HAK CIPTA SEBAGAI OBJEK JAMINAN FIDUSIA
Oleh BESAR (Oktober 2015)
Hak cipta mempunyai prospek untuk dijadikan sebagai agunan kredit (collateral), karena hak cipta memiliki nilai ekonomi dan dapat dialihkan baik seluruhnya maupun sebagaian karena pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta khususnya yang mengatur tentang hak cipta sebagai objek jaminan fidusia, seniman dapat memperoleh pinjaman dari bank dengan menjaminkan karyanya. Hal ini tercantum dalam Pasal 16 ayat (3) yang berbunyi, “Hak Cipta dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia”, Kehadiran pasal ini tidak serta merta membuat bank dengan mudah memberikan pinjamannya. Pengaturan dalam Pasal 16 ayat (3) ini memang membutuhkan penjabaran lebih lanjut. Hal ini terkait dengan jaminan bagi banknya sendiri untuk mendapatkan kepastian pengembalian dana yang telah dipinjamkan kepada seniman. Jaminan pengembalian dari pinjaman dengan jaminan hak cipta tidak lepas dari nilai sebuah lagu bisa laku atau tidak. Pada umumnya bank bersedia memberi utang kepada peminjam asalkan peminjam atau debitur menyediakan harta kekayaannya guna menjamin kelancaran utangnya.
Karya cipta sebagai objek jaminan fiducia di Indonesia memang baru ada setelah lahirnya UU No 28 Tahun 2014, sehingga pranata pengaturannya juga belum lengkap. Permasalahan yang dihadapi di Indonesia adalah belum tersedianya suatu ketentuan tentang penggunaan hak cipta sebagai agunan dalam sistem penyaluran kredit perbankan serta belum tersedianya lembaga penilai yang memiliki kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap nilai ekonomi dari hak cipta. Di negara lain seperti di Amerika Serikat, jaminan terhadap barang tidak berwujud seperti hak cipta sudah diatur. Developer Software bisa mendapatkan bantuan dari lembaga keuangan.
Pengaturan dalam Pasal 16 ayat (3) terkait dan bahkan bergantung dengan undang-undang yang lain, seperti yang disebutkan dalam Pasal 16 ayat (4) bahwa “Ketentuan mengenai hak cipta sebagai objek jaminan fidusia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Peraturan perundang-undangan yang paling dekat adalah UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Dalam hukum jaminan, penentuan jenis jaminan dipengaruhi oleh objek jaminannya. Apabila objeknya berupa barang tidak bergerak, khususnya tanah, jaminannya adalah hak tanggungan maka yang berkaitan adalah UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Untuk barang bergerak dikenal ada dua macam jaminan, yakni gadai dan fidusia. Pengaturan tentang gadai ada di dalam Pasal 1150–1161 KUHPerdata, sedangkan untuk fidusia sendiri diatur dalam UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Kalau dilihat dari Pasal 1 butir 2 Undang Undang Jaminan Fidusia berbunyi: “Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.”
Hak cipta sudah memenuhi syarat yang ditentukan pada Pasal 1 butir 2 tersebut namun pihak perbankan di Indonesia belum mempraktikan hak cipta sebagai jaminan kredit karena terdapat beberapa hambatan dalam pelaksanaannya. Hambatan-hambatan tersebut berkaitan dengan masalah nilai, pasar, kepemilikan, dan kewenangan pengajuan hak cipta sebagai objek jaminan. Hambatan-hambatan tersebut timbul karena belum adanya regulasi yang khusus mengenai hak cipta sebagai objek jaminan. Keadaan tersebut menimbulkan resiko yang cukup besar bagi pihak perbankan untuk dapat menerima hak cipta sebagai suatu objek jaminan.
Dalam fidusia, objek jaminan tidak dikuasai oleh pemberi hutang (kreditur) melainkan tetap dikuasai oleh penghutang (debitur), dan tidak ada penyerahan fisik. Perjanjian fidusia wajib dilakukan secara tertulis yang dituangkan dengan akta notaris dan wajib pula dilakukan pendaftaran. Tanpa melakukan pendaftaran tidak akan lahir jaminan fidusia. Dengan demikian apabila suatu hak cipta akan dijadikan sebagai jaminan fidusia, maka suatu ciptaan itu harus didaftarkan terlebih dahulu di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Pendaftaran ini penting sebagai bukti apabila terjadi wanprestasi, bahwa pemberi fidusia adalah pemegang hak cipta dan pelaksanaan eksekusi terhadap nilai ekonomi hak cipta dapat dilakukan melalui lembaga parate executie. (***)
Published at :
Leave Your Footprint
-
Bagus Tetap masih berbahaya. Karena pendaftaran pun tidak menjamin kepemilikan hak cipta yang sah. Jika dikemudian hari objek jaminan fidusia (yang berupa hak cipta) dipersengketakan oleh pihak ketiga, maka kreditor adalah pihak yang paling dirugikan.
-
Hosiana Daniel Adrian Gultom Halo Pak Besar, tulisan Bapak cukup kritis dalam memandang Hak Cipta sebagai jaminan fidusia. Benar kata Pak Besar, berdasarkan pengalaman saya juga, lembaga keuangan baik Bank atau Non-Bank pasti akan melakukan appraisal (penilaian) terlebih dahulu terhadap suatu obyek jaminan.
Apakah Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan Lembaga Keuangan sudah siap?, Bagaimana mekanisme yang tepat untuk melakukan penilaian terhadap Hak Cipta, baik yang tercatat atau yang tidak tercatat sehingga dapat diketahui nilai nya?, sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Salam. -
Nazila Salam Dr.
Saya mahasiswa fakultas hukum universitas syiah kuala. Saya sangat tertarik dengan tulis bapak ini, izin untuk menjadikannya referensi pak. Terimakasih