SUBORDINASI DALAM HUBUNGAN KERJA
Terima kasih atas jawaban pertanyaan saya sebelumnya (kasus MI dan RH), yang telah dimuat di situs ini dengan judul “Pekerja Tanpa Surat Perjanjian Kerja”. Saya ingat bahwa ada putusan Pengadilan Hubungan Industrial Surabaya, NO. 79/g/2013/phi-sby yang memberikan pemahaman bahwa harus ada hubungan subordinasi atasan dan bawahan agar dapat dianggap ada hubungan kerja, yang dibuktikan dengan adanya sanksi apabila perintah tidak dilaksanakan oleh pekerja. Nah, dalam kasus ini MI tersebut tidak pernah diberikan sanksi apabila tidak masuk kerja ataupun jam kerjanya bebas tidak diwajibkan kerja pukul 8 pagi sampai pukul 5 dan dibebaskan untuk masuk jam kerja pukul 12 siang pulang pukul 2 siang pun tidak jadi masalah, apakah masih dapat dikatakan ada hubungan kerja?
Pertanyaan susulan ini tentu masih terkait dengan kasus MI dan RH sebagaimana diajukan oleh penanya. Dalam hal hubungan hukum antara RH dan MI, saya melihat adanya hubungan subordinasi dengan dasar perintah, di mana MI dijadikan oleh RH sebagai “sales” (suatu posisi atau jabatan). Hal ini juga diperkuat dengan adanya kepesertaan Jamsostek (Saya menganggap kepesertaan Jamsostek MI didaftarkan oleh perusahaan RH). Terkait dengan sanksi, kalau memang demikian kesepakatannya, maka sanksi bukanlah hal primer dalam menentukan ada tidaknya hubungan kerja. Terkait adanya putusan PHI tahun 2013 tersebut (dan sudah diperkuat oleh putusan MA), menurut hemat saya putusan itu belum dapat dijadikan yurisprudensi tetap. Dalam sistem hukum kita, putusan tersebut tidak mengikat untuk dijadikan dasar bagi majelis hakim PHI lainnya dalam menetapkan ada tidaknya hubungan kerja berdasarkan putusan PHI tahun 2013 tersebut. Dengan demikian, maka untuk menyikapi apakah ada hubungan kerja dalam permasalahan ini, sebaiknya kita melihat kepada ketentuan normatif yang mengaturnya (Pasal 50 UUTK tentang hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja). Lalu, apakah pekerja dapat dikategorikan mengundurkan diri? Hal ini coba dilihat berdasarkan Pasal 168 UUTK, bahwa mangkir lima hari berturut-turut dan telah dipanggil secara patut dan wajar sebanyak dua kali, maka dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.
Mungkin timbul pertanyaan bahwa apakah pekerja mungkin ditawarkan untuk bekerja kembali? Sebenarnya, jika tawaran ini bisa digunakan oleh pengusaha. Sebab, jika saja tawaran ini diterima oleh pekerja, maka hal ini tidak menghilangkan kemungkinan tuntutan pidana yang sedang dihadapi MI. Apabila tuntutan ini berujung kepada penetapan tersangka dari pihak yang berwajib (Polisi dan Kejaksaan) dengan dilimpahkan berkas tersebut ke Pengadilan, maka RH dapat melakukan PHK kepada ybs dengan mengacu kepada Putusan MK No. 012/PUU-I/2003 (pelaporan kesalahan berat dari pihak di luar pengusaha, sehingga RH tidak perlu membayar pesangon). Jadi cara ini memberi keuntungan yang didapat oleh RH guna meminimalkan biaya proses di ranah PHI. Pengusaha tidak perlu membayarkan uang yang digugat oleh MI, dan tidak banyak upaya lain terkait penyelesaian di tingkat PHI dan MA. (***)
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...