Pada tanggal 14 November 2025, dosen Business Law BINUS University, Dr. Muhammad Reza Syariffudin Zaki, S.H., MA menjadi ahli sengketa waris internasional antara Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Jerman di Pengadilan Negeri Kota Bandung.

Zaki menjelaskan bahwa Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan:

Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.”

Artinya WNI dan WN Jerman ini tidak pernah membuat perjanjian perkawinan selama hidupnnya sehingga berlaku harta Bersama. Dalam hukum perdata internasional harus dipetakan dalam teori kualifikasi. Dalam konteks ini maka masuk dalam kualifikasi lex fori yakni hukum nasional. Hal ini didukung oleh asas lex rei sitae/lex situs yang artinya hukum yang digunakan berdasarkan benda tetap (tidak bergerak) dan lex mobilia sequntur personam yang artinya hukum yag digunakan berdasarkan benda tidak tetap (bergerak). Dari pertanyaan diatas, keduanya berada baik di luar negeri maupun di Indonesia (tanah maupun Tabungan). Maka berdasarkan asas diatas, hukum yang digunakan adalah hukum masing-masing negara tersebut. Dalam hal aturan di Pasal 21 ayat (3) UUPA yang mengatakan bahwa WNA tidak boleh memiliki asset tanah di Indonesia, maka WNA bisa menjual tanah tersebut tidak lewat dari setahun sejak kepemilikannya.

Dalam hukum perdata Indonesia, wasiat (testament) adalah pernyataan seseorang tentang apa yang akan dilakukan terhadap harta bendanya setelah ia meninggal dunia.
Dasarnya terdapat dalam Pasal 875 KUHPerdata, yang berbunyi:

Surat wasiat ialah suatu akta yang berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang dapat dicabut olehnya kembali.”

Surat wasiat di bawah tangan termasuk dalam wasiat olografis, asalkan ditulis dan ditandatangani sendiri oleh pewaris. Pendaftaran tidak menentukan sah atau tidaknya wasiat secara hukum materiil, tetapi hanya memberikan kekuatan pembuktian administratif. Wasiat di bawah tangan tetap sah jika memenuhi syarat formil Pasal 932 KUHPerdata, yaitu:

  1. Dibuat oleh orang yang cakap hukum (berumur ≥ 18 tahun dan berakal sehat);
  2. Dibuat dengan kemauan bebas tanpa paksaan atau tipu daya;
  3. Dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh pewaris;
  4. Jelas menyebutkan kehendak pewaris atas hartanya setelah meninggal.

Jika syarat-syarat ini terpenuhi, maka meskipun tidak didaftarkan ke Ditjen AHU, wasit tersebut tetap sah secara hukum perdata dan dapat dijadikan dasar pembagian harta.

Wasiat tidak menghapus seluruh hak ahli waris.