ALF ROSS DAN EMPAT TAHAPAN BERHUKUM
Oleh SHIDARTA (Juni 2025)
Jika kita berkunjung ke rumah penganut realisme hukum Skandinavia, ada satu sosok yang paling menonjol. Ia bernama Alf Niels Christian Ross atau Alf Ross (1899-1979). Pria berkebangsaan Denmark ini semula meminati ilmu teknik, tetapi ia lalu memutuskan pindah area studi dengan menempuh pendidikan tinggi hukum di Universitas Kopehagen.
Ia berhasil lulus sebagai sarjana hukum dengan disertai penghargaan sangat terpuji dan sungguh cemerlang (laudabilis et quidem egregie). Tidak puas dengan studinya, Ross kemudian berupaya dapat melanjutkan studi ke program doktor. Ia bekelana ke beberapa negara untuk dapat dengan serius menyusun usulan penelitian bagi proyek disertasinya. Sayangnya, Universitas Kopenhagen menolak usulan tersebut, sehingga Ross memutuskan mencari perguruan tinggi lain di luar Denmark.
Ross memilih pergi ke Uppsala, kota yang berjarak sekitar 69 km dari ibukota Swedia, Stockholm. Di sana ia mendaftar di Universitas Uppsala karena sejak lama terpesona dengan pemikiran tokoh hukum dari Mazhab Uppsala bernama Axel Hägerström (1868–1939). Ross berhasil lulus dari Fakultas Filsafat Universitas Uppsala pada tahun 1929 dengan judul disertasi Theorie der rechtsquellen (teori tentang sumber hukum). Disertasi yang mendapat banyak pujian ini terpilih untuk diterbitkan dalam salah satu volume dari serial hukum bergengsi Wiener Stiaatund Rechtswissenschaftliche studien di bawah editor Hans Kelsen. Ross kemudian kembali ke Universitas Kopenhagen dan ia berkarir di sana sampai menjadi guru besar dalam bidang filsafat hukum. Ia juga dipercaya sebagai hakim di European Court of Human Rights (1959-1971).
Dalam tulisan singkat ini, saya menyoroti satu sekuens dari pemikiran Ross mengenai empat tahapan perkembangan eksistensi dan keberlakuan hukum, yang pada akhirnya juga berimplikasi pada validitas hukum. Empat tahap itu berjalan secara linear, dalam arti tahapan pertama harus dilalui, baru masuk ke tahap berikutnya. Saya sekaligus memberi beberapa catatan atas pemikirannya itu.
Pertama, Ross menggambarkan ada situasi awal tatkala masyarakat hidup secara nyata di dalam iklim berhukum yang serba-memaksa. Kita dapat menyatakan bahwa tahap pertama ini bukanlah tahap yang menyenangkan untuk berhukum. Psikologis ketakutan dibangun secara masif. Penguasa bekerja secara otoriter. Hukum identik dengan sistem paksaaan (coercion). Tahapan ini disebut an actual system of compulsion.
Oleh karena masyarat terus-menerus dipaksa untuk melakukan apa yang menjadi kehendak penguasa, maka masyarakat mulai membangun kesadaran untuk mengalah terhadap tekanan-tekanan itu. Mereka membiasakan diri untuk mengikuti saja apa yang menjadi kehendak penguasa itu. Pilihannya tentu tunduk patuh atau dijatuhi sanksi. Secara psikologis, masyarakat lebih memilih patuh daripada harus diganjar sanksi yang menyertai setiap bentuk pelanggaran. Artinya, di sini hukum mulai dipandang sebagai norma yang memuat ancaman-ancaman sanksi yang potensial. Sanksi yang dijatuhkan dengan syarat, dan orang menaatinya karena berharap lepas dari sanksi. Tahapan kedua ini memuat penyikapan psikologis: an interested behavior attitude.
Pada tahap ketiga, ekses paksaan hukum sudah masuk ke alam bawah sadar. Muncul kesadaran bahwa berperilaku tertentu yang sejalan dengan suatu aturan hukum yang semula memaksa, memang perlu diteruskan. Pola-pola perilaku seperti itu dipandang seharusnya dipertahankan. Motif ketakutan pada sanksi semata mulai ditinggalkan dan diganti dengan motif kepatuhan yang dinilai wajar. Tahapan seperti ini mengingatkan kita pada pemikiran Immanuel Kant (1724-1804) mengenai imperatif kategoris. Namun, Kant meletakkan konsep imperatif kategoris-nya pada basis moral-transenden, sedangkan Ross pada realitas-imanen. Tahap ini telah mengubah hukum menjadi sistem paksaan yang ideal karena terjadi dalam penyikapan psikologis: a disinterested behavior attitude. Kata “disinterested” (not influenced by considerations), dengan demikian, mempunyai makna konseptual yang berbeda dengan “categorical” (unconditional).
Tahap terakhir adalah tahap perkembangan paling tinggi, yaitu ketika institusi-institusi sosial sudah bekerja secara fungsional mendukung perilaku yang sudah terlembagakan dalam masyarakat itu. Andaikan hukum tetap dipandang sebagai sistem paksaan, ia telah menjelma menjadi sistem paksaan yang fungsional. Kita melihat di sini bahwa aspek psikologis yang semula melekat pada orang-perseorangan dan kelompok warga, kini telah terinstitusionalisasi. Organ-organ negara dipastikan telah berjalan sesuai dengan sistem hukum. Ini berarti hukum berfungsi secara otomatis dan terinternalisasi, misalnya terlihat dari praktik yang berjalan di peradilan. Di sini, para hakim menjunjung tinggi norma hukum karena mereka sudah secara psikologis sudah terlatih dan terbentuk karakternya untuk menerapkan hukum sebagai bagian dari fungsi institusi profesi mereka. Demikian juga dengan masyarakat luas. Keberadaan institusi yang bersih, membuat masyarakat juga bersedia mematuhi hukum. Mereka tidak mau menyuap aparat pemerintahan karena pejabat memang tidak mungkin digoda untuk korupsi. Sebagai ganjarannya, negara menyediakan fasilitas kesejahteraan sosial berkualitas tinggi. Masyarakat dijamin akan berbahagia dengan suasana demikian. Ross membayangkan hal ini sebagai tahapan paling ideal, yaitu tatkala terjadi: the authoriative establishment of ‘norm’.
Kita mungkin dapat menelusuri apa yang membuat Ross sampai pada kesimpulan bahwa eksistensi, keberlakuan, dan keabsahan hukum yang terbaik akan terjadi pada tahap keempat ini. Sama seperti penganut empirisme pada umumnya, selalu ada obsesi kaum empirisis hukum untuk melihat hukum itu ber-evolusi dari satu tahap ke tahap lainnya. Sejarawan hukum dari Inggris Sir Henry Maine (1822-1888) juga mencemati hukum dalam tahapan-tahapan, yang menurutnya, dimulai dari faktor status sebagai penentu hukum. Suasana berhukum ketika itu pasti otoriter, dan biasanya sekaligus patriarkis. Pada tahapan paling akhir, faktor penentunya adalah kontrak. Maine membayangkan tahap ini terjadi ketika hukum timbul dalam iklim demokratis.
Sebagai pencinta analytical jurisprudence sekaligus empirisme, Ross membuat analisis serupa. Ia kebetulan hidup pada akhir abad ke-19 [dan wafat pada pertengahan abad ke-20 dalam usia 80 tahun] ketika penduduk negara-negara Skandinavia sudah menikmati taraf kesejahteraan yang tertinggi di Eropa, bahkan dunia. Tingkat korupsi di negara-negara Skandinavia juga selalu tercatat paling rendah. Semua itu muncul karena institusi-insitusi sosial, khususnya yang bergerak dalam layanan publik, realitasnya sudah sanggup bekerja efektif-fungsional sebagaimana desain normatifnya. Kecilnya jarak pemisah (lacuna) antara hukum yang dipraktikkan berhadapan dengan hukum yang dipersepsikan ideal itu, membuat hukum dapat berjalan dengan tingkat prediktibiltas yang tinggi. Dengan mengambil fokus pada perilaku para hakim, ia percaya korps hakim itu memiliki penyikapan psikologis yang relatif sama tentang bagaimana mereka mengintepretasikan suatu aturan hukum apabila kasus-kasus serupa hadir di pengadilan. Ross mengajak kita untuk memberi perhatian pada perilaku hakim-hakim tersebut dalam membuat putusan. Selama suatu norma hukum itu dapat diprediksi akan digunakan oleh aparatur hukum di pengadilan, maka norma hukum tersebut dapat dinyatakan valid. Teori ini dikenal sebagai teori prediktif validitas hukum (the predictive theory of legal validity).
Di sini terlihat bahwa pandangan Ross pada akhirnya beririsan juga dengan pemikiran rule-skeptics sebagaimana ditunjukkan oleh realisme Amerika. Walaupun ia mengklaim mengkaji perilaku hakim, pada ujungnya analisisnya akan bermuara pada kajian putusan-putusan pengadilan. Alhasil, prediksi yang dimaksudkannya mirip seperti prediksi yang dikonsepkan oleh Karl Llewellyn (1893-1962) dari kubu realisme Amerika. Kegunaan pragmatis dari teori Ross sama seperti penganut rule-skepticism.
Sekadar sebagai catatan pengingat, realisme Skandinavia maupun Amerika sesungguhnya sama-sama memiliki perhatian pada analisis putusan pengadilan, tetapi mereka berbeda penekanan. Realisme hukum Amerika lebih menaruh perhatian pada putusan sebagai karya individual hakim dan faktor-faktor yang mempengaruhi lahirnya putusannya itu (jadi faktor eksternal di luar diri hakim dicermati dan diarahkan ke sisi internal hakim dalam melahirkan putusan), sedangkan realisme Skandinavia lebih tertarik pada pola yang lebih luas dengan mengaitkan fungsi dari putusan-putusan hakim itu terhadap bekerjanya sistem hukum (jadi faktor internal korps kehakiman dicermati dan diarahkan ke analisis sisi eksternal, yaitu ke masyarakat). Realisme hukum Skandinavia akan mencari tahu bagaimana putusan-putusan itu dipersepsikan oleh warga masyarakat dan mempengaruhi masyarakat dalam berperilaku. Penekanan seperti ini pasti jauh lebih holistik dan sosiologis daripada realisme hukum Amerika. Tentu saja penekanan di atas hanya pendekatan awal dari masing-masing kubu, yang dalam analisis berikutnya, segera terlihat bahwa arah pendekatan eksternal ke internal atau sebaliknya itu, bakal berputar arah juga, yakni bergerak sebagai faktor-faktor yang saling mempengaruhi.
Kita dapat mendudukkan kerangka berpikir Ross dari kaca mata yang holistik dan sosiologis seperti digambarkan di atas. Satu pertanyaan yang menggugahnya adalah: apa yang mengikat hakim-hakim di masa depan untuk konsisten menjaga keabsahan hukum melalui putusan-putusan mereka (sehingga pada gilirannya akan berdampak luas pada perilaku berhukum warga masyarakat)? Ross lagi-lagi tidak menemukan jawabannya dengan menoleh ke landasan moral, apalagi ke kesadaran tentang keadilan berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Ross menyatakan hal itu tidak akan mampu menjamin validitas hukum, mengingat tolok ukurnya menjadi absurd. Ia lebih memilih pisau analisisnya pada struktur psikologis kolektif yang sudah tertanam secara fungsional dan berjalan dalam realitas-empiris. Apa yang dimaksudkannya dengan struktur psikologis kolektif ini? Alf Ross menjelaskan struktur psikologis kolektif tersebut sebagai kesadaran bersama di kalangan aparat penegak hukum bahwa mereka memiliki peran yang signifikan di dalam sistem hukum, yang menuntut mereka untuk bekerja profesional dengan tidak mencampuradukkkan dengan kepentingan pribadi. Struktur psikologis kolektif itu ditandai dengan adanya kesatuan dan keseragaman pola pikir, kebiasaan, dan kesetiaan institusional dalam memahami dan menerapkan hukum.
Apakah struktur psikologis kolektif itu dapat berkembang menjadi semacam “ideologi” bersama yang mampu menuntun perilaku hakim [sehingga berdampak pada cara mereka mengintepretasikan aturan hukum atas kasus-kasus konkret]? Secara teoretis (di atas kertas), mungkin dapat dibedakan, bahwa ideologi cenderung kental beraromakan politik, sementara Ross menyatakan struktur psikologis kolektif itu tidak berbasis politik. Dengan demikian, loyalitas yang dimaksudkannya tidak akan ditujukan ke partai politik yang mengusung ideologi tertentu, melainkan loyalitas murni pada institusi profesi. Beliau ingin menegaskan bahwa pengambilan keputusan hukum oleh para hakim bukanlah tindakan individual atau arbitrer, melainkan berakar dalam suatu kerangka berpikir kolektif yang membuat sistem hukum itu berfungsi dengan stabil.
Namun, apabila kita memperluas makna ideologi sebagai pandangan dunia (worldview), maka struktur psikologis yang Ross sampaikan adalah sama-sama sistem keyakinan juga. Dalam titik tertentu, keduanya tidak dapat dibedakan. Sebagai contoh, ketika para hakim harus mengadili kasus-kasus yang menyangkut kepentingan umum, bahkan sampai pada taraf kepentingan bangsa dan negara, maka struktur psikologis kolektif ini akan menyeberang juga masuk ke sisi ideologis. Dalam situasi demikian Ross justru tidak realistis apabila mengatakan bahwa hakim-hakim di negara—yang sekalipun sudah sampai pada tahapan keempat—akan dipaksa bertahan dan bersikap a-ideologis. Loyalitas pada institusi sebagaimana dibayangkan oleh Ross, tentu juga mencakup institusi tertinggi, yang disebut negara. Jika struktur psikologis kolektif ini bisa digeser ke ideologis berbangsa dan bernegara, bukan tidak mungkin juga akan ada pergeseran ke ideologi lain, seperti keyakinan agama, preferensi budaya, dan lain-lain. Kondisi internal para hakim yang sangat beragam, khususnya untuk negara-negara yang heterogen secara demografis, sangat tidak mudah pula membuat para hakim itu mampu membangun struktur psikologis yang benar-benar satu warna.
Pada akhirnya, para pengritik Ross melihat titik celah dari pemikiran realisme Skandinavia ala Ross. Penganut aliran hukum kodrat beranggapan, pengabaian Ross terhadap konsep moral dalam pisau analisisnya, telah menjauhkan teorinya dari keadilan substantif. Apabila realitas hukum difokuskan pada keajegan hakim-hakim dalam memberi interpretasi normatif dan itulah yang dipandang sebagai esensi dari berhukum, maka teori Ross tidak lebih dari instrumen memprediksi hukum. Hukum jelas tidak layak untuk direduksi sekadar sebagai alat prediksi. Bagi peneliti hukum, teori Ross juga sulit diterapkan karena harus juga berkutat pada pencarian apa itu struktur psikologis kolektif atau ideologi normatif bersama sebagai basis prediksi tersebut.
Ross juga hanya memotret proses pentahapan yang dikemukakannya sebagaimana terjadi di dalam masyarakat Skandinavia dan kemudian ia meletakkan secara khusus optik kajiannya pada institusi peradilan. Artinya, teori Ross sangat mungkin tidak dapat digeneralisasi bakal aplikatif di dalam kultur masyarakat lain yang berbeda. (***)
Comments :