People Innovation Excellence

KETERANGAN AHLI DALAM TINGKAT PENYIDIKAN DUGAAN TINDAK PIDANA

Oleh AHMAD SOFIAN (Maret 2020)

Ketika terjadi dugaan tindak pidana, maka diperlukan rangkaian tindakan yang disebut dengan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia atau lembaga penegak hukum lainnya yang syah menurut undang-undang. Penyelidikan adalah untuk memastikan sebuah peristiwa atau sebuah perbuatan masuk dalam kategori tindak pidana, sementara penyidikan adalah rangkaian lanjutan dari penyelidikan untuk membuat terang dugaan peristiwa pidana tersebut, menemukan alat buktinya dan tersangkanya.

Dengan demikian ada sejumlah segmen yang panjang dan teratur ketika seseorang akan ditetapkan sebagai tersangka di tingkat penyidikan. Kaedah-kaedah dan peraturan hukum acara pidana  harus dipedomani oleh penyidik agar tidak terjadi salah prosedur, salah penetapan tersangka dan pelanggaran hak asasi manusia pada diri tersangka.

Dalam proses penetapan tersangka pun ada sejumlah asas yang menjadi panduan penyidik seperti asas praduga tidak bersalah; perlakuan yang sama dari setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan; penangkapan, penetapan tersangka, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis. Asas-asas tersebut menjadi panduan dalam melindungi hak asasi manusia terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana, karena itu penyidik melakukan rangkaian pemeriksaan terhadap sejumlah orang seperti pelapor, terlapor, saksi, ahli dan surat/dokumen secara objektif.

Sumber hukum yang dipergunakan dalam rangka menegakan hukum pidana materiil adalah hukum acara pidana. Hukum acara pidana ini menjadi panduan bagi penegak hukum baik di tingkat penyidikan, penuntutan dan proses peradilan pidana. Berikut ini beberapa sumber hukum yang dijadikan panduan dalam pemeriksaan perkara pidana :

  1. KUHAP yaitu UU No. 8 tahun 1981
  2. UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
  3. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014
  4. Peraturan Mahkamah Agung No. 4/2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan

Selain itu dalam konteks penyidikan ditambah dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana

PROSEDUR PEMERIKSAAN DUGAAN TINDAK PIDANA DITINGKAT PENYIDIKAN

Sebuah dugaan tindak pidana diketahui dengan (1) laporan/informasi dari masyarakat (2) tertangkap tangan (3) pengembangan perkara (4) investigasi/penyelidikan. Proses selanjutnya adalah dilakukan penyidikan yaitu rangkaian tindakan penyidik untuk menemukan alat bukti dan menemukan tersangkanya sehingga membuat terang sebuah dugaan tindak pidana (Pasal 1 angka 4 KUHAP).

Sebelum mulai penyidikan, penyidik akan membuat Laporan Polisi SPRINDIK atau Surat Perintah Dimulainya Penyidikan. SPRINDIK ini  yang kemudian disusul dengan terbitnya SPDP untuk disampaikan ke Kejaksaan Negeri sehingga Jaksa Peneliti dapat melakukan check dan balance atau pra penuntutan atas dugaan tindak pidana (Pasal 109 ayat (1) KUHAP.

Dalam proses penyidikan, penyidik akan mengumpulkan minimal dua alat bukti, memeriksa terlapor/pelapor,  saksi-saksi, ahli, surat kemudian ada proses gelar perkara dan kemudian jika bukti cukup, keluarlah penetapan tersangka. Untuk penetapan tersangka berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 adalah minimal ada dua alat bukti yang syah menurut Pasal 184 KUHAP dan telah dilakukan pemeriksaan terhadap “calon tersangka” atau terlapornya.

Jadi terbitnya penetapan tersangka adalah kontribusi dari berbagai alat bukti dan bukan hanya satu alat bukti, kemudian penetapan tersangka juga merupakan  hak objektif dari penyidik secara bebas dalam menilai alat bukti yang dikumpulkan dalam proses penyidikan. Dalam menetapkan seorang tersangka, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA 4/2016)  tentang  Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan dijelaskan bahwa sepanjang penyidik telah memiliki dua alat bukti yang cukup, maka penetapan tersangka tersebut syah.

Selanjutnya berkas perkara dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri setempat untuk diperiksa oleh Jaksa Peneliti, dan jika dinyatakan lengkap terbitlah P21, sehingga penetapan tersangka yang dilakukan oleh penyidik secara prosedural telah memenuhi kaedah hukum acara pidana, baik yang diatur dalam KUHAP (UU No. 8 tahun 1981) maupun ketentuan hukum acara lainnya.

ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA

Pasal 184 menyebutkan ada 5 alat bukti yang syah yaitu :

  1. Keterangan saksi
  2. Keterangan ahli
  3. Surat
  4. Petunjuk
  5. Keterangan terdakwa

Dalam Pasal 5 ayat 1 UU ITE yaitu UU No. 11/2008 juncto UU No. 19/2016 disebutkan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya  merupakan alat bukti hukum yang sah. Sementara itu di dalam Pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa alat bukti yang disebutkan Pasal 5 ayat (1) merupakan perluasana alat bukti sebagaimana diatur dalam KUHAP.

Dengan demikian, berdasarkan dua sumber hukum di atas, penyidik memiliki 6 jenis alat bukti, yang dapat dipergunakan dalam menentukan tersangka. Dan dari 6 jenis alat bukti tersebut, maka minimal dengan dua alat bukti saja, ditambah dengan pemeriksaan terlapor sudah cukup untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka.

Dengan demikian penetapan seorang tersangka, adalah didasarkan atas pemeriksaan sejumlah alat bukti, dan keterangan terlapor, gelar perkara, setelah itu munculah penetapan tersangka. Dalam proses penetapan tersangka pun telah ada pra penuntutan oleh jaksa penuntut umum agar semua proses dilalui. Dengan demikian, tidak mungkin penetapan tersangka tersebut merupakan kontribusi dari satu alat bukti saja.

POSISI KETERANGAN AHLI

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu UU No. 8/1981 tidak menjelaskan secara spesifik tentang definisi keterangan ahli. Dalam Pasal 1 angka 28 disebutkan bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan  oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal  yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara piana guna kepentingan pemeriksaan. Selain itu dalam Pasal 186 KUHAP yang menyatakan keterangan ahli adalah apa yang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

Keterangan ahli sebagai sebuah alat bukti sebagaimana diatur dalam KUHAP bukanlah satu-satu alat bukti yang berdiri sendiri. Keterangan ahli berangkai dengan alat bukti yang lain. Penetapan seorang tersangka tidak mungkin didasarkan pada keterangan ahli semata, dipastikan penyidik telah memiliki alat bukti lain yang syah sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka. Selain itu, berdasarkan Pasal 25 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian (PERKAP) Negara RI Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan  2 alat bukti yang syah, wajib diadakah lebih dahulu gelar perkara, kecuali tertangkap tangan. Dengan demikian, gelar perkara ini akan menilai sebuah alat bukti, prosedur yang dilakukan penyidikan, apalagi dalan proses gelar perkara ini akan dihadiri juga oleh organ pengawasan dari internal Polri (Pasal 32 ayat (2)), PERKAP Nomo5 6 Tahun 2019.

Keterangan ahli dapat diberikan oleh ahli atas permintaan penyidik, atau permintaan Jaksa, atau atas permintaan terdakwa/kuasa hukumnya. Ahli akan memberikan keterangan berdasarkan keahlian yang dimilikinya secara objektif dan tidak memihak. Keterangan ahli juga dapat dijadikan pertimbangan penyidik atau tidak dijadikan pertimbangan penyidik dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Demikian juga di pengadilan, keterangan ahli tidak mengikat bagi hakim dalam menentukan seseorang terdakwa secara syah dan menyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.

KESIMPULAN

 Berdasarkan uraian di atas, maka kesimpulan yang dapat saya berikan adalah sebagai     berikut :

  1. Keterangan ahli merupakah sebagai alat bukti yang dipergunakan pada tingkat penyidikan, penuntutan dan proses persidangan di pengadilan
  2. Keterangan ahli bukanlah satu-satu dasar untuk menentukan seseorang menjadi tersangka, terdakwa atau terpidana, tetapi terkait dengan alat bukti lainnya dan penilaian objektif dari penyidik, penuntut umum dan hakim.
  3. Pada tingkat penyidikan, ketika seseorang akan ditetapkan sebagai tersangka harus minimal dua alat bukti yang syah dan ditambah dengan gelar perkara.
  4. Keterangan ahli adalah dokumen yang otentik karena diberikan atas permintan resmi penyidik, jaksa, pengacara, sehingga tidak termasuk dalam kategori perbuatan yang melawan hukum atau melanggar hukum.
  5. Substansi keterangan ahli menjadi kewenangan penyidik untuk menilainya pada tingkat penyidikan, dan pada tinggak penuntutan adalah kewenangan jaksa, sementara pada tingkat pengadilan hakimlah yang menilai kekuatan pembuktian keterangan ahli.


Published at :

Periksa Browser Anda

Check Your Browser

Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

We're Moving Forward.

This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

  1. Google Chrome
  2. Mozilla Firefox
  3. Opera
  4. Internet Explorer 9
Close