Oleh REZA ZAKI (April 2017)

Baru-baru ini,  Suriah kembali mengundang duka setelah pemerintahannya sendiri di bawah kepemimpinan Presiden Bashar Al-Assad melakukan penyerangan terhadap warga negaranya sendiri yang menyebabkan puluhan orang meninggal dunia, peristiwa itu juga membuat ratusan orang mengalami gejala-gejala yang konsisten dengan serangan agen saraf. Sebagian dari mereka dilarikan ke rumah sakit di wilayah Turki.

Tes yang dilakukan di Turki dan Inggris menunjukkan sarin atau zat seperti sarin, yang sudah dilarang sejak 2013, ditemukan dalam kejadian di Khan Sheikhoun.

Hal tersebut terjadi akibat ketegangan perebutan peran sebagai polisi dunia yang selama ini dikontrol oleh Amerika Serikat, kemudian mulai mendapatkan ancaman dari Rusia dan China. Amerika Serikat adalah negara yang baru berusia 239 tahun,namun 93% dari usiannya yakni 222 tahunnya dihabiskan dalam perang dan agresi di berbagai negara di seluruh dunia. Rusia selalu mendukung rezim yang, meskipun bermasalah, masih tetap lebih kohesif daripada pihak oposisi. Amerika Serikat mendukung oposisi yang tidak mempunyai kesatuan dan ini menjadi masalah bagi Washington. Pemerintahan Obama telah mencoba untuk mengubah situasi dengan cara pemberian bantuan militer kepada oposisi, kemudian dengan bantuan ancaman intervensi. Tetapi pada akhirnya mereka terpaksa untuk menerima inisiatif Rusia. Secara umum, posisi Amerika ditandai oleh ketiadaan strategi politik yang jelas dan ketidakmampuan untuk memahami semua seluk-beluk realitas Suriah.

Masyarakat internasional tidak ingin supaya seseorang mengambil keputusan atas namanya atau menjadi polisi dunia. Sejarah, terutama perang-perang yang diikuti oleh Amerika, menunjukkan bagaimana masyarakat terbelah setelah intervensi militer dan konflik berkepanjangan dan destruktif  yang diakibatkan olehnya.

Apa yang mengkhawatirkan kita, sebagai rakyat Suriah, adalah tahap berikutnya dari kerjasama AS-Rusia: berhasilkah Rusia memaksa rezim Suriah untuk membuat konsesi yang nyata demi penyelesaian secara politik. Sampai saat ini, mereka hanya membatasi pada penghancuran senjata kimia. Namun, senjata itu menjadi bagian dari konflik Suriah baru-baru ini saja. Dan fakta bahwa rezim berkolaborasi dalam penghancuran senjata kimia, tidak pernah akan cukup supaya kami percaya bahwa ini adalah bukti kesediaannya untuk mengambil jalan penyelesaian secara politik.

Konsensus Rusia-Amerika memberikan kesempatan bagi kedua belah pihak untuk berhenti memberi dukungan kepada salah satu pihak dalam konflik dan mulai mendukung penyelesaian konflik itu sendiri. Selain itu juga untuk mendukung koalisi yang akan muncul setelah konferensi “Jenewa-2”. Ini akan membuat peran Rusia dapat diterima oleh sebagian besar pihak Suriah, bukan hanya oleh rezim.

Apalagi dalam perkembangannya kemudian, peran aktif Rusia tersebut mendapat dukungan sepenuhnya dari Iran dan Irak. Menarik menyimak tajuk rencana harian Belanda de Volkskrant. De Volksrant menulis:

Kremlin memainkan langkah caturnya di Suriah, agar Barat dalam mencari solusi krisis tidak bisa lagi melangkahi Rusia. Di waktu belakangan ini terlihat jelas, militer pendukung Bashar al Assad semakin banyak kehilangan wilayah teritorialnya. Namun berkat dukungan Rusia, rezim di Damaskus kini kembali stabil. Dengan kehadiran angkatan udara Rusia, kini opsi untuk memaksa larangan terbang angkatan udara Assad juga tidak akan sukses.”

Lain lagi komentar harian Perancis, La Croix, yang menyarankan agar para pihak yang terlibat dalam konflik Suriah, bersepakat untuk duduk di meja perundingan. Lebih lanjut harian ini menulis:

Apa yang diharapkan dari serangan udara Amerika dan Perancis ke posisi ISIS (Islamic State of Iraq and Syria)? Juga apa tujuan peningkatan kekuatan militer Rusia di Suriah? Saat ini situasinya kacau balau, antara solusi diplomasi atau militer. Harapan mendesak ISIS dari wilayah teritorial yang direbutnya serta memulai dialog politik dengan Damaskus, masih sulit diwujudkan.  Lebih baik jika para aktor penting yang terlibat dalam konflik Suriah bisa bertemu di sela-sela Sidang Umum PBB. Ini paling tidak akan jadi titik awal jalan keluar krisis.”

Intervensi internasional pun kemudian dibutuhkan untuk dapat menyelesaikan konflik dan membangun kembali pemerintahan yang efektif di negara tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan mantan Sekretaris Jenderal PBB Boutros-Boutros Ghali bahwa masalah negara gagal dimana pemerintahan negara tersebut telah lumpuh dan pelanggaran hukum banyak terjadi karena dipicu oleh situasi internal yang berantakan, harus diselesaikan oleh intervensi humaniter agar dapat memajukan rekonsiliasi nasional dan membangun kembali pemerintahan yang efektif di negara yang bersangkutan. Terhadap Negara gagal dengan mengambil rujukan terhadap pandangan Daniel Thurer mengenai masalah negara gagal dan penegakan hukum internasional dalam artikelnya, The “Failed State” and International Law (Daniel Thurer, 1999). (***)