Pada tanggal 12 Juni 2025, Dosen Business Law BINUS University, Dr. Muhammad Reza Syariffudin Zaki, S.H., MA menjadi Ahli dalam perkara PKPU di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Zaki memberikan penjelasan bahwa Ia sependapat dengan Ricardo Simanjuntak yang menyebutkan bahwa alasan mengapa dalam PKPU tidak berlaku asas nebis in idem dikarenakan sifat dari perkara PKPU itu sendiri. PKPU bukanlah “sengketa”, melainkan hanya cara penagihan utang yang dapat diajukan kapan saja bahkan berulang. Hanya dengan memenuhi syarat adanya utang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, ada lebih dari 1 (satu) kreditur, dan dapat dibuktikan secara sederhana, maka PKPU dapat diajukan kembali meskipun permohonan tersebut sebelumnya pernah ditolak. Ada putusan sebelumnya yakni pada perkara Tjimindi Subur dimana pernah di PKPU dan lahir homologasi tahun 2014, lalu kemudian ada hutang baru dan bisa diajukan PKPU Kembali di tahun 2017 serta dikabulkan homologasinya.  Dalam Pasal 1 butir 6 jo pasal 2 ayat (1) UU PKPU dan Kepailitan dijelaskan bahwa: Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Lalu pada pasal 222 ayat 1 UU PKPU dan Kepailitan dijelaskan bahwa: Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak dapat membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Niaga agar diberi penundaan kewajiban pembayaran utangnya, guna mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada Kreditor.

Hal ini berbeda dengan kasus perdata yang sifatnya merupakan “sengketa” dari suatu permasalahan atau obyek yang akan diputus oleh hakim. Akibatnya, apabila permasalahan tersebut telah diputus oleh hakim sudah sewajarnya atas permasalahan yang sama tersebut tidak dapat diajukan gugatan kembali karena telah ada putusan yang berkekuatan hukum. Hal ini penting untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk para pihak yang bersengketa dan menghindari adanya dualisme putusan hakim pada tingkat yang sama.

Adapun dalam hukum perdata ketentuan nebis in idem diatur pada Pasal 1917 BW yang pada pokoknya menyebutkan bahwa putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum harus diputus dengan hal dan alasan yang sama, terhadap pokok perkara yang sama dan diajukan oleh para pihak yang sama pula.

Pertanyaan lain muncul apabila dalam suatu permohonan PKPU debitur menolak dan tidak mengakui adanya utang. Ricardo Simanjuntak menerangkan meskipun debitur tidak mengakui adanya utang, asalkan kreditur memiliki bukti yang kuat (prima facie evidence) bahwa utang itu ada, maka dalil debitur yang menolak mengakui adanya utang dapat dikesampingkan. Pembuktian utang tersebut dapat melalui berbagai cara, seperti halnya membuktikan dengan adanya kontrak yang mengatur dengan tegas permasalahan utang, melalui somasi untuk pelunasan utang, dan dapat melalui surat pengakuan utang oleh debitur. Pentingnya memiliki bukti yang kuat tersebut telah diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan.

Kurator dan pengurus Doni Budiono menjelaskan bahwa tidak ada larangan mengajukan permohonan PKPU lebih dari satu kali. Hal ini dikarenakan penagihan utang tidak selamanya mudah, sehingga sudah sepatutnya dibuka kesempatan agar kreditur dapat terus menerus melakukan penagihan melalui mekanisme PKPU.