PEKERJA TANPA SURAT PERJANJIAN KERJA
Saya memiliki satu kasus sebagai berikut. Seseorang bernama MI bekerja sebagai sales sejak tahun 1990 mempunyai kartu jamsostek sampai dengan sekarang di Perusahaan RH. Dengan ketentuan pekerja bebas jam kerja, bebas pulang kerja ditentukan oleh pekerja sendiri, jika pekerja tidak masuk kerja tidak akan diberikan sanksi potongan upah atau surat peringatan dari Perusahaan RH. Uang operasional MI ditetapkan sebesar Rp.1.200.000,- per bulan jika berhasil menjual mobil diberikan komisi keuntungan (insentif). Tidak ada perjanjian kerja, SK Pengangkatan karyawan tidak ada, tidak didaftarkan di Disnaker, perintah target jam kerja dan target penjualan tidak ada. Lalu terjadi peristiwa, MI menyatakan sakit jantung tapi tidak ada surat keterangan sakit dari dokter, dan telah tidak masuk kerja sejak tahun 2014 sampai dengan sekarang. Baru di tahun 2016 pekerja menuntut kekurangan upah memakai patokan UMK di tahun 2015. MI juga sedang diproses tindak pidana penggelapan dengan laporan polisi tahun 2015. Pertanyaan saya adalah: (1) apakah bisa dikatakan ada hubungan kerja (pekerjaan, perintah, upah) antara MI dan RH?; (2) jika kita berada di pihak RH, apakah solusi terbaik untuk penyelesaian kasus ini?; dan (3) apakah harus putus dulu perkara perdata ketenagakerjaan baru RH dapat melapor untuk memproses tuntutan pidana penggelapan?
Ada beberapa bagian pertanyaan di atas yang dapat kami uraikan satu per satu. Pertama, apakah ada hubungan kerja terkait kasus di atas? Hubungan kerja mempersyaratkan terpenuhinya adanya objek yang dipekerjakan, adanya perintah melakukan pekerjaan, dan adanya pemberian upah kepada pekerja yang melakukan perintah tersebut, sehingga untuk hal ini, walau tidak adanya perjanjian kerja tertuls serta hal lainnya, tetap dikatakan memenuhi adanya hubungan kerja diantara RH dan MI (asas konsensualisme).
Lalu pertanyaan kedua, apakah solusi terbaik yang dapat diberikan (jika dilihat dari kepentingan RH)? Solusi terbaik atas permasalahan yang telah masuk ke ranah PPHI (di tingkat mediasi) adalah tetap mengupayakan agar masalah ini tidak perlu dilanjutkan ke PHI dan selanjutnya ke MA. Caranya adalah dengan melakukan pendekatan kepada MI dan membicarakan tuntutan upah yang dimintakan tidaklah sepenuhnya memiliki dasar, karena RH tidak pernah berkehendak mengakhiri hubungan kerja yang ada dengan MI, artinya dimulai 1990-2014 hubungan kerja terjadi, 2015-2016 MI sakit jantung (tidak ada surat dokter) sehingga berlaku asas “no work no pay” (walau ada ketentuan sakit berkepanjangan), dengan demikian RH tetap dapat meminta mediasi atau PHI untuk mau mempekerjakan kembali MI dengan memperbaiki mekanismenya (perjanjian kerja) secara tertulis, terlepas nantinya ada penetapan MI dari penegak hukum atas adanya laporan tindak pidana.
Kemudian untuk pertanyaan ketiga, jawabannya sebagai berikut. Dalam pemahaman dan pengalaman saya, hal ini dapat dilakukan secara paralel. Mengingat sudah adanya pengaduan adanya tindak penggelapan dan penipuan ke Kepolisian, maka saran saya terkait upaya mempekerjakan kembali MI dapat lebih dipaksakan kepada MI karena mengingat konsekuensi pidana yang akan terjadi. Berdasarkan pengalaman saya, biasanya menyikapi adanya pelanggaran terhadap Pasal 374 KUHP (Penggelapan atas kewenangan), sebelum melaporkan ke pihak berwajib saya memberikan pilihan kepada karyawan untuk mengundurkan diri dan mengganti biaya kerugian yang terjadi. (***)
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...