Pada Rabu, 10 September 2025 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dosen Business Law BINUS University, Dr. Muhammad Reza Syariffudin Zaki, S.H., MA menjadi Ahli dalam Gugatan Wanprestasi antara Perusahaan PT. Soltius Indonesia dan PT. Payfazz Tekhnologi Nusantara. Dalam keterangan ahli disampaikan bahwa Pasal 1340 KUHPerdata menegaskan asas relativitas perjanjian (juga dikenal sebagai relativiteit van overeenkomsten), yang merupakan prinsip fundamental dalam hukum perdata. Asas ini memiliki beberapa implikasi penting:

  1. Keberlakuan Hanya kepada Para Pihak (Relativitas)

Perjanjian hanya mengikat dan berlaku bagi:

  • Para pihak yang secara langsung terlibat atau menandatangani perjanjian.
  • Artinya, hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian tidak berlaku terhadap orang lain (pihak ketiga) yang tidak ikut menandatangani atau menyetujui isi perjanjian tersebut.
  1. Tidak Dapat Merugikan atau Menguntungkan Pihak Ketiga:
  • Perjanjian tidak boleh membebankan kewajiban atau merugikan pihak ketiga.
  • Juga, tidak dapat serta-merta memberikan keuntungan kepada pihak ketiga.

Definisi Umum Perjanjian (Pasal 1313 KUH Perdata):

Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

 

Maka, agar suatu dokumen dianggap sebagai perjanjian yang sah, harus ada:

  • Kesepakatan kedua belah pihak (consensus).
  • Dua pihak atau lebih yang saling terikat secara hukum.
  • Unsur kehendak yang bebas, tidak dipaksakan.

 

Formulir yang dimaksud dalam konteks ini biasanya adalah:

  • Dokumen baku yang disiapkan oleh satu pihak (biasanya pelaku usaha).
  • Hanya ditandatangani oleh pihak pembeli / penyewa / konsumen.
  • Tidak dibahas atau dirundingkan terlebih dahulu (non-negotiable).

 

Dalam praktik, ini dikenal sebagai perjanjian baku / kontrak adhesi, yaitu:

Suatu perjanjian yang syarat-syaratnya telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, dan pihak lain hanya dapat menerima atau menolaknya secara keseluruhan (take it or leave it).

 

Kontrak adhesi bukan tanpa masalah hukum. Karena disusun sepihak dan tidak dapat dinegosiasi, maka:

  • Dalam beberapa kasus, pengadilan bisa membatalkan klausul tertentu dalam formulir tersebut jika dianggap memberatkan atau merugikan secara tidak adil bagi pihak lain, berdasarkan asas itikad baik dan keseimbangan hukum (lihat Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata).
  • Pada dasarnya klausula baku diatur dalam UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pasal 1 ayat 10 UUPK menyatakan “Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”

 

Sementara pada Penjelasan Pasal 22 ayat (1) POJK no. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, “Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah perjanjian tertulis yang ditetapkan secara sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan memuat klausula baku tentang isi, bentuk, maupun cara pembuatan, dan digunakan untuk menawarkan produk dan/atau layanan kepada Konsumen secara massal.”

 

Akibat dari pelanggaran klausula baku menyebabkan perjanjian batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen, “Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan BATAL DEMI HUKUM.”

 

Pasal 18

Ayat (1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

 

(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

 

Dari sini bisa disampaikan bahwa jika ada sebuah perjanjian pokok yang hanya melibatkan antara 2 pihak, maka tidak boleh ada pihak lain yang seolah-olah ditarik bahkan diberikan kewenangan untuk menentukan segala hal di dalam perjanjian. Pemberlakuan pihak ketiga yang hanya dilandasi oleh sebuah formulir tentu saja tidak memiliki kedudukan hukum bahkan dapat batal demi hukum.