Oleh SHIDARTA (Agustus 2025)

Sekitar satu tahun lalu, Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) memublikasikan sebuah buku panduan berjudul “ASEAN Guide on AI Governance and Ethics”. Panduan ini memuat tujuh prinsip dalam urusan “AI governance and ethics” itu. Namun, apa padanan untuk kata “AI governance” dan “AI ethics” tersebut? Tulisan ini akan membatasi pada pokok bahasan tentang “AI governance”, sedangkan “AI ethics” akan ditulis dalam artikel terpisah.

Kata “governance” di dalam berbagai kamus bahasa Inggris-bahasa Indonesia diterjemahkan dengan kata “pemerintahan”. Makna seperti ini tentu tidak tepat untuk digunakan terhadap frasa “AI governance”. Kata “governance” konon berasal dari bahasa Latin “gubernare” yang berarti mengemudi, memimpin, mengarahkan, atau memerintah. Pengertian awal itu terus berkembang, yang di dalam bahasa Inggris dipahami secara lebih luas dan tidak hanya bersinggungan dengan urusan pemerintahan. Dalam Merriam-Webster Dictionary, kata “governance” didefinisikan sebagai ” the act or process of governing or overseeing the control and direction of something (such as a country or an organization)”. Kata kunci “governing” dalam kamus yang sama diartikan dalam banyak makna, beberapa di antaranya adalah “to exercise continuous sovereign authority over…; to control, direct, or strongly influence the actions and conduct of…; to serve as a precedent or deciding principle for…; to prevail or have decisive influence; to exercise authority”.

Dalam Pasal 1 butir 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 2020, Perpu Nomor 2 Tahun 2022, dan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja) terdapat frasa “asas-asas umum pemerintahan yang baik”(AUPB) yang diartikan sebagai prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan wewenang bagi pejabat pemerintahan dalam mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. AUPB ini tidak lain adalah terjemahan dari bahasa Inggris “good governance principles”.  Di dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, AUPB itu mencakup sepluh asas berupa kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, kepentingan umum, dan pelayanan yang baik. Terlihat bahwa kata “governance” dalam konteks di atas memang mengacu pada pelayanan administrasi pemerintahan terhadap masyarakat luas, sehingga kata “governance” cukup tepat jika ditranslasi menjadi “pemerintahan”.

Lain halnya jika kita mengacu pada “good corporate governance” (GCG) yang tentu tidak tepat lagi apabila “governance” di sini diterjemahkan menjadi “pemerintahan”. Dalam berbagai publikasi, GCG sudah sangat sering diterjemahkan menjadi tata kelola perusahaan yang baik. Terminologi “tata kelola{ ini cukup tepat dipakai sebagai translasi dari “governance” kendati  kosakata “tata kelola” belum muncul di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Kosakata serapan yang justru telah hadir dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “governans”. Kata kedua adalah “governansi”, tetapi tidak diposisikan sebagai lema yang baku karena pembaca diarahkan ke lema pertama. Kebeterimaan kedua kosakata ini terbilang rendah. Berdasarkan penelusuran sampai saat ini belum ditemukan kata ini dipakai, khususnya di dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan.

Terminologi “tata kelola” justru lebih banyak digunakan pada sejumlah peraturan. Sebagai contoh, kosakata ini dipakai di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak. Bahkan sejak 18 tahun lalu sudah terdapat Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 41/PER/MEN.KOMINFO/11/2007 Tahun 2007 tentang Panduan Umum Tata Kelola Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional. Peraturan yang disebutkan terakhir ini sudah dicabut keberlakuannya melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 18 Tahun 2018.

Pada ranah teknologi informasi dan komunikasi, kosakata “tata kelola” yang sudah digunakan selama ini selayaknya tetap dipertahankan. Hanya saja, oleh karena “tata kelola” sendiri tidak diberikan maknanya secara definitif dalam peraturan-peraturan di atas, maka sangat mungkin frasa ini rancu dengan terminologi lain yang juga berasal dari kata “governance”. Kata yang dimaksud adalah “tata pamong”.

Kata “pamong” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “pengasuh; pendidik (guru); pengurus”. Ini berarti “tata pamong” seharusnya adalah “tata kepasuhan; tata kependidikan; tata kepengurusan”. Menariknya, penggunaan istilah ini cukup dominan di ranah pendidikan tinggi. Salah satu alasannya adalah karena istilah tersebut dicantumkan dalam dokumen akreditasi perguruan tinggi untuk merujuk pada mekanisme kepemimpinan, manajerial, serta penjaminan mutu yang dijalankan secara efektif di institusi pendidikan tinggi. Hal ini membedakannya dari  terminologi “tata kelola” yang lebih menekankan pada proses serta struktur formal untuk mengatur dan mengarahkan organisasi.

Dalam standar II borang akreditasi program studi pada suatu perguruan tinggi, terdapat narasi sebagai berikut: “Sistem tata pamong berjalan secara efektif melalui mekanisme yang disepakati bersama, serta dapat memelihara dan mengakomodasi semua unsur, fungsi, dan peran dalam program studi. Tata pamong didukung dengan budaya organisasi yang dicerminkan dengan ada dan tegaknya aturan, tatacara pemilihan pimpinan, etika dosen, etika mahasiswa, etika tenaga kependidikan, sistem penghargaan dan sanksi serta pedoman dan prosedur pelayanan (administrasi, perpustakaan, laboratorium, dan studio). Sistem tata pamong (masukan, proses, keluaran dan hasil serta lingkungan eksternal yang menjamin terlaksananya tata pamong yang baik) harus diformulasikan, disosialisasikan, dilaksanakan, dipantau dan dievaluasi dengan peraturan dan prosedur yang jelas.” Narasi tersebut kemudian ditutup dengan permintaan: “Uraikan secara ringkas sistem dan pelaksanaan tata pamong di program studi untuk membangun sistem tata pamong yang kredibel, transparan, akuntabel, bertanggung jawab dan adil!”

Bertolak dari uraian di atas, kita dapat menarik perbedaan di antara keduanya, bahwa tata pamong menyediakan kerangka normatif bagi penyelenggaraan organisasi, sedangkan tata kelola menekankan pada praktik pengelolaan yang prinsip-prinsip seperti kredibel, transparan, akuntabel, bertanggung jawab, dan adil. Selanjutnya, apabila kita kembali ke isu awal dari tulisan ini berkenaan dengan “AI governance”, maka kita dapat saja mengatakan bahwa baik frasa “tata pamong” maupun “tata kelola” dapat sama-sama digunakan. Hanya saja, dalam kenyataannya kosakata “tata pamong” memang sangat terbatas penggunaannya dan baru beredar di kalangan dunia pendidikan, itupun hanya di tingkat pendidikan tinggi. Sementara itu, di berbagai peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan, frasa “tata kelola” sudah dikenal luas dengan pengertian yang lebih luas, mencakup di dalamnya baik kerangka normatif bagi penyelenggaraan organisasi maupun praktik pengelolaannya.

Dalam tulisan lain di rubrik ini, penulis pernah mengusulkan agar “artificial intelligence” dipadankan dengan “kecerdasan artifisial” atau —jika ingin lebih singkat— dapat diperpendek lagi dengan “cerdal”. Oleh sebab itu, di dalam artikel ini, kosakata “AI governance” dapat diusulkan ditranslasi menjadi “tata kelola kecerdasan artifisial” atau lebih singkat lagi menjadi “tata kelola cerdal”. (***)