal dan diterapkan di Provinsi Aceh (Note: dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Peraturan Gubernur Aceh No. 46 Tahun 2009, sebutan “Nanggore Aceh Darussalam” sudah tidak digunakan lagi). Tulisan singkat ini akan menyinggung sekilas etimologi dari terminologi “qanun” tersebut dan posisinya dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Terkait ke persoalan etimologis, terminologi “qanun” ini menarik untuk dicermati karena dalam Gereja Katolik, misalnya, juga dikenal istilah “canon law” atau hukum kanonik. Apakah kedua istilah ini berasal dari sumber yang sama?

Jika mengacu pada Al Qur-an, tepatnya pada QS An-Nisaa: 59, terdapat perintah bagi orang-orang beriman untuk menaati Allah, Rasul-Nya, dan penguasa (ulil-amri) di antara mereka. Atas dasar perintah ini maka berarti ada tiga sumber acuan yang menjadi otoritas di dalam Islam, yakni Tuhan, Rasul-Nya, dan penguasa. Ketaatan terhadap Tuhan dapat dilihat sumber utamanya pada kitab suci, sedangkan ketaatan Rasul (di sini diacu adalah Rasul terakhir, Muhammad SAW) menunjuk pada hadits-hadits beliau. Lalu bagaimana dengan ketaatan pada penguasa?

Dalam buku yang ditulis oleh Ahmad Sukardja dan Mujar Ibnu Syarif (2012: 43-51) disebutkan tentang perbedaan interpretasi para ahli tafsir terkait kata “ulil amri” ini. Pandangan pertama mengatakan “ulil amri” adalah para umara, hakim, ulama, pengalima perang, dan semua pimpinan yang menjadi rujukan umat dalam masalah yang bertalian dengan kebutuhan dan kemaslahatan umum”. Ada lagi yang memberi skala lebih luas, bahwa “ulil amri” mencakup semua orang yang berpengaruh di masyarakat, sehingga termasuk pemimpin partai, redaktur surat kabar Islami, pelopor kemerdekaan, dan lain-lain. Ada yang berpendapat, “ulil amri” adalah para hakim dan setiap penguasa yang tunduk pada syariat Islam. Yang paling spesifik adalah pandangan kaum Syiah, yang menyatakan bahwa “ulil amri” adalah para imam yang ma’hsum (infallible).

Atas dasar pandangan-pandangan di atas, lalu muncul konklusi bahwa “ulil amri” terdiri dari dua kelompok, yaitu ulama dan umara. Para ulama menghasilkan produk fikih sebagai buah dari kegiatan ijtihad mereka. Sementara itu umara menghasilkan qanun, yaitu norma hukum Islam.

Konon kata “qanun” ( قانون ) dalam bahasa Arab memiliki kesamaan dengan kata “kanon” ( κανών) dalam bahasa Yunani atau “kaneh” ( קנה ) dalam bahasa Ibrani. Semua kata-kata itu memang bermakna serupa, yaitu norma hukum, legislasi, atau undang-undang. Tingkatan qanun yang paling tinggi di suatu negara biasanya disebut  “al-qanun al-asasi” atau qanun yang paling asasi, dalam hal ini undang-undang dasar atau konstitusi.

Jika ditilik ke literatur, kata “qanun” sendiri sebenarnya tidak selalu dipakai dalam konteks norma-norma buatan penguasa negara atau peraturan perundang-undangan. Karya Ibnu Sina dalam ilmu kedokteran, misalnya, kerap juga disebut “al-qanun fi al-tibb” (the canon of medicine). Hal ini dapat dipahami karena kata “hukum” memang tidak selalu harus berarti norma dan bersifat normologis,  melainkan juga nomos yang bersifat nomologis, yakni berupa dalil-dalil alamiah (law of nature atau sunatullah). Ilmu hukum adalah contoh ilmu normologis, sementara ilmu kedokteran adalah ilmu nomologis.

Jika kita kembali kepada “qanun” di Aceh, maka jelas yang dimaksud sebagai qanun di sini adalah produk legislasi yang berskala kedaerahan atau lazim disebut Perda Syariah. Pasal 1 butir 21 Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyatakan, “Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.” Di bawahnya ada qanun kabupaten/kota. Pasal 1 butir 22 dari undang-undang tersebut menyatakan, “Qanun kabupaten/kota adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah kabupaten/kota yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat kabupaten/kota di Aceh.”

Terlepas dari keistimewaan yang diberikan kepada Provinsi Aceh (Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 yang kemudian dicabut dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006), dalam posisinya setingkat dengan peraturan daerah provinsi dan kabupaten/kota, maka qanun tidak boleh dianggap lebih tinggi daripada peraturan perundang-undangan di tingkat pusat. Materi muatan yang ada di dalam qanun tidak boleh melampaui materi yang seharusnya dimuat di dalam peraturan daerah. Apabila terjadi pertentangan dengan peraturan di atasnya, maka posisi peraturan daerah ini harus terbuka untuk dapat dikesampingkan oleh peraturan yang hierarkinya lebih tinggi derajatnya.

Memang perlu ada kajian yang lebih hati-hati untuk menelaah apakah otonomi dalam menjalankan syariat Islam bagi Provinsi Aceh dapat secara otomatis ditafsirkan sebagai kewenangan khusus untuk melahirkan legislasi yang bercorak “lex specialis”. Kontroversi yang terjadi pada sejumlah qanun beberapa waktu lalu, tampaknya berawal dari pemahaman bahwa materi muatan qanun boleh-boleh saja memuat hal-hal spesifik untuk Aceh terkait otonomi khusus untuk provinsi tersebut. Dengan demikian aturan yang berlaku secara nasional atau diterapkan secara umum di provinsi-provinsi lain, tidak boleh sampai mengenyampingkan “aturan khusus” di qanun-qanun ini.

Di sini sebenarnya terlihat benturan antara asas “lex specialis derogat legi generali” dan “lex superior derogat legi inferiori”. Qanun di Aceh adalah produk hukum setingkat perda. Dengan demikian, benturan produk hukum khusus dan umum yang diasumsikan oleh asas “lex specialis derogat legi generali” harus diskenariokan sebagai benturan sesama perda juga, yakni qanun dengan qanun. Apabila benturannya tidak terjadi antara sesama produk hukum setingkat, misalnya antara qanun dan peraturan pemerintah, maka asas “lex specialis derogat legi generali” tidak dapat diterapkan. Untuk itu, acuannya adalah asas “lex superior derogat legi inferiori”. (***)


 

Baca juga:

LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALI: MAKNA DAN PENGGUNAANNYA

 

 


Published at : Updated

Periksa Browser Anda

Check Your Browser

Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

We're Moving Forward.

This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

  1. Google Chrome
  2. Mozilla Firefox
  3. Opera
  4. Internet Explorer 9
Close