BELAJAR DARI QATAR DAN NORTHWESTERN UNIVERSITY
Oleh SHIDARTA (Oktober 2025)
Pada tanggal 31 Oktober 2025, rombongan Center of Excellence in Governance and Policy Studies (Tim GPS) BINUS University, yang terdiri dari Ketua Prof. Dr. Lindrianasari, bersama dengan tiga anggota GPS lainnya (Prof. Dr. Engkos Achmad Kuncoro, Prof. Dr. Lim Sanny, dan saya) mendarat di Doha Qatar, dalam perjalanan melakukan studi banding ke sejumlah perguruan tinggi di Eropa.
Persinggahan di Doha sebagai tempat transit, dimanfaatkan oleh tim GPS untuk melakukan kunjungan ke Kota Pendidikan (Education City), yang terletak di Al-Rayyan, di pinggiran ibukota Qatar. Di tempat ini berdiri sejumlah perguruan tinggi luar negeri yang membuka cabang di Doha, seperti Carnegie Mellon University, Georgetown University, Texas A&M, dan Nortthwestern University. Tim GPS BINUS berkesempatan menaiki kereta listrik mengelilingi sebagian kompleks pendidikan seluas 12 km persegi tersebut. Kompleks yang mulai dibangun sejak tahun 1997 ini ada di bawah naungan pengelolaan Qatar Foundation, yang tidak hanya menyiapkan gedung-gedung kampus di dalam satu lokasi, tetapi juga perpustakaan, jalur dan moda transportasi, asrama, rumah ibadah, stadion berkualifikasi internasional, taman-taman, dan berbagai fasilitas layaknya sebuah kota.
Di lokasi, Tim GPS disambut oleh Assoc. Prof. Anto Mohsin, Ph.D., seorang dosen dalam bidang sejarah sains dan teknologi yang mengajar di Northwestern University, Doha. Beliau mengajak tim untuk mampir dan meninjau berbagai fasilitas di gedung Nortwestern University, yang letaknya berseberangan dengan Rumah Sakit Sidra Medicine. Sayangnya, karena hari Jumat adalah hari libur di Qatar, tidak tampak kesibukan berarti di Al-Rayyan.
Northwestern University mulai beroperasi di Doha sejak bulan Agustus 2008, dengan mebuka dua program studi tingkat sarjana di bidang komunikasi dan jurnalistik. Setiap tahun kedua program tersebut hanya menerima sekitar 450 orang mahasiswa, tetapi sebagian adalah mahasiswa internasional. Menurut Prof. Anto, cukup banyak mahasiswa kuliah di sana dengan beasiswa dari Qatar Foundation. Lembaga ini juga menyediakan fasilitas pinjaman dana pendidikan ke mahasiswa tertentu dengan kompensasi bahwa setelah lulus ia bekerja di Qatar selama enam tahun atau bekerja di mana saja dengan kewajiban mencicil pinjaman tersebut dari gaji yang diterima di kemudian hari.
Kota Pendidikan ala Qatar ini merupakan kebijakan di area pendidikan tinggi yang seharusnya dapat diadopsi oleh Pemerintah Indonesia. Jika tidak oleh Pemerintah Pusat, dapat dilakukan di daerah-daerah tertentu yang mengklaim diri mereka sebagai “kota pendidikan”. Berbagai perguruan tinggi terbaik di Indonesia, baik negeri maupun swasta, dapat diundang hadir dan membuka program-program studi pilihan mereka di satu kompleks yang super-lengkap tersebut. Tidak ada beban bagi perguruan tinggi itu untuk membangun sendiri infrastruktur seperti jalan, asrama, dan lain-lain. Semua disiapkan melalui anggaran negara, sehingga biaya pendidikan dapat ditekan serendah mungkin. Konsepnya kurang lebih mirip seperti kawasan industri yang sudah banyak dibangun di Indonesia. Apa yang terlihat di kawasan Jatinangor, Jawa Barat, mungkin salah satu yang mendekati, tetapi secara konsep jelas tidak dapat disandingkan dengan Kota Pendidikan di Al-Rayyan. Kampus-kampus Ikopin, Unpad, ITB, dan IPDN praktis dibangun dengan rancangan sendiri-sendiri, sehingga para mahasiwa tidak dapat memanfaatkannya sebagai fasilitas bersama secara terintegrasi.
Jika kita belajar dari Pemerintah Qatar, kota pendidikan ini sejak awal didesain lebih jauh daripada sekadar kawasan multi-kampus. Kota Pendidikan tersebut sengaja dirancang untuk menarik berbagai universitas terbaik dari luar negeri untuk datang dan membuka program studi mereka di negara tersebut. Alih-alih negara itu menghabiskan banyak dana mengirim banyak warganya ke luar negeri, maka lebih baik ia menarik mahasiswa asing untuk ikut dan datang studi di negaranya. Dengan demikian, para pakar berkualifikasi intenrasional juga ikut hadir membawa serta program-program riset penting untuk diinisiasi di negaranya.
Di tengah ketiadaan strategi membangun “education hub” seperti itu, perguruan-perguruan tinggi terbaik di Indonesia, termasuk BINUS University, ternyata tetap berupaya hadir di berbagai daerah di Indonesia. Tidak terhindarkan, bahwa BINUS juga harus berkompetisi dengan perguruan tinggi yang memang berasal dari daerah tersebut atau perguruan tinggi lain yang membuka program studi di tempat itu. Namun, kerapkali perguruan tinggi ini hanya dapat membangun infrastruktur secara terbatas, mengingat penyiapan infrastruktur pendidikan akan sangat mahal. Mungkin ada cara lain, yakni dengan mencari lokasi kampus di kawasan perkantoran atau bisnis yang relatif sudah berkembang. Hal inilah yang sekarang dilakukan, antara lain oleh bebeapa perguruan tinggi negeri yang membuka program studi mereka di Jakarta, Biasanya mereka hanya bersedia membuka program tingkat pascasarjana, mengingat dari sisi biaya pengelolaan, program pascasarjana memang jauh lebih rendah, sekaligus target pasarnya pun lebih terjamin. Itupun biasanya tidak untuk program studi di bidang sains yang membutuhkan fasilitas laboratorium.
Namun, bagaimana dengan iklim akademik yang ingin diciptakan. Apakah mungkin masing-masing perguruan tinggi itu siap untuk membangun perpustakaan lengkap dan laboratorium sendiri-sendiri? Model pembangunan kota pendidikan ala Qatar, semua kendala itu dapat diatasi.
Apabila infrastruktur standar yang bisa dimanfaatkan bersama oleh perguruan-perguruan tinggi kelas dunia telah tersedia di satu kawasan yang kondusif, sementara masing-masing lembaga pendidikan tetap dapat melengkapinya sekadar untuk menekankan karakter yang menjadi keunikan program studi yang ditawarkan, maka berarti fokus perhatian para pengelola pendidikan bakal tertuju pada peningkatan kualitas. Kompetisi akan menjadi sehat. Perguruan tinggi Indonesia yang mengklaim diri berkelas dunia, dapat membuktikan diri atas klaim itu karena ia hadir bersama-sama dengan perguruan tinggi lain dengan merebut minat para penstudi dari dalam dan luar negeri. Apabila pemerintah ingin memberi nilai tambah pada perguruan-perguruan tinggi dalam negeri, hal itu dapat dilakukan secara transparan, misalnya dengan membebaskan mereka dari pajak-pajak tertentu, sehingga biaya pendidikan perguruan tinggi dalam negeri dapat ditekan menjadi lebih rendah secara signifikan. Demikian juga dengan bidang-bidang studi yang dibuka untuk perguruan tinggi luar negeri, juga dapat diatur. Seperti yang dilakukan oleh Nortwestern University di Doha, mereka hanya membuka dua program studi tingkat sarjana, yaitu untuk bidang komunikasi dan jurnalistik. Dengan waktu beroperasi hampir 20 tahun, jumlah mahasiswa sebanyak itu ternyata sudah menjamin mereka untuk dapat bertahan. Di luar fasilitas pendidikan yang sangat lengkap di Kota Pendidikan itu, universitas ini menyiapkan banyak sekali sarana belajar-mengajar di gedung yang mereka tempati. Selain mahasiswa dapat memanfaatkan perpustakaan bersama, universitas ini menyediakan ruang perpustakaan sendiri. Mereka juga memiliki museum digital yang diberi nama Media Majlis Museum.
Di antara semua fasilitas yang ada di Nortwestern University, saya pribadi tertarik dengan keberadaan Media Majlis Museum ini. Hal ini tidak lain karena pikiran serupa pernah hinggap di pikiran saya sejak lama.
Di banyak perguruan tinggi, museum bukan sesuatu gagasan yang layak diadopsi. Hal ini karena cara pandang terhadap museum masih sangat konvensional, yakni dengan memajang secara fisik benda-benda purbakala yang memiliki nilai historis tertentu. Museum digital adalah contoh yang layak dipertimbangkan karena praktis tidak membutuhkan ruang simpan dan/atau ruang pamer yang luas. Objek yang disajikan ke publik juga dapat terus diperbarui dan selalu ada event rutin yang diadakan dengang mengangkat tema-tema tertentu.
Khusus untuk area ilmu hukum, mungkin baru Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta yang sudah merealisasikan ide demikian. Jauh sebelum universitas ini pindah ke Kampus Terpadu di Jalan Kaliurang Km 14,5 Sleman, Fakultas Hukum UII sudah memiliki ruang peraga yang di dalamnya ditunjukkan berbagi dokumen hukum yang penting diketahui oleh para mahasiswa. Bukan tidak mungkin, mahasiswa hukum hanya pernah mendengar istilah seperti hipotek, saham, atau obligasi, tetapi tidak benar-benar melihat wujud asli dokumennya.
Museum digital tentu memiliki makna lebih jauh daripada sekadar ruang peraga. Museum adalah fasilitas pendidikan untuk mencegah mahasiswa tidak menjadi pembelajar yang a-historis. Di tengah kemanjaan mahasiswa atas data raya (big data), boleh jadi akan ada alasan bahwa semua informasi dapat digali dari mana saja, sehingga museum sebagai fasilitas pendidikan menjadi tidak lagi relevan. Northwestern University menunjukkan cara pandang seperti itu sangat keliru.
Sebagaimana museum konvensional, tentu ada fungsi-fungsi seperti kuratorial, administratif, dan teknis, yang tetap berjalan. Namun, banyak fungsi itu dapat tergantikan dengan teknologi. Melalui teknologi digital, misalnya, sebuah museum tidak lagi memerlukan pemandu yang banyak dalam wujud orang alami. Demikian juga dengan fungsi konservator dan restorator juga akan banyak tergantikan oleh teknologi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tata kelola sebuah kampus perlu bersinergi dengan tata kelola lingkungan di sekitar kampus itu. Alih-alih Pemerintah berniat mendirikan lagi sebuah universitas baru yang digadang-gadang akan membawa pendidikan negeri ini naik kelas ke level internasional, maka apa yang dilakukan oleh Pemerintah Qatar dengan membangun Kota Pendidikan merupakan sebuah model yang jauh lebih masuk akal dan visioner. Kompetisi antar-perguruan tinggi yang beroperasi di Kota Pendidikan tidak akan larut dalam bentuk unjuk fasilitas yang sebenarnya sangat dasar seperti tingginya gedung, food-court, area parkir, dan lain-lain. Semua itu adalah kewajiban Pemerintah untuk menyiapkannya sebagai infrastruktur standar yang terbaik. Biarkan lembaga-lembaga pendidikan yang hadir di sana, baik dari dalam maupun luar negeri, fokus pada tugas pokoknya masing-masing untuk memberi pendidikan yang bermutu tinggi. Dalam skala lebih mikro, tentu tetap dibolehkan ada fasilitas-fasilitas khusus, sebagai nilai tambah dan ciri masing-masing institusi pendidikan itu. Dalam tulisan ini, Media Majlis Museum adalah sebuah contoh yang menarik dan menjadi daya tarik penstudi komunikasi dan jurnalistik di Northwestern University.
BINUS University sendiri sejak lama sudah melirik Doha sebagai salah satu “education hub” yang penting di kawasan Timur Tengah. Di kota ini terdapat sejumlah mahasiswa dan alumni BINUS. Pentingnya posisi Doha juga terkonfirmasi melalui diskusi degan beberapa alumni Program Magister Sistem Informasi BINUS@Qatar, yakni Sdr. Ali, Bambang, dan Anto, yang ikut mendampingi Tim GPS beraudiensi dengan Dubes Indonesia untuk Qatar, Ridwan Hassan, dalam acara makan malam bersama tanggal 31 Oktober 2025. (***)


Comments :