PERLINDUNGAN DAN PELINDUNGAN SEBAGAI KOSA KATA HUKUM
Oleh SHIDARTA (Juli 2025)
Pertama-tama, saya perlu membuat penafian (disclaimer), bahwa saya bukan seorang ahli bahasa Indonesia. Posisi saya lebih sebagai pengguna setia bahasa Indonesia yang sekaligus berusaha mencintai bahasa ibu saya tersebut. Saya seorang pembelajar hukum. Oleh karena “bahasa hukum” Indonesia harus juga tunduk pada “hukum bahasa” Indonesia, maka tulisan pendek ini kiranya layak untuk saya tulis.
Dewasa ini, terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang menggunakan judul “perlindungan” seperti Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di sisi lain, terdapat Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi. Kata dasar “lindung” mendapat awalan “per/pe” dan akhiran “an”.
Di dalam undang-undang yang disebutkan di atas, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sementara itu, frasa pelindungan data pribadi adalah keseluruhan upaya untuk melindungi data pribadi dalam rangkaian pemrosesan data pribadi guna menjamin hak konstitusional subjek data pribadi. Ternyata, secara definitif, pada masing-masing genus tidak ditemukan ada perbedaan makna antara kata “perlindungan” dan “pelindungan”. Semua memberi makna perlindungan/pelindungan sebagai segala/keseluruhan upaya atau aktivitas. Memang sekilas terlihat bahwa tujuan dari upaya perlindungan adalah untuk menjamin sesuatu, sedangkan tujuan dari upaya pelindungan adalah untuk melindungi sesuatu. Perbedaan tersebut tidak cukup signifikan untuk memperjelas pemahaman karena definisi dari perlindungan anak juga menggunakan kata-kata “untuk menjamin dan melindungi”.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memaknai “perlindungan” sebagai (1) tempat berlindung; (2) hal (perbuatan dan sebagainya) memperlindungi. Sementara itu, kata “pelindungan” adalah (1) proses, cara, perbuatan melindungi; (2) [arkaik] jamban. Dari dua pengertian di atas, KBBI menyebut juga kata yang lain, yaitu “memperlindungi”. Imbuhan “memper…” biasanya berfungsi untuk membentuk kata kerja (verba) atau kata sifat (adjektiva) yang bermakna sebagai tindakan “kesengajaan membuat…menjadi …”. Misalnya, kata “mempermalukan” berarti kesengajaan membuat seseorang menjadi malu. Kata “mempertanyakan” berarti kesengajaan membuat sesuatu menjadi pertanyaan. Kata “memperlindungi” berarti kesengajaan membuat sesuatu menjadi tempat berlindung. Imbuhan “memper…” juga dapat digunakan untuk menunjukkan adanya tindakan menambahkan. Misalnya, “memperjelas” berarti menambah jelas.
Apakah kata benda (nomina) dari “memperlindungi” itu adalah “perlindungan” (tempat berlindung, hal memperlindungi) atau “pelindungan” (proses, cara, perbuatan melindungi)? Saya kira, jawabannya dapat mengacu pada keduanya sekaligus. Dalam bahasa Inggris pun, kata “perlindungan” dan “pelindungan” sama-sama menggunakan kata “protection”. Perlindungan/pelindungan konsumen diterjemahkan menjadi “consumer protection”. Demikian juga, perlindungan/pelindungan data” diterjemahkan menjadi “data protection”.
Sebagai pengkaji hukum, kita tentu layak mempertanyakan: mana di antara kedua istilah itu yang paling tepat disematkan untuk menunjukkan adanya upaya melindungi atau memberi tempat berlindung? Apakah “perlindungan” atau “pelindungan”? Jika kita bermaksud memberlakukan sebuah undang-undang untuk [memberi] tempat berlindung atau berkaitan dengan [segala sesuatu] hal memperlindungi, maka tentu yang lebih tepat adalah “perlindungan” bukan “pelindungan”. Di sisi lain, jika kita bermaksud memberlakukan sebuah undang-undang untuk menunjukkan di dalamnya terdapat proses, cara, dan/atau perbuatan melindungi, maka yang lebih tepat adalah “pelindungan”.
Sebuah undang-undang memuat berbagai macam jenis norma, baik primer maupun sekunder. Norma primer adalah norma perilaku. Norma sekunder adalah norma tentang norma primer. Sebuah undang-undang pasti tidak hanya mengatur tentang apa yang merupakan kewajiban (perintah/larangan) atau kebolehan (izin/dispensasi), melainkan juga tentang definisi, asas, kewenangan, sanksi, dan sebagainya. Jika sebuah undang-undang hanya memuat tentang cara, proses, dan/atau perbuatan melindungi, maka terkesan bahwa materi muatan undang-undang itu lebih sempit daripada memuat tentang hal memperlindungi. Dengan berlakunya suatu undang-undang, berarti pembentuk undang-undang sudah menyiapkan segala pranata hukum yang mungkin untuk membuat undang-undang tersebut berlaku efektif. Artinya, ada kesengajaan membuat undang-undang itu menjadi tempat berlindung bagi setiap orang yang menggunakannya. Sampai di sini, tentu kita layak mempertanyakan: di mana letak kesalahannya jika kita memilih untuk menggunakan kata “perlindungan” dan bukan “pelindungan”? Sebagai contoh, Undang-Undang Perlindungan Data (apabila kita memilih kata “perlindungan”) seharusnya mengandung arti bahwa undang-undang itu berbicara di dalamnya tentang hal memperlindungi data. Ia tidak hanya berbicara tentang cara, proses, dan/atau perbuatan melindungi data karena di dalamnya terdapat aturan-aturan tentang definisi, asas, kewenangan, sanksi, rekognisi, perubahan, dan lain-lain. Semuanya berkaitan dengan hal memperlindungi, atau dengan kata lain, berkaitan dengan perlindungan (memberi tempat berlindung) atau setidaknya, menambah lindungan daripada yang selama ini sudah diberikan oleh sumber hukum lain.
Di tengah kebingungan demikian, saya lalu berkonsultasi dengan rekan yang lumayan setia menjadi teman berdebat saya selama ini, yaitu sebuah perangkat yang menyebut dirinya “kecerdasan artifisial”. Kendati ia kerap terlihat cerdas, kami sangat sering tidak bersepakat tentang banyak hal. Namun, ia kali ini berhasil saya giring untuk menyetujui kesimpulan yang saya berikan. Saya katakan, bahwa kedua kosa kata itu, baik “perlindungan” maupun “pelindungan” sama benarnya. Dalam bahasa undang-undang, ia harus tunduk pada norma definisi yang ada di dalam undang-undang terkait. Apabila kedua terminologi itu mengalami tumpang tindih makna di dalam berbagai undang-undang, maka penafsiran sistematis harus dihindari dan kita perlu kembali ke undang-undang masing-masing. Muara penafsirannya menjadi restriktif. Rekan kecerdasan artifisial saya juga setuju bahwa soal mana yang lebih tepat digunakan, setidaknya dalam kaca mata pengkaji hukum, kini berpulang ke urusan pragmatika, tidak harus diserahkan ke tangan “otoritas” sintaktika.
Semoga saja, rekan saya tersebut tidak cepat berubah pikiran. Wallahu a’lam. (***)
Comments :