ANTARA PLAGIARISME DAN PEMBAJAKAN HAK CIPTA
Oleh SHIDARTA (Maret 2020)
Dua tahun lalu, sebuah tim kecil dibentuk oleh Kementerian Pendidikan Nasional untuk merevisi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Saya satu kali pernah ikut dimintakan masukan terkait niat untuk pengubah peraturan itu, tetapi setelah itu tidak terdengar lagi seperti apa perkembangannya (silakan klik tautan di akhir artikel ini). Dari salah seorang rekan yang terlibat dalam tim perubahan tersebut, diperoleh kabar bahwa peraturan ini masih tetap berlaku sampai sekarang.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2010 tersebut terbilang sangat singkat, hanya terdiri dari 15 pasal dan mulai berlaku per tanggal 16 Agustus 2010. Ada beberapa kata kunci yang penting untuk dicermati dalam peraturan ini.
Pertama, kata “plagiat” (seharusnya “plagiarisme”) yang diartikan sebagai perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan/atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai. Kedua, kata “plagiator” yang bermakna orang perseorangan pelaku plagiat, masing-masing bertindak untuk diri sendiri, untuk kelompok atau untuk dan atas nama suatu badan. Jika dua pengertian terminologi di atas ditelaah unsur-unsurnya, maka yang disebut dengan plagiat adalah perbuatan:
- SUBJEK NORMA: orang perserorangan (plagiator; dalam konteks pendidikan tinggi, berarti dapat berupa seorang atau sekelompok mahasiswa, dosen, peneliti, dan/atau tenaga kepndidikan), yang bertindak untuk diri sendiri/kelompok, atau atas nama badan.
- OPERATOR NORMA: dilarang
- OBJEK NORMA: mengutip sebagian atau seluruh karya dan/atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya;
- KONDISI NORMA: (a) dengan sengaja atau tidak sengaja; (b) dalam rangka memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah.
Apa yang dimaksud dengan mengutip sebagaimana disebutkan dalam objek norma di atas? Peraturan menteri ini memberi acuan, tetapi tidak membatasinya hanya itu saja. Rinciannya adalah sebagai berikut: (1) mengacu dan/atau mengutip istilah, kata-kata dan/atau kalimat, data dan/atau informasi dari suatu sumber tanpa menyebutkan sumber dalam catatan kutipan dan/atau tanpa menyatakan sumber secara memadai; (2) mengacu dan/atau mengutip secara acak istilah, kata-kata dan/atau kalimat, data dan/atau informasidari suatu sumber secara memadai; (3) menggunakan sumber gagasan, pendapat, pandangan, atau teori tanpa menyatakan sumber secara memadai; (4) merumuskan dengan kata-kata dan/atau kalimat sendiri ari suatu sumber kata-kata dan/atau kalimat, gagasan, pendapat, pandangan, atau teori tanpa menyartakan sumber secara memadai; (5) menyerahkan suatu karya ilmiah yang dihasilkan dan/atau telah dipublikasikan oleh pihak lain sebagai karya ilmiahnya tanpa menyatakan sumber secara memadai.
Mari kita bandingkan ketentuan dalam peraturan menteri itu dengan ketentuan di dalam Pasal 1 butir 23 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tenang Hak Cipta. Di situ terdapat definisi tentang pembajakan, yaitu penggandaan ciptaan dan/atau produk hak terkait secara tidak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Siapa yang menjadi pelaku pembajakan ini? Apabila kita mengacu pada Pasal 113 ayat (4), Pasal 116 ayat (4), Pasal 117 ayat (3), dan Pasal 118 ayat (2), pelaku pembajakan itu adalah orang. Di dalam Pasal 1 butir 27, orang dimaknai sebagai orang perseorangan atau badan hukum. Apabila kita derivasi lagi unsur-unsur normatifnya, maka pelaku pembajakan (=pembajak hak cipta) adalah sebagai berikut:
- SUBJEK NORMA: orang perserorangan atau badan hukum.
- OPERATOR NORMA: dilarang
- OBJEK NORMA: menggandakan ciptaan dan/atau produk hak terkait
- KONDISI NORMA: (a) secara tidak sah; (b) pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas; dan (c) untuk memperoleh keuntungan ekonomi.
Plagiarisme memang melanggar hak cipta orang lain, tetapi tidak serta merta termasuk kategori pembajakan hak cipta. Seorang mahasiswa yang membuat tugas akhir untuk diserahkan kepada dosennya agar dinilai, kemungkinan menyalin dari suatu referensi, tetapi ia tidak mencantumkan referensi itu. Karena tidak ada referensi, pernyataan di dalam tugas akhir itu memberi kesan berasal dari mahasiswa tersebut.
Pertama, kita bisa mulai mendiskusikannya dari subjek atau sasaran norma. Pelaku plagiarisme adalah orang perseorangan, sedangkan pelaku pembajakan diperluas tidak hanya orang perseorangan, melainkan juga badan hukum. Istilah “badan hukum” di sini sebenarnya perlu lebih diperjelas lagi, mengingat tidak semua badan usaha harus berbentuk badan hukum. Lebih repot lagi, tidak semua badan hukum itu harus badan usaha karena ada badan hukum publik seperti lembaga negara atau lembaga pemerintahan. Mereka juga terbuka untuk melakukan pembajakan hak cipta atas karya orang lain.
Perdebatan dapat dilanjutkan terhadap kata “penggandaan” dalam contoh kasus di atas. Apakah pengambilan satu atau sejumlah paragraf, kalimat, frasa, dan/atau terminologi tertentu dari orang lain tanpa disertai penyebutan sumber itu merpakan suatu penggandaan? Menurut Pasal 1 butir 12 UU Hak Cipta, penggandaan adalah “Proses, perbuatan, atau cara menggandakan satu salinan ciptaan dan/atau fonogram atau lebih dengan cara dan dalam bentuk apapun, secara permanen atau sementara.” Harus diakui bahwa definisi tersebut bukanlah sebuah definisi yang bagus karena untuk definiendum “penggandaan” itu terdapat kata “menggandakan” di dalam definiens-nya. Namun, kita dapat mengatakan bahwa tindakan menggandakan adalah sebuah replikasi dari karya orang lain yang sudah ada sebelumnya. Pengutipan boleh-boleh saja ditafsirkan secara ekstentif sebagai sebuah replikasi. Hanya saja, pengutipan secara tidak langsung (parafrasa), yakni berangkat dari ide orang lain tetapi dituangkan dalam komposisi redaksional yang berbeda, bisa saja kemudian dianggap bukan sebuah replikasi.
Hal lain adalah tentang sebaran. Tindakan mahasiswa yang menyerahkan tugas untuk dinilai oleh dosen, tidak dalam rangka untuk didistribusikan secara luas. Dalam pembajakan, unsur ini penting untuk dicermati. Jika tidak ada pendistribusian secara luas, berarti bukan pembajakan.
Terakhir, tentang motif. Dalam plagiarisme motifnya adalah untuk memperoleh kredit (misalnya dalam rangka kenaikan jenjang jabatan akademik) dan nilai (misalnya skor ujian). Sementara, di dalam pembajakan, motifnya adalah keuntungan ekonomis. Bagi seorang mahasiswa, nilai ujian yang tinggi bisa-bisa saja pada akhirya bermuara pada kecepatannya lulus sebagai sarjana dan kemudian ia memperoleh gaji dari pekerjaan yang mensyaratkan gelar kesarjanaan itu. Namun, hubungan kausalitas antara anteseden dan konsekuennya terlalu jauh dan terkesan dibuat-buat untuk dapat menarik kesimpulan bahwa tindakan plagiarisme si mahasiswa itu bermotifkan ekonomi.
Pada akhirnya, kita dapat menyimpulkan bahwa ranah plagiarisme yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2010 itu belum benar-benar masuk ke dalam kriteria pelanggaran hukum berupa pembajakan menurut Undang-Undang Hak Cipta. Sanksi atas pembajakan menurut Undang-Undang Hak Cipta adalah sanksi pidana. Plagiarisme yang diatur di dalam peraturan menteri tersebut sama sekali tidak mencantumkan sanksi pidana. Jenis-jenis sanksinya (jika dilakukan oleh mahasiswa) cenderung mengarah ke sanksi etis-organisatoris dan administratif, yakni dapat berupa teguran, peringatan tertulis, penundaan pemberian sebagian hak mahasiswa, pembatalan nilai satu atau beberapa mata kuliah yang diperoleh mahasiswa, pemberhentian dengan hormat dari status sebagai mahasiswa, pemberhentian tidak dengan hormat dari status sebagai mahasiswa, sampai pada pembatalan ijazah apabila mahasiswa telah lulus dari suatu program. (***)
Tentang laporan penyelenggaraan diskusi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2010, dua tahun lalu, silakan Klik tautan berikut:
https://business-law.binus.ac.id/2018/02/11/plagiarisme-dalam-peraturan-menteri/
Published at :