BELAJAR PENERAPAN KECERDASAN ARTIFISIAL DARI UNIVERSITAS LEIDEN
Oleh SHIDARTA (November 2025)
Pada tanggal 2 dan 3 November 2025, saya dan rekan-rekan dari Center of Excellence in Governance and Policy Studies (GPS) BINUS University, yang dipimpin oleh Prof. Lindrianasari bersama dengan Prof. Engkos Achmad Kuncoro dan Prof. Lim Sanny, berkesempatan berkunjung ke Institut Van Vollenhoven (VVI) di Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda. Ada beberapa agenda yang dirancang selama kunjungan tersebut.
Pada hari pertama, kami membuat janji bertemu dengan beberapa mahasiswa Indonesia yang sedang mengambil kuliah di beberapa program magister di sana, terdiri dari Rizka Qiyamullail (Public Administration), Wahyu (International Relations and Diplomacy), dan Sofia (Advanced Studies in Law and Digital Technologies). Mereka bertiga adalah penerima beasiswa LPDP untuk masa studi satu tahun. Saat ini mereka baru menjalani sekitar dua bulan pendidikan di Universitas Leiden. Pada hari kedua, kami bertemu dengan Prof. Adriaan Bedner (Professor of Law & Society in Indonesia; Head of Department van Vollenhoven Institute for Law & Society, Faculty of Law, Leiden University) didampingi oleh Dr. Santy Kouwagam. Sebelumnya kami sempat berdiskusi dengan dua kandidat doktor hukum, yaitu Anugerah Rizki Akbari dan Tody Sasmitha Jiwa Utama.
Ada banyak isu yang dibahas dalam diskusi santai bersama para mahasiswa dan kandidat doktor tersebut. Salah satu di antaranya tentang kebijakan penggunaan kecerdasan artifisial (AI) bagi mahasiswa. Dari penjelasan mereka, ternyata kebijakannya cukup bervariasi. Di tingkat universitas, terdapat lima tingkatan penggunaan AI, mulai dari larangan penggunaan AI sama sekali (no AI) sampai dengan pembolehan sepenuhnya (full AI). Untuk tingkat program studi, tampaknya kebijakannya dapat sedikit berbeda. Misalnya di Program Magister Hubungan Internasional dan Diplomasi (MIRD), tingkatannya menjadi enam. Bahkan, terdapat perbedaan urutan dalam penyebutan tingkat integrasi AI (level of AI integration). Urutan nomor 2 setelah “no AI” pada panduan universitas, ditempatkan sebagai urutan nomor 4 pada panduan MIRD. Perbandingannya adalah sebagai berikut:
| UNIVERSITAS | MIRD |
| 1. No AI | 1. No AI |
| 2. AI-assisted idea generation and structuring | 2. AI-assisted literature search |
| 3. AI-assisted editing | 3. AI-assisted editing |
| 4. AI task completion, human evaluation | 4. AI-assisted idea generation and structuring |
| 5. Full AI | 5. AI task completion, human evaluation |
| 6. Full AI |
Dalam praktiknya, dosen-dosen tetap diberi kebebasan untuk menentukan level yang mana untuk diterapkan dalam tugas yang diberikan kepada mahasiswa. Apabila tidak ada penentuan level itu, mahasiswa yang menggunakan AI juga dianjurkan untuk membuat pernyataan terkait level yang digunakan. Prinsip yang dipegang bersama adalah bahwa AI merupakan sekadar alat bantu, bukan digunakan untuk berkarya sepenuhnya. Kendati demikian, panduan tetap membuka AI digunakan sebagai “co-pilot” jika hal itu memang sesuai dengan kebutuhan tugas. Untuk itu, semua konten yang dihasilkan AI harus diberi sitasi. Mahasiswa harus mengumpulkan dan menyimpan prompt yang digunakan untuk tugas dan menyediakannya jika diminta oleh pengajar.
Dalam diskusi dengan VVI, apa yang disampaikan oleh para mahasiswa kami mintakan konfirmasi. Prof. Adriaan mengatakan bahwa penerapan panduan ini juga masih terus berkembang dan memang ada banyak pandangan. Ia sendiri cenderung ingin mahasiswa di fakultas hukum tidak bergantung pada AI sama sekali. Hal yang sama diceritakan oleh Sofia yang tengah menempuh pendidikan magister hukum, yang menegaskan tingkat toleransi terhadap penggunaan AI di prodinya terbilang paling ketat. Pandangan demikian, mengingatkan pada pernyataan Dr. Anto Mohsin (Northwestern University, Doha) yang kami temui beberapa hari sebelumnya. Ia sendiri lebih senang mahasiswa selalu memulai segala sesuatu dari pemikirannya sendiri. Ia menganalogikan situasi saat ini seperti ketika kalkulator mulai dipakai secara meluas, sehingga banyak keterampilan berhitung dasar sudah tidak lagi dikuasai.
Di BINUS sendiri, pengenalan terhadap prinsip-prinsip dalam pemanfaatan AI yang dapat dikatakan masih embrional. Kendati demikian, semua prinsip, mencakup fairness, accountability & accuracy, integrity & inclusiness, tranparency, dan human-centered sudah sejalan dengan pandangan universal terkait penggunaan teknologi AI dewasa ini. Tingkatan integrasi AI yang diintroduksi di BINUS juga sudah sejalan dengan skema yang diterapkan di Universitas Leiden, walaupun terdapat sedikit rincian berbeda. Tantangan terberat, tentu terletak pada penggunaan di tataran praktis, yakni ketika penggunaannya bersinggungan dengan kepentingan-kepentingan pragmatis.
Untuk mengurangi pragmatisme dalam proses belajar-mengajar, beberapa institusi pendidikan tinggi di Belanda juga membuat beberapa penyiasatan. Jika peserta didik berada dalam kelas-kelas kecil, presentasi secara verbal dan individual, langsung berhadapan dengan dosen, merupakan sebuah pilihan. Inovasi lain kami temui pada hari berikutnya kunjungan kami, yakni ke Universitas Twente di kota Enschede. Di sini, salah seorang dosen di sana mempresentasikan kreasinya berupa model penilaian berbasis AI terhadap tugas-tugas mahasiswa, yang disebutnya sebagai “teacher support tools programming education”. Menariknya, model ini tidak terkoneksi ke jejaring Internet, sehingga semua data relatif aman dari kemungkinan disalahgunakan oleh pihak luar. Ulasan tentang hal ini akan disajikan dalam tulisan terpisah. (***)


Comments :