OVER-ADVERTISED MEIKARTA DI RUANG PUBLIK
Oleh SHIDARTA (Oktorber 2017)
Meikarta adalah sebuah fenomena. Sepanjang pengamatan saya, kompleks real estat (real estate) raksasa yang dibangun oleh Lippo Group ini secara masif melancarkan strategi pemasaran yang belum pernah tercatat dalam sejarah perikalan Indonesia. Iklan-iklannya mengisi ruang-ruang publik di media cetak, elektronik, dan luar ruang. “Bawa aku ke Meikarta…!” begitu salah satu jargon iklannya yang hampir setiap hari terdengar dalam bulan-bulan terakhir ini.
Sebagai pelanggan salah satu koran, saya mendapati setiap hari iklan Meikarta telah menyita sedikitnya sejumlah halaman penuh koran yang saya baca (ada strategi dari waktu ke waktu halaman iklan yang tersita kian disusutkan dari semula terbanyak sekitar enam halaman). Dan, itu berlangsung selama berminggu-minggu. Lalu, adakah yang salah dengan gejala over-advertised seperti ini?
Dalam ‘Masyarakat Periklanan Indonesia’ (suatu terminologi yang seringkali dipakai oleh praktisi periklanan), dikenal sedikitnya tiga unsur yang bermain dalam bisnis periklanan. Pertama adalah para pengiklan, yang dulu disebut pemrakarsa iklan. Mereka adalah penggagas awal suatu iklan yang biasanya dirangkap oleh pemilik produk, baik produk barang maupun jasa. Mereka inilah yang memesan dan membiayai pembuatan suatu iklan. Sebagai pelaku bisnis yang profesional, para pemrakarsa ini umumnya tidak mendesain iklannya sendiri. Untuk itu ada unsur kedua yang berperan, yakni perusahaan periklanan. Unsur inilah yang mematangkan gagasan awal si pemrakarsa iklan, sehingga suatu iklan mampu memikat calon-calon pembeli. Unsur terakhir atau ketiga adalah pengelola media, yang melalui media terbitannya iklan-iklan itu ditayangkan dan menjangkau ke calon-calon pembeli itu. Apabila ada unsur tambahan di luar ketiga eksponen tersebut, mereka adalah para penyandang profesi atau pelaku usaha yang terkait, seperti model iklan dan biro iklan, yang sesungguhnya bisa juga dilekatkan ke dalam salah satu unsur di atas.
Indonesia saat ini memang belum memiliki undang-undang khusus di bidang periklanan. Kendati demikian, ada pengaturan tentang periklanan di beberapa produk hukum, seperti di Undang-Undang tentang Pers, Penyiaran, dan Perlindungan Konsumen. Masyarakat Periklanan Indonesia juga telah melahirkan Etika Pariwara Indonesia, yang sebenarnya tidak sekadar mengikat secara etis, melainkan juga secara hukum pidana melalui Pasal 17 ayat (1) huruf f jo. Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Ketiga ayat di atas menyatakan bahwa pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan. Jika terjadi pelanggaran etika ini, maka pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan itu. Bahkan, pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf f itu dapat dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dalam Etika Pariwara Indonesia terdapat satu ketentuan pada Bab III huruf B butir 3.7 yang menyatakan bahwa monopoli waktu/ruang/lokasi iklan untuk tujuan apa pun yang merugikan pihak lain tidak dibenarkan. Penayangan suatu iklan di koran-koran tertentu yang menyita sampai beberapa halaman setiap hari dalam kurun waktu yang relatif lama, tentu akan mereduksi hak pembaca dalam mendapati informasi.
Pertanyaannya: siapa yang berpotensi untuk dipersalahkan dalam kasus over-advertised ini? Pertama-tama dan terutama, tentu pihak media. Para pengelola media adalah bagian dari Masyarakat Periklanan Indonesia yang memiliki hak untuk menyensor dan menolak iklan-iklan eksesif (overdosis) seperti itu. Pertimbangannya tentu tidak boleh hanya sekadar bisnis, melainkan apakah ada hak konsumen yang terlanggar akibat gejala over-advertised tersebut. Beriklan dan menerima iklan adalah hak dari pelaku usaha, sepanjang hak ini tidak sampai digunakan secara berlebihan, yang mengakibatkan terjadi penyalahgunaan hak (misbruik van recht).
Perilaku over-advertised memang belum pernah diujicobakan untuk diuji di ruang-ruang persidangan dalam dunia peradilan di Indonesia. Kesulitan terbesar tentu ada pada parameter untuk mengukur tingkat eksesif dari suatu iklan di media massa. Tolok ukur tersebut biasanya akan lebih mudah ditetapkan dengan sekadar melihat ukuran (besaran) iklan dan frekuensi kemunculannya. Dalam hal ini, iklan-iklan yang tampil di media cetak tentu akan lebih gampang dikalkulasi ketimbang jika ditayang di media elektronik.
Dengan asumsi ada pertanggungjawaban secara renteng, pihak pemrakarsa iklan (pengiklan) masih terbuka peluang untuk ikut dipersalahkan, namun mereka akan mudah berkelit dengan menyatakan bahwa kerugian pembaca akibat tersitanya halaman-halaman di suatu media, tidak berada dalam rentang kendali mereka. Lain halnya apabila yang dipersoalkan adalah sisi kualitatif dari iklan tersebut, yakni dengan cara mencermati apakah ada pernyataan yang menyesatkan konsumen. Analisis isi iklan seperti ini tersambung antara lain dengan, misalnya, doktrin misrepresentation; suatu topik lain yang menarik untuk dibahas di lain waktu. (***)
Published at :