People Innovation Excellence

TERMINOLOGY DIGITAL SLAVERY ATAU SLAVERY 2.0…?

Oleh: BAMBANG PRATAMA (Desember 2018)

Tepatnya pada tanggal 3 Mei 2011, Daniel Sieberg menulis pada kolom online Fortune tentang cara untuk menghindar dari digital slavery. Dalam tulisannya Sieberg mengatakan bahwa digital slavery adalah manusia yang diperbudak oleh perangkat teknologi, khususnya gawai cerdas (smartphone). Dikatakan diperbudak oleh perangkat elektronik karena orang seringkali asik menggunakan perangkat elektronik tanpa menghiraukan orang di sekitar fisiknya. 

Terkait perilaku manusia atas penggunaan teknologi informasi, pada tahun 2012, Australia’s Macquarie Dictionary and the McCann advertising memberikan terminologi atas tindakan orang yang senang bermain gawai cerdas (smartphone) tanpa menghiraukan orang lain dengan terminologi phubbing. Secara sederhana Sieberg dan McCann berpendapat atas fenomena manusia yang diperbudak oleh perangkat teknologi. Dengan fenomena tersebut pada akhirnya membuat Chotpitayasunondh & Douglas (2015) meneliti bahwa phubbing dalam perkembangannya telah menjadi norma di dalam masyarakat.

Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat sekali pemikiran bahwa manusia diperbudak oleh perangkat elektronik adalah sebutan lain dari kecanduan menggunakan perangkat elektronik. Bukan menunjuk pada perbudakan yang sesungguhnya, karena di sini posisi manusia yang diperbudak oleh alat. Dengan demikian tidak tepat jika penempatan perbudakan (slavery) ditempatkan sebagai terminologi. Alasannya karena menurut pandangan saya perbudakan (slavery) lebih tepat jika ditempatkan dalam praktik jual beli data pribadi atau pertukaran data pribadi dan pengolahan data pribadi. Pada kondisi demikian, sama berpendapat bahwa telah terjadi perbudakan di era digital dengan cara informasi pribadi seseorang yang dieksploitasi. Mengambil contoh misalnya seseorang pengguna media sosial yang data pribadinya diprofiling dan digunakan untuk advertising. 

Terkait praktik eksploitasi data pribadi, Konselir Jerman, Angela Merkel dari Jerman dalam Global Solution Summit berpendapat bahwa data pribadi ditentukan saja harganya, sehingga pemiliknya dapat memperjualbelikan. Denis Snower (2018) dalam tulisannya berjudul The Digital Freedon Pass: Emancipation from Digital Slavery berpendapat bahwa perlu diadakan emansipasi pada pemilik data pribadi. Dengan adanya perilaku yang sama, maka si pemilik data pribadi bisa mengetahui dengan pasti data miliknya digunakan oleh siapa dan peruntukkannya.

Dalam hal ini, Snower berpendapat bahwa terjadi perbudakan di era digital, sehingga ia menyebutnya dengan sebutan slavery 2.0, yang berubah dari bentuk perbudakan sebelumnya. Snower juga mengatakan bahwa pengguna aplikasi adalah sebagai pihakfree labour (pekerja gratis) yang membayar layanan gratis dengan memberikan berbagai data pribadi miliknya untuk digunakan oleh penyedia layanan gratis. 

Dengan maraknya bisnis model penyedia layanan gratis dan semakin banyaknya pengguna yang ketergantungan atas layanan tersebut, maka muncul lagi masalah baru, yaitudigital monopoly, yaitu pihak-pihak yang memonopoli data. Oleh sebab itu untuk merespon komodifikasi data Snower kembali berpendapat bahwa diperlukan Digital Freedom Pass (DFP) agar seseorang memiliki hak yang sama dengan penyedia layanan dalam membuka sebagian data pribadinya untuk dapat digunakan oleh pihak lain.  

Berdasarkan penjelasan di atas, ada dua hal yang bisa disimpulkan, yaitu: pertama masalah terminologi tentang perbudakan (slavery), bahwa pada prinsipnya eksploitasi data pribadi adalah digital slavery, yang mana dalam perkembangannya adalah bentuk perbudakan model baru (slavery 2.0). Dalam hal ini dikatakan perbudakan kerena personifikasi data pribadi miliknya dieksploitasi. Sedangkan pada posisi manusia dipebudak alat teknologi adalah penyebutan untuk kecanduan penggunaan perangkat teknologi. Kedua: untuk merespon eksploitasi data pribadi, maka ekualitas hak antara pemilik data pribadi dengan pengguna layanan dalam penggunaan data. Dengan adanya emansipasi antara penyedia layanan dengan pengguna layanan maka diharapkan adanya suatu keseimbangan hak sehingga terhindar dari praktik perbudakan di era digital saat ini. (***)

 

Sumber:

https://www.merriam-webster.com/words-at-play/phubbing-words-we%27re-watching

Denis Snower, The Digital Freedom Pass: Emancipation from digital slavery, https://voxeu.org/article/digital-freedom-pass-emancipation-digital-slavery, diakses Desember 2018. 

Varoth Chotpitayasunondh & Karen M. Douglas, How “phubbing” becomes the norm: The antecedents and consequences of snubbing via smartphone, Computers in Human Behavior 63 (2016) 9e18.

Daniel Sieberg, 5 Step to Escape Digital Slavery, http://fortune.com/2011/05/03/5-steps-to-escape-digital-slavery/, diakses Deseber 2018. 


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close