LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALI: MAKNA DAN PENGGUNAANNYA
Oleh SHIDARTA & PETRUS LAKONAWA (Maret 2018)
Ada banyak asas hukum yang ditulis di dalam bahasa Latin. Salah satunya, dan yang tergolong paling populer, adalah asas yang berbunyi ‘Lex specialis derogat legi generali’ (dibaca: ‘Lex spesialis derogat leji jenerali’). Oleh karena bahasa Latin termasuk bahasa yang tidak banyak dipahami, maka sering ditemukan kesalahan-kesalahan di dalam penulisan asas ini, misalnya ada yang menuliskannya dengan ‘lex specialis derogat lex generalis’ atau ‘lex specialis derogat lege generali’ dan sebagainya. Lalu, bagaimana asas ini dapat dipahami mengikuti struktur bahasa Latin yang baik dan benar?
Ada cara yang lebih mudah ketika sebuah kalimat bahasa Latin akan diterjemahkan atau dipahami, yakni dengan mulai mencari kata kerja (predikat) dalam komposisi kalimat tersebut. Setelah itu, baru dicarikan siapa/apa yang menjadi subyek kalimat yang bersangkutan. Berikut ini analisis struktur kalimat ‘lex specialis derogat legi generali’ akan dilakukan mengikuti cara tersebut di atas.
Kata kerja yang ada di dalam kalimat (asas) tersebut adalah ‘derogat’. Kata ‘derogat’ berasal dari kata kerja dasar (infinitivus) ‘derogare’. Kata ini berubah menjadi ‘derogat’ karena ia mengikuti subjek yang berupa orang ketiga tunggal, dalam hal ini adalah ‘lex’ (undang-undang). Kata ‘derogare’ ini merupakan kata yang khusus karena ia merupakan kata kerja intransitif dan yang harus diikuti dengan pelengkap penyerta yang umumnya ditandai dengan preposisi ‘kepada’, ‘untuk’, ‘bagi’, ‘demi’, yang dalam Bahasa Latin disebut dativus. Contoh kata kerja dengan pelengkap penyerta dalam bahasa Indonesia antara lain: memberikan kepada….; dipersembahkan bagi….; melakukan demi…, sementara di dalam bahasa Inggris kita memiliki beberapa contoh seperti: look for…, gear towards…., dan sebagainya, termasuk kata derogate from…. yang kita bahas ini.
Kata ‘[to] derogate from’ ini, dalam bahasa Inggris, memiliki makna yang sama dengan ‘[to] detract from’. Dalam Merriam Webster Dictionary, kosa kata ‘to detract from’ dijelaskan dengan kata-kata sebagai berikut: “to detract from: … to diminish the importance, value, or effectiveness of something —often used with from.” Dalam hal hukum, Macmillan Dictionary mengartikannya sebagai “to state officially that a part of a law no longer has legal authority and has ended” yang juga berarti “to annul”, “revoke”, dan sebagainya. Dengan demikian, kata Latin ‘derogare’ dalam ranah hukum bermakna ‘menghilangkan nilai/keberlakuan/keefektifan dari…’
Mari kita kembali kepada analisis struktur kalimat di dalam asas ini! Di sini kita dapat mencermati perubahan kata kerja dasar (infinitivus) dari ‘derogare’ ini ketika harus ditasrifkan dengan berbagai subjek:
Coniugatio I
(perubahan kata kerja menyesuaikan diri dengan subjeknya) |
Perubahan kata kerja | Makna | |
Orang I tunggal | Saya | DEROGO | Saya menghilangkan nilai dari |
Orang II tunggal | Kamu | DEROGAS | Engkau menghilangkan nilai dari |
Orang III tunggal | Ia/dia | DEROGAT | Ia menghilangkan nilai dari |
Orang I jamak | Kami/kita | DEROGAMUS | Kami/kita menghilangkan nilai dari |
Orang II jamak | Kalian | DEROGATIS | Kalian menghilangkan nilai dari |
Orang III jamak | Mereka | DEROGANT | Mereka menghilangkan nilai dari |
Kata ‘lex’ di sini berperan sebagai subyek orang III tunggal (dia). Jadi ‘lex derogat’. Kata ‘lex’ tersebut berarti undang-undang (dalam arti singular). Kata ‘lex’ pada awal pernyataan asas tersebut berperan sebagai subyek sehingga menempati posisi sebagai nominativus dalam struktur Bahasa Latin. Dalam bentuk dativus tunggal, kata lex berubah menjadi ‘legi’ (dibaca: leji). Harap hati-hati, bahwa ia bukan sebagai objek (pelengkap penderita) karena, sekali lagi, kata ‘derogare’ harus diikuti oleh bentuk dativus (pelengkap penyerta).
Perhatikan tabel di bawah ini untuk melihat perubahan dari kata ‘lex’ ketika menempati fungsi dan jabatan yang berbeda, baik sebagai kata benda singular maupun plural. Juga perhatikan kata ‘lex’ dan ‘legi’ yang dicetak tebal.
Declinatio III
(perubahan kata benda) |
Perubahan kata (singular) | Perubahan kata (plural) | |
Nominativus | Subjek | LEX | LEGES |
Genetivus | Kepemilikan | LEGIS | LEGUM |
Dativus | Pelengkap penyerta | LEGI | LEGIBUS |
Accusativus | Objek | LEGEM | LEGES |
Ablativus | Keterangan tempat, alat, dll. | LEGE | LEGIBUS |
Vocativus | Panggilan | LEX | LEGES |
Kata ‘specialis’ adalah kata sifat, yang berarti spesial atau khusus. Kata ini menerangkan kata ‘lex’ yang berposisi sebagai nominativus (subjek). Jadi, ‘lex specialis’ berarti undang-undang yang khusus. Dalam bahasa Latin, kata ‘lex’ termasuk kata benda femininum dan orang ketiga singular, sehingga ketika ia harus diikuti dengan kata sifat, maka kata sifat itupun harus mengikutinya dalam hal fungsi, jabatan maupun jumlah (tunggal/jamak). Dalam hal ini kata ‘specialis’ berbentuk nominativus tunggal sebagaimana terinci dalam tabel berikut ini:
TASRIF KATA SIFAT ‘Specialis’ untuk genus Femininum |
||
Fungsi/Jabatan (CASUS) | Tunggal (Singularis) | Jamak (Pluralis) |
Nominativus | Specialis | Speciales |
Genetivus | Specialis | Specialium |
Dativus | Speciali | Specialibus |
Accusativus | Specialem | Speciales |
Ablativus | Speciali | Specialibus |
Vocativus | Specialis | Speciales |
Karena jabatan kedua kata ini adalah subyek (nominativus) maka jadilah mereka berbentuk ‘lex specialis’ seperti ditunjukkan dalam kedua tabel di atas. Apabila dijamakkan ke dalam bentuk nominativus jamak, misalnya, maka kedua kata ini menjadi ‘leges speciales’ (dibaca: lejes spesiales).
Pertanyaan yang sering muncul ada pada kata ‘legi generali’ (dibaca: leji jenerali). Mengapa kedua kata ini mendapat bentuk demikian? Tentu jika kata ini diletakkan sebagai subjek, maka ia akan menjadi ‘lex generalis’ (dibaca: lex jeneralis). Namun, kali ini ia diposisikan sebagai dativus singularis. Sebagai konsekuensinya, ia menjadi ‘legi generali’ sebagaimana secara lebih jelas ditunjukkan dalam tabel sederhana berikut ini:
TASRIF KATA-KATA ‘lex generalis’ |
||
Fungsi/Jabatan (CASUS) | Tunggal (Singularis) | Jamak (Pluralis) |
Nominativus | Lex generalis | Leges generales |
Genetivus | Legis generalis | Legum generalium |
Dativus | Legi generali | Legibus generalibus |
Accusativus | Legem generalem | Leges generales |
Ablativus | Lege generali | Legibus generalibus |
Vocativus | Lex generalis | Leges generales |
Kata ‘generali’ ini tidak menjadi ‘generalis’ dan sebagainya karena ia mengikuti kata ‘legi’ (sama-sama berbentuk dativus singularis). Jika dijamakkan, kata-kata itu menjadi ‘legibus generalibus’ (dalam bentuk dativus pluralis). Lengkapnya, asas tersebut akan menjadi sebagai berikut:
- Lex specialis derogat legi generali (the special law derogates from the general law; undang-undang yang khusus menghilangkan nilai dari undang-undang yang umum; undang-undang khusus mengalahkan/mengenyampingkan undang-undang umum).
- Leges speciales derogant legibus generalibus (dibaca: ‘lejes spesiales derogant lejibus jeneralibus’; hal mana kata ‘undang-undang’ di sini dijamakkan).
Analisis struktur seperti di atas berlaku juga untuk asas-asas hukum yang juga dikenal dalam ilmu hukum, seperti: lex superior derogat legi inferiori (undang-undang yang lebih tinggi mengalahkan UU yang lebih rendah); dan asas lex posterior derogat legi priori (UU yang lebih baru mengalahkan UU yang lebih lama). Ketiga asas hukum ini digunakan dalam rangka mengatasi konflik di antara norma-norma hukum positif dalam sistem perundang-undangan. Ilustrasi penggunaannya sebagai berikut:
Asas hukum seringkali berfungsi sebagai penyelesai konflik di antara norma-norma hukum positif. Misalnya, di dalam contoh di atas terdapat sejumlah undang-undang yang menjadi hukum positif (sama-sama tengah berlaku pada suatu tempat). Apabila terjadi konflik di antara mereka, maka asas-asas itu akan tampil sesuai dengan peruntukannya untuk memastikan mana di antara undang-undang itu harus dipakai sebagai acuan. Itulah sebabnya, asas hukum sering disebut sebagai pengobat hukum (legal remedies).
Asas lex specialis derogat legi generali dipakai untuk mengatasi konflik antara UU yang lebih luas substansi pengaturannya berhadapan dengan UU yang lebih sempit substansi pengaturannya. Contoh yang sering digunakan adalah konflik antara pasal-pasal yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Dalam hal ini, pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dianggap lebih khusus, sehingga pasal-pasal tersebut harus dimenangkan. Analisis struktur atas asas lex specalis derogat legi generali di dalam tulisan ini menunjukkan bahwa hierarki undang-undang (lex) di sini haruslah sejajar. Jika secara hierarkis, undang-undang ini tidak lagi sejajar, maka asas ini tidak dapat digunakan. Untuk itu harus dicari asas hukum lain untuk menyelesaikan konflik itu.
Pesan dari asas lex specialis derogat legi generali secara eksplisit diformulasikan sebagai ketentuan normatif dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, dengan rumusan sebagai berikut: “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sepanjang tidak dilakukan penyimpangan menurut Kitab ini, berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam Kitab ini” (teks resmi dalam bahasa Belanda tertulis: “Het Burgerlijk Wetboek is, voor zoo verre daarvan bij dit Wetboek niet bijzonderlijk is afgeweken, ook op de in dit Wetboek behandelde onderwerpen toepasselijk”). Selain itu, dalam Pasal 63 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pun ada ketentuan serupa, yang berbunyi: “Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan” (Indien voor een feit dat in eene algemeene strafbepaling valt, eene bijzondere strafbepaling bestaat, komt deze alleen in aanmerking).
Konflik di antara norma-norma dalam peraturan perundang-undangan dapat terjadi karena perbedaan hierarkis (konflik vertikal), misalnya antara undang-undang dasar dan undang-undang dalam arti formal. Juga antara undang-undang dalam arti formal dan peraturan pemerintah, demikian seterusnya mengikuti jenjang peraturan perundang-undangan. Perlu dicatat bahwa semua peraturan perundang-undangan dapat juga disebut ‘undang-undang dalam arti material’. Undang-undang dalam arti formal sudah pasti undang-undang dalam arti material, tetapi undang-undang dalam arti material belum tentu undang-undang dalam arti formal. Semua undang-undang dalam arti material ini, di dalam terminologi hukum di Indonesia disebut ‘peraturan perundang-undangan’. Konflik secara vertikal ini akan diselesaikan dengan asas lex superior derogat legi inferiori. Sementara itu, konflik yang terjadi di antara peraturan perundang-undangan yang setingkat (satu hierarki atau horisontal) berkenaan dengan pengaturan substansi yang sama, diatasi dengan mengacu pada keberlakuan yuridis termutakhir di antara undang-undang yang berkonflik; dalam hal ini digunakan asas lex posterior derogat legi priori.
Adakah contoh problema penerapan asas ini dalam praktik hukum di Indonesia?
Pada tahun 2013 pernah muncul satu putusan menarik, yaitu putusan Mahkamah Agung Nomor 13/B/PK/PJK/2013 antara PT Newmont Nusa Tenggara melawan Gubernur Nusa Tenggara Barat. Pihak pemohon peninjauan kembali (dalam hal ini PT Newmont Nusa Tenggara) mempersoalkan munculnya Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air. Pasal 3 ayat (1) dari Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 ini mengatakan objek pajak kendaraan bermotor adalah kepemilikan dan atau penguasaan kendaraan bermotor, yang berakibat perusahaan ini dikenakan pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor jenis alat-alat berat dan besar yang digunakan di kawasan pertambangan. Hal ini dinilai tidak sesuai dengan Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara. Perusahaan ini berpendapat bahwa kontrak itu adalah lex specialis karena di dalam kontrak itu sudah diatur masalah perpajakan. Kontrak karya ini berlaku khusus, dipersamakan dengan undang-undang. Pihak perusahaan sudah membawa masalah ini ke Pengadilan Pajak, tetapi melalui putusan Pengadilan Pajak Nomor 35507/PP/M.XII/04/2011, PT Newmont Nusa Tenggara dikalahkan.
Mahkamah Agung, di dalam putusan peninjauan kembali ini ternyata bersikap berbeda, dengan mengabulkan permohonan peninjauan kembali PT Newmont Nusa Tenggara. Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Pajak Nomor 35507/PP/M.XII/04/2011. Alasan Mahkamah Agung adalah karena putusan Pengadilan Pajak ini tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan pertimbangan bahwa ketentuan di dalam kontrak karya itu merupakan lex specialis dari ketentuan umum (regulasi) yang berlaku.
Sekarang, pembaca dapat menilai ketepatan pemaknaan dan penggunaan dari asas ini pada contoh kasus di atas. Misalnya, seberapa tepat kata “lex”di sini disematkan pada kontrak di dalam lapangan hukum perdata. Demikian juga pada akhirnya dengan penerapan asas lex specialis derogat legi generali, yang menghadap-hadapkan antara kontrak karya dan peraturan daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang notabene Perda ini termasuk kategori peraturan perundang-undangan. (***)