Oleh : AHMAD SOFIAN (Oktober 2025)

Pendahuluan

Tulisan ini berawal dari permintaan  keterangan ahli yang diajukan kepada saya oleh Tim Advokasi Kebebasan Informasi dan Data Pribadi (SIKAP) terkait dengan uji materiil  Pasal 65 ayat (2)  dan Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang RI No. 27 tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (PDP). Setelah mempelajari isi permohonan dan isi pasal yang dimohonkan maka kedua pasal tersebut memiliki potensi multi tafsir dan bisa diterapkan kepada siapapun tanpa memandang tujuan diungkapnya data pribadi tersebut di depan publik. Salah satu pertimbangan pemohon mengajukan judicial review terhadap kedua pasal ini tercantum dalam  halaman 20  angka 61 yang menyatakan “

“bahwa para pemohon berpendapat terhadap setidaknya 2 (dua) komponen utama yang seyogianya mendapatkan sorotan dalam menilai konstitusionalitas ketentuan Pasal Pasal 65 ayat (2)  juncto  Pasal 67 ayat (2) UU PDP, yaitu  (i) potensi kriminalisasi terhadap  jurnalis, akademisi dan seniman dengan ketiadaan pengeculaian pada pasal a quo untuk kepentingan publik, dan (ii) menghambat ruang demokrasi serta meningkatnya otoritarianisme dengan terhambatnya akses informasi publik melalui kerja-kerja jurnalistik, akademik dan karya artistik yang diproduksi oleh para pemohon”

Sementara jawaban  DPR merujuk pada UU Pers yang telah mengakomodir  dasar pemerosesan data pribadi dalam rangka kepentingan umum, layanan publik atau pelaksanaan kewenangan kendali data pribadi, sehingga pers sebagai pengendali dapat melakukan pemerosesan data  dengan tetap berdasarkan peraturan perundang-undangan. Selain itu dinyatakan pula bahwa wartawan dapat menjalankan tugas jurnalistik dengan mengungkapkan data pribadi orang lain selama tetap dilaksanakan sesuai dengan atau berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sementara itu untuk kegiatan akademik jawaban DPR menyatakan  kegiatan akademik atau penelitian, tetap diperlukan persetujuan yang sah dari subjek data sebagai dasar pemerosesan data pribadi, DPR juga merujuk Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10  ayat (1), Pasal 11, Pasal 13 ayat (1) dan (2) UU PDP. Terkait dengan produksi karya seni dan sastra menurut DPR, UU PDP tidak melarang penggunaan data pribadi yang menjadi inspirasi  dalam pembuatan karya seni dan sastera selama tetap memenuhi kaidah  yang diatur dalam UU PDP.[2]

Sementara itu keterangan pemerintah menyatakan frase melawan hukum dalam Pasal 65 ayat (2) terkait erat dengan  unsur  dolus atau sengaja dalam  Pasal 67 ayat (2) UU PDP. Selain itu ditegaskan oleh pemerintah juga bahwa UU PDP harus dilihat secara holistik dan kebutuhan perlindungan anak para pemohon telah diakomodasi dalam  UU PDP dan harus dikaitkan deengan UU Pers, UU Pendidikan Tinggi, serta UU  Pemajuan Kebudayaan. Selian itu pemerintah juga menegaskan bahwa  Pasal 15 UU PDP mengatur tentang pengecualian hak subjek data pribadi yaitu  untuk pertahanan nasional, penegakan hukum, kepentingan umum, pengawasan keuangan  atau penelitian ilmiah.[3]

Tentang Perbuatan Melawan Hukum

Sesuai kompetensi ahli, sebagai ahli pidana, maka ahli akan memberikan tafsir secara doktrinal tentang perbuatan melawan hukum dan alasan yang menghapuskan perbuatan melawan hukum itu sendiri. Lalu apakah pengecualian terkait dengan perbuatan melawan hukum itu sendiri, sehingga tidak semua perbuatan yang melawan hukum dipidana.

Dalam konteks hukum pidana sesuatu perbuatan dapat dipidana jika pembentuk undang-undang menyatakan perbuatan tersebut bersifat melawan hukum.  Sifat melawan hukum itu adalah unsur mutlak dari perbuatan .

Sejak tahun 2019 ajaran  melawan hukum itu diartikan seluas-luasnya yakni  meliputi hal-hal sebagai berikut :

  1. Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku
  2. Yang melanggar hak orang lianyang dijaimin olhe hukum, atau
  3. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku. Atau
  4. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan atau
  5. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.[4]

Perbuatan melawan hukum  diartikan sebagai perbuatan tersebut bertentangan dengan hak subjektif seseorang  atau bertentangan dengan kewajibannya sendiri menurut undang-undang. Jadi, ukurannya adalah hak seseorang berdasarkan undang-undang atau kewajiban seseorang menurut undang-undang.[5] Tafsir lain menyatakan  bahwa perbuatan melawan hukum menggambarkan sifat tidak sah dari suatu tindakan atau suatu maksud tertentu.[6]

Dalam hukum pidana ditemukan adanya dua jenis sifat melawan hukum yaitu sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materiil.[7] Menurut Von Lizt, sifat melawan hukum formil adalah perbuatan yang bertentangan dnegan suatu norma yang ditetapkan negara berupa perintah dan larangan. Sedangkan sifat melawan hukum materiel adalah pelanggaran  terhadap kepentingan-kepentingan sosial yang dilindungi oleh norma-norma hukum perorangan atau masyarakat, termasuk perusakan atau membahayakan  suatu kepentingan hukum.[8] Pendapat lain menyatakan bahwa perbuatan melawan hukum dalam arti formil  (formale wederrrehttelijkeid) artinya perbuatam dianggap melawan hukum jika ada secara tegas dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Sedangkan jika dilihat secara material (materiele wederrechtelijkeid) beraarti perbiatan yang dianggap melawan hukum meski pun tidak diatur secara tegas dalam UU namun dianggap bertentangan dengan rasa keadilan, norma social dan kepatutan.[9]

Mahkamah Konsitusi sendiri pernah membuat putusan terkait dengan ajaran melawan hukum dalam Pasal 2 dan 3 UU TIPIKOR. Dalam putusan Nomor 003/PUU-IV/2006 dinyatakan bahwa  Penjelasan Pasal 2 dan Pasal 3 UU TIPIKOR dimaknai sebagai perbuatan melawan hukum dalam arti formil.

Perlu ditegaskan bahwa sifat melawan hukum  dalam arti formil dalam suatu perbuatan dalam lapangan hukum pidana lebih sempit dibandingkan dengan lapangan bidang hukum lain.  Dalam lapangan hukum pidana sifat melawan hukum yang formil ini akan ditinjau dari sudut perundang-undangan yang berkaitan dengan asas legalitas, sehingga akan senantiasa dibenturkan dengan undang-undang yang secara tegas melarang perbuatan itu sendiri.

 Tafsir Pasal Pasal 65 ayat (2)  juncto  Pasal 67 ayat (2) UU PDP

Berikut ini adalah bunyi lengkap Pasal 65 ayat (2) UU PDP dan Pasal 67 ayat (2) UU PDP

Pasal 65 ayat (2) UU PDP

“setiap orang dilarang secara melawan hukum mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya”

Pasal 67 ayat (2) UU PDP

“setiap orang  yang dengan sengaja dan melawan hukum mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun  dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)’

Penjelasan Pasal 65 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (2)

Cukup jelas

Jika kita menelisik isi Pasal 65 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (2) UU PDP dinilai oleh penyusun undang-undang sudah cukup jelas, sehingga tidak ada penjelasan lebih detail terhadap isi kedua pasal tersebut. Namun demikian, pandangan ini, tidak serta merta difahami sama oleh para ahli, penegak hukum termasuk jaksa dan penyidik.  Sehingga yang bermasalah dari pasal ini bukan perbuatan yang dilarang semata tetapi tafsir dari frase tertentu dari isi pasal tersebut yang akan menimbulkan permasalahan dikemudian hari. Timbulnya tafsir yang berbeda atas frase tertentu dari rumusan kedua pasal tersebut khususnya pada frase “melawan hukum”. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa ajaran melawan hukum dalam doktrin dibagi menjadi dua bagian, yaitu ajaran melawan hukum dalam arti formil dan ajaran melawan hukum dalam arti materil.  Oleh karena itu, frase melawan hukum yang dirumuskan dalam Pasal 65 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (2) UU PDP dimaksudkan oleh penyusun undang-undang sebagai melawan hukum dalam arti formil dan atau melawan hukum dalam arti materiil. Sehingga, penegak hukum akan berada dalam beberapa pandangan yang berbeda, yaitu pandangan melawan hukum fomil, pandangan melawan hukum materiil atau pandangan hukum formil dan materiil.

Ahli lebih cenderung menggunakan tafsir melawan hukum dalam arti formil di lapangan hukum pidana sehingga tafsirnya lebih tegas (lex stricta) sehingga jika perbuatan itu tidak dinyatakan melawan hukum dalam undang-undang pidana atau undang-undang yang mengatur ketentuan pidana, maka tidak dapat digolongkan sebagai tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (2) UU PDP.

Karena itu Mahkamah Konstitusi (MK) perlu memberikan tafsir yang tegas, dengan memberikan tafsir yang otentik dan sistematis terkait dengan siapa saja subjek yang tidak bisa dikenakan dalam melakukan perbuatan melawan hukum terhadap  Pasal 65 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (2) UU PDP. Tentu saja tafsir otentik ini merujuk pada  undang-undang yang mewajibkan subjek hukum untuk mengungkapkan data pribadi atau memiliki tugas dalam mengungkap data  pribadi.Tafsir juga bisa merujuk pada undang-undang PDP sendiri sebagai bentuk pengecualian agar tidak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum.

Unsur melawan hukum dalam   Pasal 65 ayat (2)  juncto  Pasal 67 ayat (2) UU PDP adalah melawan hukum dalam arti fomil yang ada dalam lapangan hukum pidana, artinya harus nyata nyata perbuatan itu dilarang dalam hukum pidana (dalam undang-undang pidana). Jika perbuatan mengungkapkan data pribadi tidak dilarang bagi subjek hukum tertentu dalam undang-undang tertentu,  maka seharusnya tidak dapat digolongkan sebagai telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Berikut ini adalah uraian terkait dengan unsur-unsur Pasal 65 ayat (2) Juncto Pasal 67 ayat (2) UU PDP :

Unsur subjektif Unsur objektif Penjelasan /tafsir
Setiap orang   Orang perseorangan atau korporasi. Korporasi  adalah Kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum (pasal 1 angka 7 dan angka 8 UU PDP)
  melawan hukum Dalam UU PDP tidak dijelaskan sehingga dikembalikan pada doktrin sebagai salah satu sumber hukum pidana

dalam konteks doktrin, melawan hukum diartikan sebagai digolongkan menjadi dua yaitu melawan hukum dalam arti formil dan materiil. Dalam undang-undang tafsir yang memiliki kepastian hukum adalah melawan hukum dalam arti formil, sehingga  memberikan jaminan siapa saja yang boleh mengungkapkan data pribadi dan dikategorikan bukan perbuatan melawan hukum. Undang-undang menjadi acuan dalam pelindungan ini, agar rumusan melawan hukum dalam arti formil memiliki kekuatan yang pasti.

Jika mengacu pada Pasal 15 ayat (1) UU PDP, terkesan ada pengecualian perbuatan melawan hukum dikaitkan dengan hak subjek data yaitu jika untuk (a) kepentingan pertahanan dan keamanan nasional; (b) kepentingan proses penegakan hukum; (c) kepentingan umum dalam rangka penyelenggaraan negara; (d) kepentingan pengawasan sektor jasa keuangan, moneter, sistem pembayaran, dan stabilitas sistem keuangan yang dilakukan dalam rangka penyelenggaran negara; atau kepentingan statisti dan penelitian ilmiah.

Sayangnya ketentuan pengecualian di atas tidak ditegaskan atau tidak dikaitkan dengan pengungkapan data pribadi milik orang lain secara melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat  (2) dan Pasal 67 ayat (2) sehingga berpotensi  menimbulkan “kriminalisasi” seseorang yang mengungkapan data pribadi orang lain, yang seharusnya ditafsirkan tidak secara melawan hukum jika penegak hukum melihat dan membaca Pasal 15 ayat (1) atau Pasal 20 ayat (2) huruf e atau Pasal 50[10]

Selain itu ketentuan Pasal 15 ayat (1) ini masih mengandung kelemahan yaitu tidak memasukkan ketentuan pengecualian kepada press (jusnalis), pekerja seni/kesusasteraan, sehingga potensi untuk menyatakan bahwa ketika seorang wartawan mengungkap data pribadi seseorang  dalam kerja-kerja jurnalistik berpotensi untuk dipidana.

Undang-Undang Press yaitu UU No. 40 tahun 1999 tidak cukup memberikan tafsir terkait dengan jaminan perlindungan bagi kerja-kerja jurnalistik dalam mengungkapkan data pribadi seseorang yang bukan miliknya sebagai bukan perbuatan melawan hukum, atau dikecualikan sebagai perbuatan melawan hukum. Untuk memberikan kepastiaan dalam dalam tafsir ini maka perlu ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi.

Oleh karena itu, sebagaimana  salah satu asas legalitas yang menyatakan bahwa undang-undang harus “lex stricta” yaitu harus tegas sehingga perlu penafsiran yang tegas juga terkait dengan unsur melawan hukum yang dikecualikan, sehingga dikategorikan sebagai alasan pembenar, dan alasan pembenar ini tidak harus dibuktikan di pengadilan namun tertera dalam undang-undang yang tegas tersebut. Hukum pidana harus dirumuskan secara jelas dan tegas, tanpa ada ruang untuk panafsiran yang menyimpang atau melebarkan makna di luar ketentuan yang ada.

Asas lex stricta ini  merupakan bagian dari asas legalitas yang luas yaitu nullum crimen, nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa undang-undang). Asas lex stricta ini untuk menjamin kepastian hukum, dengan rumusan yang tegas, sehingga masyarakat dapat mengetahui dengan pasti perbuatan apa saja yang dilarang dan diancam pidana. Asas ini ini juga berfungsi  membatasi kekuasan  penguasa yang sewenang-wenang  dalam menerapkan hukum serta memberikan jaminan perlindungan, pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia bagi warga negara.

  Mengungkapkan Adalah bagian dalam pemerosesan data pribadi sebagamana diatur dalam UU PDP. Mengungkapkan berarti memuat, memberitakan, menyebutkan
  Data pribadi Data tentang orang perseorangan yang teridentifikasi atau dapat diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung melalui sistem elektronik atau non-elektronik (Pasal 1 angka 1 UU PDP)

Dalam Pasal 4 disebutkan bahwa data pribadi terdiri dari dua jenis yaitu (1) data pribadi yang bersifat spesifik meliputi : data dan informasi Kesehatan, data biometric, data genetika, catatan kejahatan, data anak, data keuangan pribadi dan atau data lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (2) data pribadi yang bersifat umum yang meliputi  : nama lengkap, jenis kelamin, kewarganegaran, agama; status perkawinan dan atau  data pribadi yang dikombinasikan untuk mengidentifikasi seseorang.

  Bukan miliknya Pemilik data tersebut adalah orang lain, siapapun itu tidak ada pengecualian, termasuk jika pemiliknya adalah anggota keluarga karena hubungan darah maupun hubungan perkawinan.

Dalam kontek yang lebih luas maka hal ini berkaitan dengan subjek data pribadi, yang dalam Pasal 1 angka 6 disebutkan sebagai orang  perseorangan yang pada dirinya melekat data pribadi

UU PDP menjamin pelindungan subjek data pribadi khususnya berkaitan dengan penggunaan data pribadi dan akuntabilitas penggunaan atau pemrosesan data pribadi miliknya.

 

Kesimpulan

  1. Dalam memberikan tafsir terhadap Pasal 65 ayat (2) Juncto Pasal 67 ayat (2) UU 27 tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi  maka penekanannya adalah frase “melawan hukum”, yang seharusnya ditafsirkan sebagai melawan hukum dalam arti formil di lapangan hukum pidana. Sepanjang UU 27 Nomor 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi dan Undang-Undang lain menyatakan perbuatan mengungkapkan data pribadi milik orang lain bukan sebagai perbuatan melawan hukum, maka subjek delik tersebut tidak dapat dikenakan pidana ketika mengungkapkan data pribadi milik orang lain.
  2. Dalam Pasal 15 ayat (1) atau Pasal 20 ayat (2) huruf e atau Pasal 50 memberikan pengecualian dalam pemerosesan data pribadi, namun pasal-pasal ini akan menyulitkan penegak hukum mengakaitkannya dengan  ketentuan pidana yang ada di dalam Pasal 65 ayat (2) Juncto Pasal 67 ayat (2) UU 27 tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi. Pasal 15 ayat (1) atau Pasal 20 ayat (2) huruf e atau Pasal 50 tidak secara otomatis digunakan ketika ada laporan ke penegak hukum terkait dengan dugaan tindak pidana yang diatur dalam  Pasal 65 ayat (2) Juncto Pasal 67 ayat (2) UU 27 tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi. Penyidik akan membutuhkan waktu lama memahami pasal-pasal ini sehingga berpotensi dalam penetapan tersangka atau dalam bahasa masyarakat “dikriminalisasi”. Demikian juga dengan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, UU Nomor 12 tahu 2012 tentang  Pendidikan Tinggi, serta UU Nomor 5  tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan adalah undang-undang  yang dapat dipertimbangkan  sebagai tafsir untuk menyatakan bahwa mengungkapkan data pribadi dalam kontek kerja-kerja jurnalistik, akademik, seni/budaya tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Ketiga undang-undang ini  pun tidak mudah difahami oleh penegak hukum dan membutuhkan ahli dalam memahami undang-undang ini ketika ada laporan dugaan tindak pidana sebagaimana diatur dalam  Pasal 65 ayat (2) Juncto Pasal 67 ayat (2) UU 27 tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi.
  3. Oleh karena itu diperlukan tafsir yang ketat dan tegas (lex stricta) oleh Mahkamah Konstitusi agar tidak menimbulkan kesalahan dalam menafsirkan  Pasal 65 ayat (2) Juncto Pasal 67 ayat (2) UU 27 tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi yaitu memastikan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam kedua pasal tersebut adalah perbuatan melawan hukum dalam arti formil di lapangan hukum pidana, dan memastikan para subjek delik yang telah dikecualikan dalam UU PDP dan UU lain ketika mengungkapkan data pribadi milik orang lain tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum di lapangan hukum pidana  dan tidak bisa dipidana.

 

Referensi

Ahmad Sofian, Tafsir Pasal 2 dan 3 UU TIPIKOR Dikaitkan dengan Ajaran  Kausalitas”, Halu Oleo Law Review, Vol 9 Issue 2, September 2025, pp 82-98

Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Penerbit Alumni, 2002).

Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, (Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2013).

P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung : Sinar Grafika, 1984).

Summary Keterangan DPR RI dan Presiden atas Permohonan Uji Materi  Pasal 65 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (2) UU 27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi

========================

[1] Disampaikan di Mahkamah Konstusi dalam Uji Materiil Pasal 65 ayat (2)  dan Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang RI No. 27 tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi pada tanggal 8 Oktober 2025.

[2] Summary Keterangan DPR RI dan Presiden atas Permohonan Uji Materi  Pasal 65 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (2) UU 27/2022 tentang Pelindungan Data Pribadi

[3] Ibid

[4] MunirFuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, (Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2013), hal. 11

[5] Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Penerbit Alumni, 2002), hal 35

[6] P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung : Sinar Grafika, 1984), hal. 337

[7] Ibid, hal 28

[8] Ibid

[9] Ahmad Sofian, Tafsir Pasal 2 dan 3 UU TIPIKOR Dikaitkan dengan Ajaran  Kausalitas”, Halu Oleo Law Review, Vol 9 Issue 2, September 2025, pp 82-98

[10] Pasal 20 ayat (2) huruf e memberikan kewenangan untuk melakukan pemrosesan data pribadi untuk kepentingan umum, pelayanan public, atau pelaksanaan kewenangan pengendali data pribadi berdasarkan peraturan perundang-undangan. Salah satu bentuk pemrosesan data pribadi berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf e adalah penampilan, pengumuman, transfer, penyebarluasan atau pengungkapan. Pasal 50 mengatur tentang pengecualian  kewajiban pengendali  data pribadi yang dikecualikan untuk (a) kepentingan pertahanan dan keamanan nasional; (b) kepentingan proses penegakan hukium; (c) kepentingan umum dalam rangka penyelenggaran negara, atau (d) kepentingan pengawasan sektor jasa keuangan, moneter, sistem  pembayaran dan stabilitas sistem keuangan  yang dilakukan  dalam rangka penyelenggaraan negara.