DEKLARASI DJUANDA
Oleh REZA ZAKI (Juni 2019)
Deklarasi Djuanda merupakan perjuangan bangsa Indonesia untuk memperjuangkan batas wilayah laut, sehingga wilayah Indonesia merupakan suatu kesatuan yang utuh dilihat dari berbagai aspek, yaitu aspek politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Deklarasi Djuanda pertama kali diucapkan oleh Ir. Djuanda Kartawidjaja pada tanggal 13 Desember 1957. Djuanda Kartawidjaja sendiri merupakan Perdana Menteri yang diangkat oleh Presiden Soekarno menggantikan Ali Sastroamidjojo. Latar belakang Deklarasi Djuanda sendiri adalah akibat peraturan warisan dari pemerintah kolonial Belanda mengenai hukum laut Indonesia yaitu Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939 (Staatsblad 1939 No. 422) atau yang biasa disingkat dengan Ordonantie 1939. Ordonantie 1939 menetapkan bahwa jarak laut teritorial bagi tiap pulau di Nusantara adalah tiga mil. Peraturan ini memunculkan ‘kantong-kantong’ lautan bebas di tengah-tengah wilayah Indonesia yang membuat kapal-kapal asing dapat berlayar secara bebas termasuk kapal-kapal perang. Kapal-kapal Belanda dapat dengan bebas menjelajahi perairan laut di antara pulau-pulau di Indonesia sesuai dengan hukum laut internasional yang berlaku saat itu. Indonesia tidak memiliki hak untuk melarangnya ditambah kekuatan Angkatan Laut Indonesia tidak sekuat Belanda. Keberadaan laut-laut bebas di antara pulau-pulau di Indonesia ini terlihat janggal. Bagaimana wilayah suatu Negara yang berdaulat dipisahkan oleh laut-laut bebas antara pulau-pulaunya. Oleh karena itu muncullah ide untuk memperbaharui Ordonantie (hukum laut)1939.
Ide untuk mengubah hukum laut Indonesia muncul pertama kali pada tahun 1956. Ide itu muncul karena adanya desakan dari Departemen Keamanan Republik Indonesia untuk memperbaharui hukum laut yang lama (ordonantie 1939) karena membahayakan kepentingan Indonesia. Pada tanggal 17 Oktober 1956, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo menyetujui ide pembaharuan hukum laut Indonesia. Hal ini diwujudkan dengan pembentukan panitia interdepartemental yang bertugas merancang undang-undang mengenai wilayah perairan Indonesia dan lingkungan maritim berdasarkan keputusan Perdana Menteri No.400/P.M./1956. Panitia ini diketuai oleh Kolonel Pirngadi. Panitia yang diketuai Pirngadi berhasil menyelesaikan rancangan undang-undang wilayah perairan Indonesia dan lingkungan maritim yang baru selama 14 bulan.[1] Pada dasarnya, rancangan undang-undang itu masih mengikuti ordonantie 1939, namun perbedaannya adalah bahwa laut teritorial Indonesia ditetapkan dari 3 mil menjadi 12 mil. Sebelum rancangan undang-undang ini disetujui, kabinet Ali Sastroamidjojo bubar dan digantikan oleh kabinet Djuanda. Sejalan dengan ketegangan yang terjadi antara Belanda dan RI, kabinet Djuanda lebih banyak memberi perhatian untuk menemukan sarana yang dapat memperkuat posisi Indonesia dalam melawan Belanda yang lebih unggul. Untuk itu pada tanggal 1 Agustus 1957, Ir. Djuanda mengangkat Mochtar Kusumaatmadja untuk mencari dasar hukum guna mengamankan keutuhan wilayah Indonesia. Akhirnya, Mochtar Kusumaatmadja memberikan ide mengenai “asas archipelago” yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Internasional 3 pada 1951 seperti yang telah dipertimbangkan oleh rancangan undang-undang sebelumnya yang tidak dijalankan dalam hukum laut Indonesia. Sebagai alternatif terhadap rancangan undang-undang itu, disusunlah “asas negara kepulauan”. Dengan menggunakan “asas archipelago” sebagai dasar hukum laut Indonesia, maka Indonesia akan menjadi negara kepulauan atau “Archipelagic State” yang merupakan suatu eksperimen radikal dalam sejarah hukum laut dan hukum tata negara di dunia.
Pada tanggal 13 Desember 1957, panitia rancangan undang-undang laut teritorial dan lingkungan maritim dipanggil Djuanda di Pejambon, Jakarta. ketuanya Pirngadi dan Mochtar Kusumaatmadja kemudian menjelaskan peta Indonesia yang sudah menggunakan konsep laut yang baru sebagai wilayah teritorial Indonesia bukan hanya 3 mil atau 12 mil dari garis air rendah. Hasil rapat kabinet kemudian memutuskan konsep yang menyatakan bahwa “segala perairan disekililing dan diantara pulau-pulau di Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari daratan dan berada dibawah kedaulatan Indonesia” diterima sebagai hasil rapat. Kemudian keputusan ini diumumkan Djuanda, yang kemudian dikenal dengan deklarasi Djuanda, yang memiliki arti yang penting bagi perjuangan bangsa Indonesia untuk meningkatkan pembangunan dan memantapkan kesatuan nasionalnya. Dengan demikian wilayah laut Indonesia dihitung 12 mil dari garis-garis dasar yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau Indonesia yang terluar, dengan demikian luas territorial Indonesia berkembang dari dua juta km2 menjadi lima juta km. Meskipun Deklarasi Djuanda belum diakui secara internasional, namun oleh pemerintah Indonesia, deklarasi ini disahkan melalui keputusan Undang-Undang/ Prp No. 4/1960, bulan Februari 1960. Undang-undang ini kemudian diperkuat dengan Keputusan presiden no. 103/1963 yang menetapkan seluruh perairan nusantara Indonesia sebagai satu lingkungan laut yang berada di bawah pengamanan Angkatan laut RI. Pengesaha deklarasi Djuanda ini menimbulkan kecaman dari dunia Internasional, namun Indonesia tetap bersikukuh bahwa deklarasi Djuanda merupakan solusi yang terbaik untuk menjaga keutuhan laut Indonesia dan dipergunakan untuk kemamkmuran rakyat Indonesia. Perjuangan ditempuh bangsa Indonesia untuk mendapatkan pengakuan terhadap deklarasi Djuanda dengan mengikuti konferensi hukum laut yang diadakan oleh PBB dalam UNCLOS I (United Nations Conference on the Law of Sea), di Jenewa, Swiss pada tahun 1958. Pada tahun 1960 Indonesia mulai mengajukan deklarasi Djuanda di UNCLOS II. Perjuangan tersebut belum berhasil. Namun Pemerintah berusaha menciptakan landasan hukum yang kuat bagi deklarasi Djuanda pada tanggal 18 Februari 1960. Meskipun pada awalnya deklarasi Djuanda banyak ditentang oleh beberapa negara.
Baru pada konferensi Hukum laut PBB ke 3 (UNCLOS III), deklarasi Djuanda kemudian diakui dalam konvensi hukum laut PBB di Montego Bay (Jamaika) pada tanggal 10 Desember 1982. Indonesia kemudian meratifikasinya dalam undang-undang No. 17/1985 pada tanggal 31 Desember 1985. Pada akhirnya deklarasi Djuanda diakui oleh PBB sejak diucapkan oleh Perdana Menteri Ir. Djuanda, namun baru diakui dunia internasional sejak 16 November 1994 setelah 60 negara meratifikasinya. (***)