Tanggung Jawab Influencer yang Beriklan di Media Sosial
Yth,
Dosen-Dosen Business Law
BINUS University
Bidang periklanan sekarang ini tengah mengalami perubahan, terutama terkait medium yang digunakan untuk beriklan. Jika dahulu dalam mempromosikan barang dan/atau jasa digunakan media konvensional seperti televisi, majalah, atau billboard, kini agar dapat melakukan promosi barang dan/atau jasa dengan lebih baik, media ‘baru’ atau digital seperti berbagai layanan jejaring sosial juga turut digunakan sebagai medium iklan.
Ketika beriklan menggunakan layanan jejaring sosial khususnya instagram, tidak dapat diabaikan keterlibatan para influencer (seperti selebriti, atlet, atau figur-figur lain dengan pengaruh besar di masyarakat) dalam menyampaikan pesan atau tujuan iklan. Dengan sifatnya yang memiliki jumlah pengikut yang besar di media sosial, dan juga kemampuannya dalam mendorong atau mempengaruhi pengikutnya untuk mencoba atau memperhatikan barang dan/atau jasa milik pelaku usaha, dapat dilihat bahwa influencer memberikan kontribusi yang besar dalam keberhasilan iklan.
Yang saya ingin tanyakan, apabila ternyata barang dan/atau jasa yang diiklankan influencer dalam akun media sosial-nya adalah barang dan/atau jasa yang ternyata menimbulkan kerugian konsumen (Misalnya seorang influencer terlihat mengiklankan produk kosmetika di akun media sosial-nya, namun dikemudian hari kosmetika tersebut ditemukan mengandung bahan-bahan berbahaya dan telah merugikan seorang konsumen), maka apakah influencer tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian konsumen (mengingat betapa besarnya pengaruh influencer atas keberhasilan iklan) seperti diminta-nya pertanggungjawaban kepada pelaku usaha periklanan yang umumnya dianggap bertanggungjawab atas kerugian konsumen yaitu pemesan iklan, perusahaan periklanan, dan media iklan.
Menurut kaca mata hukum perlindungan konsumen, pada dasarnya pihak influencer yang Anda maksud adalah bagian dari pelaku usaha juga. Sebagai pelaku usaha, ia juga berkewajiban menjamin informasi yang disampaikan melalui iklan itu mengandung kebenaran. Jka seseorang diposisikan sebagai model yang memberikan testimoni atas keandalan sebuah produk, maka testimoni ini dapat saja dipandang menyesatkan konsumen, misalnya jika ternyata ia tidak pernah menggunakan produk itu dalam jangka waktu tertentu. Sayangnya, perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terkait dengan periklanan, belum pernah diuji sampai ke pengadilan. Selain di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebenarnya ada Etika Pariwara Indonesia yang juga memiliki keterkaitan, yang juga dapat dijadikan pedoman karena hal ini diatur dalam hukum positif, misalnya di dalam ketentuan Pasal 17 ayat (1) huruf f juncto Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...