PENGUNDURAN DIRI
Saya seorang pegawai di salah satu perusahaan multi nasional yang bergerak di bidang consumer goods. Bekerja di divisi nutrisi sebagai tenaga marketing yang salah satu tugas saya adalah mendatangi para tenaga kesehatan baik itu bidang atau dokter. Seiring dengan adanya upaya untuk memberikan ASI eksklusif, maka dikeluarkan peraturan daerah untuk penggunaan produk nutrisi, dan ini berimbas kepada interaksi saya dengan para tenaga kesehatan tersebut. Mereka jika didatangi tidak mau menandatangani formulir kunjungan saya dan ini menjadi bertentangan dengan SOP di perusahaan saya yang harus mendapatkan tandatangan sebagai bukti kunjungan. Atas kondisi tersebut, saya terkondisi melakukan pemalsuan tanda Tangan atas kunjungan yang telah saya lakukan, dan ini menjadi masalah setelah perusahaan saya mengetahuinya. Saya diminta untuk mengajukan pengunduran diri, namun saya sebagai karyawan sudah mengakui kesalahan dan tidak memiliki maksud apapun juga kecuali agar dapat memenuhi SOP perusahaan terkait diperlukannya bukti kunjungan ke nakes tersebut. Saya juga ditakut-takuti oleh pihak perusahaan jika tidak mengajukan permohonan pengunduran diri, maka masalah ini akan dilaporkan kepada pihak yang berwajib dengan pasal pemalsuan (pidana) yang telah merugikan banyak pihak.
Mohon arahan Pak Iron, sekiranya apa yang harus saya lakukan terhadap hal ini, jujur saya akan menerima segala sanksi pembinaan yang akan dilakukan oleh perusahaan, tapi tidak menyuruh saya mengajukan pengunduran diri. Terima kasih.
Pak Putra Yth., saya coba menyimpulkan hal yang terjadi adalah adanya upaya Bapak dalam melakukan pemalsuan tanda tangan petugas nakes (hal ini sebagai adanya prosedur kerja pada perusahaan Bapak) di mana sebenarnya tidak terjadi kunjungan (hal ini karena adanya peraturan daerah terkait keberhasilan program pemberian ASI eksklusif). Ada beberapa hal yang dapat saya cermati, sebagai berikut:
Terkait pemalsuan tanda tangan dari petugas nakes, dalam pemahaman hukum saya hal ini masuk kepada adanya pelanggaran KUHP Pasal 263 ayat (1), yang berbunyi: “Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.”
Hanya dalam pengaduannya, sepemahaman saya harus dilakukan oleh pihak-pihak yang secara langsung dirugikan, yakni si pemilik tandatangan tersebut (petugas nakes). Perusahaan dalam hal ini tidak dapat menjadi pihak yang dirugikan terkait adanya pemalsuan tanda tangan.
Perlu dilihat juga bahwa, apakah pemalsuan tanda tangan tersebut terdapat adanya keuntungan yang Bapak terima, seperti honor, tunjangan, atau sesuatu hal dalam bentuk uang yang menjadi kewajiban perusahaan untuk diberikan kepada Bapak. Jika demikian, saya melihat adanya aspek pelanggaran pidana yang berbeda, yakni pelanggaran terhadap KUHP Pasal 374 terkait dengan “Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu.”
Kedua hal di atas, dapat secara langsung dan tidak langsung dilaporkan oleh pihak perusahaan untuk diajukan sebagai delik aduan dalam bentuk tuntutan adanya tindak pidana, sehingga selanjutnya akan menjadi urusan pihak kepolisian untuk menindaklanjutinya sebagaimana mekanisme aturan yang berlaku.
Pada praktiknya, memang perusahaan akan meminta karyawan yang melakukan tindak pidana untuk mengundurkan diri, jika tidak hal ini akan dibawa ke pihak kepolisian untuk diproses selanjutnya. Cukup ironis, kalau kita mengartikan bahwa seharusnya pengunduran diri merupakan keinginan mengakhiri hubungan kerja yang keluar murni dari karyawan, bukan adanya suatu kondisi, namun praktik-praktik ini kerap terjadi. Perusahaan melakukan apa yang disebut dengan enforce resign. Sangat masuk akal karena hal ini tidak ada landasan hukumnya terkait enforce resign dengan pemikiran bahwa kalau karyawan mengundurkan diri, maka proses ini tidak akan dilanjutkan ke pihak kepolisian.
Terkait pengunduran diri, Bapak dapat mendalaminya pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 162 ayat (1,2,3,4). Memang jika Bapak melihat pada ayat-ayatnya jelas disebutkan bahwa “Pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri ….”, menjadi hal yang bertolak belakang dengan kondisi yang Bapak alami dimana hal pengunduran diri tersebut bukan atas kehendak Bapak, melainkan dimintakan pengunduran diri, karena jika tidak maka akan dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Kalau memang demikian adanya, pengalaman dan pemahaman saya ini hanya berbicara adanya proses jika kasus ini ditangani pihak berwajib sampai adanya penetapan sebagai tersangka, bisa pada proses di Kepolisian atau di Kejaksaan terhadap kewajiban perusahaan kepada pekerja dan keluarganya, sebagaimana dijelaskan pada Pasal 160 UU No. 13 Tahun 2003.
Langkah-langkah yang dapat dipertimbangkan menurut saya adalah mengambil opsi pengunduran diri dengan tetap mendapatkan hak-hak Bapak terkait uang penggantian hak, uang pisah, dan surat keterangan kerja (dalam hal ini surat keterangan kerja diperlukan untuk pencairan BPJS Ketenagakerjaan). Bapak dengan melakukan pengunduran diri setidaknya secara proses pengakhiran hubungan kerja tetap tercatat berakhir secara baik dan bukan sebaliknya.
Demikian sekiranya yang dapat saya berikan pandangan, mohon maaf atas keterlambatan respon untuk Pak Putra, dan semoga bermanfaat.
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...