People Innovation Excellence

FILOSOFI KEBERADAAN JURI DI PERADILAN

Oleh SHIDARTA (Maret 2024)

Sistem juri secara umum dikenal dalam peradilan di negara-negara penganut tradisi common law system. Mungkin belum banyak yang tahu bahwa beberapa negara bertradisi civil law system sebenarnya juga sudah mengadopsi sistem juri ini, walaupun tidak persis sama seperti halnya sistem juri di Inggris. Saya menilai mereka lebih tepat disebut sebagai lay judges, yaitu sekelompok warga sipil (biasanya diberi pelatihan tersendiri di bidang hukum) untuk duduk dalam satu panel bersama dengan sejumlah hakim profesional, dalam rangka memutuskan suatu perkara. Kita mengenal komposisi demikian ada di dalam pergadilan terhadap tindak pidana yang sangat serius, antara lain digunakan di Prancis (Cour d’Assises untuk pengadilan tingkat pertama dan Cour d’Assises d’Appel untuk pengadilan tingkat banding), Italia (Corte d’Assise dan Corte d’Assise di Appello),  Spanyol (Tribunal del Jurado atau Tribunal del Jurat, dengan pengadilan banding di tingkat provinsi disebut Audiencia Provincial), Jerman (Schwurgericht dan Kammergericht di Berlin atau Oberlandesgericht di wilayah lainnya), dan Portugal (Tribunal de Júri dan Tribunal da Relação),

Untuk sistem juri yang dikenal dalam tradisi common law system, biasanya memang hanya diterapkan dalam lingkup perkara pidana. Namun ada peluang juga untuk menggunakan sistem juri pada peradilan perdata, antara lain di Amerika Serikat, Irlandia, dan Kanada, sekalipun terbilang sangat jarang terjadi.

Beberapa mahasiswa yang baru duduk di semester-semester awal sempat menanyakan tentang filosofi dari keberadaan sistem juri ini di negara-negara bertradisi common law system? Lalu, seberapa mungkin peradilan di Indonesia dapat menerapkannya juga? Tulisan singkat ini berharap dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. 

Jika dirunut ke belakang, secara historis sistem juri mengacu pada peradilan di Inggris (England dan Wales). Sistem ini sendiri telah mengalami perkembangan yang panjang dan kompleks, dimulai pada abad ke-12 ketika Raja Henry II bertahta. Saat itu, para hakim yang bergabung dalam King’s Court ditugaskan untuk berkeliling (bersafari) dari satu tempat ke tempat lain, melakukan “jemput bola” atas kasus-kasus yang sudah dikumpulkan di tempat-tempat itu. Misi pengadilan ini antara lain adalah untuk membentuk sistem sentralistis di bidang peradilan dan sekaligus memperkuat pengaruh Raja di dalam penegakan hukum. Namun, pada masa itu para juri yang dihadirkan di persidangan belum mengenal konsep juri seperti sekarang. Mereka lebih dikenal sebagai “jury of presentment” atau “jury of accusation“. Dua kelompok juri ini adalah sama-sama warga sipil tetapi masing-masing memiliki peran berbeda.

Jury of presentment adalah sebuah kelompok warga yang dipilih untuk memberikan informasi kepada hakim mengenai kasus yang sedang disidangkan. Mereka biasanya adalah saksi mata atau orang yang memiliki pengetahuan tentang peristiwa yang terjadi. Tugas mereka adalah untuk memberikan laporan tentang apa yang mereka ketahui kepada pengadilan. Dalam beberapa kasus, mereka juga bisa diperintahkan untuk menyelidiki tuduhan yang diajukan. Di sisi lain ada juga jury of accusation yang bertugas membantu pihak penuntut (jaksa) atau pengadu dalam rangka memperkuat bukti dan informasi berkaitan dengan kasus tersebut.  Jadi, mereka ini  berperan lebih aktif dalam proses penuntutan daripada peran yang diberikan kepada jury of presentment.

Sistem juri seperti yang kita kenal sekarang baru mulai berkembang pada abad ke-13 dan ke-14.  Juri yang dihadirkan diseleksi secara random dari warga sipil yang memenuhi syarat. Biasanya umurnya harus minimal 18 tahun dan cakap hukum, serta tidak memiliki catatan kriminal yang serius. Mereka juga tidak boleh memiliki konflik kepentingan dalam kasus yang tengah disidangkan. Dalam kondisi tertentu, penunjukan sebagai juri ini dapat diajukan keberatan oleh warga tersebut berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima (challenge for cause), misalnya atas dalih kesehatan atau adanya konfilik kepentingan. Pengadilan akan mempertimbangkan alasan penolakan ini. Jika pengadilan melihat tidak ada dalih yang layak untuk menolak penunjukan sebagai juri, maka warga itu dapat dihadapkan pada sanksi-sanksi tertentu, seperti denda, penahanan, atau pengurangan hak untuk mendapatkan fasilitas publik yang mensyaratkan adanya catatan seperti layaknya “surat keterangan bersih diri.”

Tidak ada kepastian berapa jumlah juri yang ditunjuk oleh pengadilan, tetapi umumnya sebanyak 12 orang (minimal 10 orang). Jumlah juri ini sangat bergantung pada ketentuan hukum acara yang digunakan, juga tingkat kerumitan kasusnya. Dalam hal tertentu, jaksa dan penasihat hukum dapat juga meminta ada penambahan anggota juri. Dewan juri ini  bertanggung jawab untuk menilai fakta-fakta kasus berdasarkan bukti yang disajikan di pengadilan. Tugas utama para juri ini adalah memutuskan apakah terdakwa bersalah (guilty) atau tidak bersalah (not guilty), bertolak dari penilaian mereka terhadap fakta-fakta yang tersaji di pengadilan, termasuk penilaian atas validitas alat-alat bukti dan kredibilitas saksi-saksi. Keputusan mereka didasarkan pada keyakinan yang melampaui keraguan wajar (beyond reasonable doubt) tentang kesalahan terdakwa. Dengan perkataan lain, juri tidak diperkenankan untuk menyatakan terdakwa bersalah jika mereka masih memiliki keraguan yang wajar tentang kesalahannya.

Nah, bagaimana jika terjadi perbedaan pendapat di antara anggota dewan juri terhadap kesimpulan tentang kesalahan terdakwa? Katakan misalnya, jumlah suara yang menyatakan bersalah dan tidak bersalah sama banyaknya. Dalam hal terjadi demikian, hakim akan meminta dewan juri untuk kembali berunding sampai tercapai kesimpulan bersama, atau paling tidak ada suara mayoritas. Apabila upaya ini gagal, maka hakim akan mengatakan juri telah mengalami kebuntuan (hung jury). Pengadilan lalu membubarkan dewan juri yang lama dan menunjuk dewan juri baru. Orang-orang yang duduk di dewan yang baru harus berbeda sama sekali. Persidangan ulang pun dilakukan di hadapan dewan juri yang baru itu.

Dari sini terlihat ada filosofi yang sangat ideal yang ingin diperjuangkan dalam sistem juri ini. Pertama, sistem juri menjamin terakomdasinya perasaan keadilan masyarakat karena di dalam peradilan itu warga sipil ikut dilibatkan. Nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat benar-benar direpresentasikan, tidak lagi secara subjektif oleh hakim, melainkan oleh warga setempat. Selain itu, kewibawaan peradilan dipandang lebih terjaga melalui sistem juri ini karena dewan juri dapat menjadi perisai bagi para  hakim. Apabila ada tuduhan adanya bias dalam penghukuman, maka hakim dapat menunjuk pada keputusan dewan juri yang menjadi dasar putusannya. Hakim tentu tetap memiliki tanggung jawab besar karena ia wajib menerapkan hukum yang relevan pada kasus tersebut dan memastikan bahwa proses peradilan berlangsung sesuai dengan hukum yang berlaku, termasuk memandu para juri agar dapat menjalan tugas mereka dengan baik.

Berangkat dari filosofi ideal dari sistem juri di atas, kita sampai pada pertanyaan hipotetis tentang seberapa mungkin sistem ini dapat dihadirkan dalam sistem peradilan Indonesia?

Pertama, sangat mungkin kita akan mengalami kesulitan menentukan warga sipil yang memenuhi syarat untuk ditunjuk sebagai dewan juri. Data kependudukan kita terbilang lemah untuk memastikan hal ini. Belum lagi jika kita harus berbicara tentang jaminan netralitas, kecakapan hukum, dan bebas konflik kepentingan. Di Amerika Serikat, sumber untuk memperoleh nama-nama juri diambil dari The Department of Motor Vehicles, voter registrations, atau bahkan phone books. Mekanisme penunjukan para juri ini juga sudah lama menjadi sorotan. Sebuah buku berjudul Guess Who’s Coming to Jury Duty?” yang baru diterbitkan sebulan yang lalu (Februari 2024) menunjukkan memang ada persoalan dalam rekrutmen para juri di Amerika Serikat, khusunya ditinjau dari sisi demografis, yakni bertolak dari komposisi ras, etnis, dan gender. Keprihatinan terhadap persoalan ini juga pernah disuarakan oleh American Bar Association sejak dua dekade yang lalu, dengan meminta agar otoritas peradilan meninjau secara berkala daftar para juri demi mencerminkan inklusivitas dan keterwakilan populasi penduduk di negara tersebut. Saya kira, problem ini akan terus terjadi pada negara-negara yang memiliki kemajemukan demografi yang tinggi, sebagaimana juga menjadi realitas di negara kita.

Di samping itu, masyarakat kita di Indonesia masih dihadapkan pada tingkat melek hukum dan kesadaran etis yang terbilang cukup memprihatinkan, apalagi di tengah intervensi teknologi informasi dan komunikasi yang sedemikian masif. Jangankan di Indonesia, di Amerika Serikat saja, isu di atas sangat fenomenal. Graham Books dalam bukunya yang berjudul “Criminal Justice and Corruption” (2019), menulis satu bab berjudul “The Jury and Potential for Corruption” (hlm. 111-129). Dalam bab ini ia menyoroti perilaku para juri yang tanpa sadar telah melanggar aturan dengan melakukan riset internet tentang kasus yang sedang mereka hadapi. Perilaku demikian tidak dibenarkan dan dapat mengarah pada pembatalan persidangan. Namun, siapa yang hidup di era digital seperti sekarang, kuat menahan godaan untuk tidak membuka informasi melalui gadget yang ada di dalam genggaman? Padahal, hasil riset mandiri tersebut berpeluang menyebabkan keputusan para juri menjadi bias dan tidak adil. Graham Books mengambil contoh persidangan perkara narkoba di Florida (2009) ketika ada seorang juri mengaku kepada hakim bahwa dia telah melakukan penelitian online mengenai kasus yang tengah ditanganinya. Hal ini jelas melanggar instruksi hakim sesuai aturan mengenai sistem juri yang telah berlaku selama berabad-abad. Ketika hakim menanyakan hal serupa kepada para juri lainnya, dia mendapat kejutan yang lebih mencengangkan karena ada delapan juri lainnya yang melakukan hal yang sama. Hakim federal William J. Zloch yang menyidangkan kasus itu tidak punya pilihan lain, selain mengumumkan pembatalan persidangan (mistrial). Bayangkan, bahwa persidangan itu telah berjalan delapan minggu dan berapa banyak pemborosan telah terjadi!

Dewasa ini, di tengah keterbukaan akses terhadap pemberitaan/pembicaraan melalui media massa dan media sosial, dapat dipastikan sangat sulit untuk mencegah para juri tidak bakal terpengaruh pesan-pesan yang beredar atas kasus yang sedang berjalan, apalagi untuk perkara yang terlanjur menarik perhatian publik. Kita mungkin saja dapat mengusulkan sebuah tindakan ekstrem dengan mengkarantina para juri dalam sebuah hotel tertentu selama kurun waktu persidangan, lalu menyensor semua pemberitaan terkait kasus itu agar tak terbaca oleh para juri. Usulan naif seperti itu jelas tidak logis lagi dilakukan di era sekarang ini. Bahkan, dalam karantina seperti itu, selain terkait biaya yang sangat tinggi, seorang juri juga akan sangat besar kemungkinan bertemu dan berkomunikasi dengan sesama juri. Hal ini pun tidak diperbolehkan. Pengkarantinaan juga bakal menghalangi mobilitas para juri, yang membuat mekanisme itu malahan bertentangan dengan penghormatan atas hak asasi manusia.

Dalam kesehatan budaya hukum yang terbilang masih memprihatinkan, termasuk atmosfer koruptif dan kolutif yang masih menggelayuti dunia peradilan, keberadaan para juri dipastikan akan membuka pintu baru bagi masuknya intervensi pihak-pihak yang berkepentingan atas suatu perkara. Bukan tidak mungkin “masuk angin” atas hasil akhir suatu perkara justru datang dari pintu para juri ini. Diukur dari kekhawatiran demikian, kita tentu harus menimbang-nimbang secara mendalam plus-minus apabila sistem juri masuk di peradilan kita. Barangkali alasan yang sama juga berlaku di negara eks jajahan Inggris, seperti Pakistan, yang tidak ingin mengadopsi sistem juri. Juga di India, yang pernah menerapkannya, lalu menghentikannya pada tahun 1973. (***)


 

 

 

 

 

 

 


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close