DEFINISI “DESA” DALAM PEMBENTUKAN KOPERASI MERAH PUTIH
Oleh SHIDARTA (Desember 2025)
Tatkala Presiden menginstruksikan agar di setiap desa/kelurahan di Indonesia dibentuk Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, dan jumlah koperasi yang dibentuk ternyata sudah mencapai lebih dari 83.000 buah, maka timbul pertanyaan: berapa sesungguhnya jumlah desa di seluruh Indonesia, sehingga perlu dibangun koperasi sebanyak itu? Menurut penelusuran di berbagai sumber, ternyata tidak ditemukan satu figur tunggal terkait jumlah desa di Indonesia. Tabel di bawah ini memperlihatkan sekilas keragaman data tersebut. Bahkan, boleh jadi, jika pembaca mengklik lagi sumber pada tautan di bawah ini, angkanya sudah bergeser pula.
| No. | Sumber Data | Jumlah Desa |
| 1 | Kemendesa.go.id (2024) | 75.259 |
| 2 | Data Indeks Desa (2025) | 75.265 |
| 3 | Badan Pusat Statistik (2024) | 84.048 |
| 4 | Simkopdes (2025) | 83.762 |
Pertanyaan tentang jumlah desa, bukan sekadar rasa ingin tahu yang sederhana. Apabila koperasi yang didirikan atas instruksi Presiden itu memang berbasis pada desa, maka tentu perlu kejelasan tentang berapa banyak koperasi baru yang ideal untuk dibentuk saat ini. Benarkah jumlahnya harus sama banyak dengan jumlah desa yang ada? Lalu, apakah desa yang akan didirikan koperasi itu adalah desa sepanjang secara sosiologis sudah berlabel “desa” atau harus benar-benar memenuhi kualifikasi tertentu sebagaimana misalnya tertera dalam pengisian kuesioner Indeks Desa (mengingat indeks tersebut adalah salah satu alat ukur yang digunakan untuk menilai tingkat kemajuan desa)? Jika untuk sebuah koperasi diperlukan sekitar 20 orang pengurus, maka dapat dibayangkan seberapa layak (feasible) sebuah koperasi perlu dibangun apabila jumlah penduduk atau kepala keluarga di desa itu tidak lebih dari 100 orang dan lokasinya pun terisolasi dari desa sekitarnya. Namun, pendapat demikian boleh jadi akan dibantah, bahwa kehadiran koperasi justru memang ditujukan untuk menerobos kebuntuan selama ini dengan menjadikannya sebagai tawaran solutif guna memutus rantai kemisikinan di tingkat pedesaan.
Tulisan ini tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar kelayakan koperasi yang telah didirikan itu. Biarkan hal ini menjadi bagian dari tugas para pengkaji di bidang perkoperasian untuk memastikannya. Tulisan ini lebih mencermati sisi normatif berkenaan dengan definisi desa/kelurahan itu.
Mari kita mulai dari definisi yang tersaji dalam literatur resmi. Dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, terdapat batasan yang menarik tentang apa itu “Desa”. Perhatikan kutipan berikut ini: “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Anda tidak salah ketika membaca redaksional definisi di atas. Dan, kita berasumsi, bahwa tidak ada kesalahan ketik (typo) dalam formulasi tersebut, Untuk itu, mari kita telisik lebih jauh seputar istilah “Desa” ini. Definisi yang tercantum di dalam Undang-Undang Desa memuat dua model definisi sekaligus.
Awalnya, pembentuk undang-undang menggunakan definisi denotatif. Frasa “Desa adalah desa…” menunjukkan definisi denotatif itu. Batasan seperti ini berpotensi menawarkan kebingungan karena secara denotatif biasanya definiendum lebih luas daripada definiens. Belum lagi ada kata-kata “… desa dan desa adat…” Kata penghubung “dan” mengarahkan kita pada pemahaman bahwa terma “Desa” harus sekaligus mencakup desa dan desa adat. Jadi, per definisi, tidak boleh ada Desa jika tidak ada di dalamnya kedua jenis desa tersebut, yaitu desa dan desa adat. Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Desa menyatakan bahwa Desa terdiri atas Desa dan Desa Adat. Semua kata “Desa” ditulis dengan huruf awal kapital. Bagi pembelajar logika, penulisan seperti ini kembali membingungkan. Belum lagi “Desa Adat” pun tidak dtemukan definisinya.
Rupanya pembentuk undang-undang ingin mengakomodasi peristilahan yang sudah beredar di masyarakat. Ada daerah yang menggunakan sebutan “desa”, tetapi ada juga “desa adat” (lihat Pasal 6 ayat [2] Undang-Undang Desa). Keduanya dimaknai sebagai Desa dalam undang-undang tersebut. Artinya, predikat “desa” (ditulis dengan huruf kecil) seyogianya lebih ditujukan untuk sebutan desa non-adat saja.
Selanjutnya, penggalan definisi tersebut dapat dikaji dengan memakai model definisi konotatif. Menurut dalil pembentukan definisi, yaitu “definitio per genus proximum et defferentiam specificam”, maka genus terdekat dari Desa adalah “kesatuan masyarakat hukum”. Desa memiliki ciri pembeda yang sangat spesifik dibandingkan dengan kesatuan masyarakat hukum pada umumnya karena Desa memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus: (1) urusan pemerintahan dan (2) kepentingan masyarakat setempat. Dasar kewenangannya adalah berangkat dari: (1) prakarsa masyarakat, (2) hak asal usul dan/atau (3) hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Definisi konotatif tersebut terkesan kuat menempatkan Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum secara tradisional. Desa memiliki kewenangan yang terbangun melalui proses kultural. Sayangnya, definisi Desa tersebut tidak menambahkan kata “terkecil”, agar dapat ditemukan genus yang lebih tepat, agar tergambarkan Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum terkecil yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan seterusnya.
Apabila Desa adalah kesatuan masyarakat hukum terkecil, maka berapa besar jumlah anggota masyarakat sebuah desa dan desa adat itu? Pasal 8 Undang-Undang Desa menjawab pertanyaan itu. Sebuah Desa baru dapat dibentuk dengan ketentuan jumlah penduduknya sebagai berikut:
- wilayah Jawa paling sedikit 6.000 (enam ribu) jiwa atau 1.200 (seribu dua ratus) kepala keluarga;
- wilayah Bali paling sedikit 5.000 (lima ribu) jiwa atau 1.000 (seribu) kepala keluarga;
- wilayah Sumatera paling sedikit 4.000 (empat ribu) jiwa atau 800 (delapan ratus) kepala keluarga;
- wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara paling sedikit 3.000 (tiga ribu) jiwa atau 600 (enam ratus) kepala keluarga;
- wilayah Nusa Tenggara Barat paling sedikit 2.500 (dua ribu lima ratus) jiwa atau 500 (lima ratus) kepala keluarga;
- wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Kalimantan Selatan paling sedikit 2.000 (dua ribu) jiwa atau 400 (empat ratus) kepala keluarga;
- wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Utara paling sedikit 1.500 (seribu lima ratus) jiwa atau 300 (tiga ratus) kepala keluarga;
- wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Maluku Utara paling sedikit 1.000 (seribu) jiwa atau 200 (dua ratus) kepala keluarga; dan
- wilayah Papua dan Papua Barat paling sedikit 500 (lima ratus) jiwa atau 100 (seratus) kepala keluarga.
Undang-Undang Desa juga menyatakan bahwa Desa dapat berubah status menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa melalui Musyawarah Desa dengan memperhatikan saran dan pendapat masyarakat Desa. Perubahan status itu harus ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi. Biasanya perubahan itu terjadi melalui penggabungan beberapa desa (lihat Pasal 14). Atas dasar pengertian di atas, maka seharusnya jumlah Desa dan Kelurahan tidak mungkin identik. Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah kabupaten/kota dalam wilayah kerja kecamatan (lihat Pasal 1 butir 5 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan).
Desa dan Kelurahan, dengan demikian, memiliki karakteristik berbeda. Desa berkonotasi sosial-kultural (apalagi desa adat), sedangkan Kelurahan lebih berkonotasi administratif pemerintahan. Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, jika diposisikan sebagai aktivitas perekonomian masyarakat yang bercirikan semangat gotong-royong, yang muncul dari akar rumput, maka seharusnya ia hadir dari dimensi sosial-kultural itu. Namun, koperasi juga merupakan aktivitas perekonomian yang membutuhkan keberlanjutan, sehingga salah satu variabel yang harus ikut diperhitungkan tentu adalah seberapa banyak anggota masyarakat yang dapat diajak berpartisipasi aktif. Kriteria minimal jumlah jiwa dan kepala keluarga yang ditetapkan dalam Pasal 8 Undang-Undang Desa seharusnya dapat menjadi “kesepakatan awal” dalam penentuan Desa yang layak dibentuk Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. (***)

Comments :