Oleh SHIDARTA (Juni 2025)

Tatkala kita bdaerbicara tentang konsep negara kesejahteraan, biasanya referensi kita akan mengarah ke negara-negara Skandinavia. Salah satu patokan untuk disebut negara sejahtera adalah keberhasilan mereka mengelola dana masyarakat untuk memberikan layanan sosial bagi warga negara mereka. Layanan sosial itu mencakup beragam kebutuhan, seperti kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial.

Gøsta Esping-Andersen (sosiolog dari Denmark) dalam bukunya “The three worlds of welfare capitalism” (1990) memberikan tiga jenis negara kesejahteraan yang sekaligus mencerminkan model pengelolaan layanan sosial yang dipraktikkan di sejumlah negara, khususnya negara-negara Barat. Model pertama adalah tipe liberal (liberal welfare states). Pada tipe ini negara berusaha tidak campur tangan. Masyarakat dibiarkan berinisiatif sendiri untuk melindungi diri dari berbagai risiko terkait kesejahteraan mereka, khususnya saat mereka harus berobat di rumah sakit atau tatkala mereka sudah memasuki usia pensiun. Badan-badan usaha swasta pada akhirnya dibiarkan ikut menawarkan jasa memberikan perlindungan tersebut dengan biaya mengikuti mekanisme pasar. Model kedua disebut tipe konservatif atau korporatis (conservative corporatist welfare states). Di sini negara sudah mulai intervensi, namun masih terbatas. Layanan sosial biasanya dikaitkan dengan status pekerjaan dari kepala keluarga. Negara juga masih sangat mengandalkan kontribusi keluarga untuk ikut serta mengatasi kebutuhan layanan sosial tersebut. Model ketiga disebut tipe sosial demokratis (social democratic welfare states). Pada tipe ketiga ini negara sudah intervensi secara penuh mengambil alih tugas memberikan layanan sosial.

Mana tipe yang ideal? Jika mengikuti skema Esping-Andersen, kecenderungan ia akan menunjuk tipe ketiga sebagai yang paling ideal.

Ternyata, untuk sampai pada tipe tersebut tidak semua negara merasa cocok untuk menerapkannya. Ada kondisi-kondisi tertentu yang dapat kita identifikasi. Pertama, secara demografis negara kesejahteraan tipe sosial-demokratis biasanya tidak terlalu banyak jumlah penduduknya, sehingga layanan sosial yang luas dan merata dapat lebih mudah dikelola oleh negara. Ketimpangan sosial penduduknya juga relatif sangat rendah. Penduduk usia produktifnya juga terbilang tinggi, sehingga mereka dapat membayar pajak tinggi untuk secara progresif ikut membiayai layanan sosial tersebut. Selain itu, sistem politik yang stabil juga menjadi faktor penentu, sehingga pergantian rezim penguasa tidak dapat begitu saja mengubah garis kebijakan layanan sosial yang sudah ditetapkan.

Negara-negara seperti Indonesia tentu belum dapat menjangkau kondisi-kondisi seperti disebutkan di atas. Dengan tingkat pengangguran yang cukup tinggi, yakni 4,76% (BPS, Februari 2025). Ada catatan kurang menggembirakan, bahwa setiap tahun sebanyak 2,5 juta sampai 3 juta orang di Indonesia akan masuk ke pasar kerja sebagai angkatan kerja baru, tetapi hanya 20% dari jumlah itu yang dapat langsung terserap. Itupun didominasi  oleh sektor informal dan padat karya dengan tingkat upah rendah. Secara total, statistik menunjukkan ada sekitar 7,28 juta jiwa yang masih berstatus pengangguran. Jumlah pengangguran di Indonesia berarti lebih banyak dari jumlah keseluruhan penduduk Denmark, yang pada tahun 2024 tercatat hanya sebesar 5,97 juta jiwa.

Sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia juga tidak mampu mengikuti tipe sosial demokratis itu. Mereka lebih senang memilih tipe pertama. Negara-negara di Eropa Utara, seperti Italia, Austria, Prancis, dan Jerman berada di tipe kedua. Sementara itu, negara-negara seperti Jepang dan Brasil mengembangkan pola yang sedikit berbeda, yang justru lebih tepat untuk dicontoh oleh Indonesia.

Ada beberapa alasan untuk mencoba mencari komparasi dengan negara-negara seperti Jepang dan Brasil. Negara Jepang memiliki tantangan tersendiri karena secara demografis komposisi penduduknya makin banyak yang menua, yang berarti akan lebih menjauh dari prinsip dekomodifikasi. Jika penduduk makin menua, berarti penduduk usia produktif akan makin menyusut. Namun ikatan keluarga di negara-negara Asia Timur memiliki karakteristik yang sangat kuat, sehingga Jepang tidak harus memilih model seperti di negara-negara Skandinavia. Indonesia memang dewasa ini digadang-gadang sedang menuju modus demografi, namun bonus ini seyogianya diimbangi dengan produktivitas yang lebih tinggi, bukan sebaliknya dibayang-bayangi tingkat pengangguran yang meningkat. Persamaan kultur terkait ikatan keluarga yang relatif kuat dapat menjadi faktor pemilihan model yang lebih konservatif. Situasi yang agak mirip dengan Indonesia terjadi di Brasil.

Apa yang dapat dipelajari dari Brasil? Negara ini menerapkan prinsip desentralisasi dalam pemerintahan, yang mencakup juga desentralisasi dalam layanan sosial. Dengan prinsip ini, daerah-daerah yang lebih makmur dapat memberikan layanan sosial lebih baik dan komprehensif dibandingkan dengan daerah-daerah yang kurang makmur. Di Indonesia terlihat ada kecenderungan serupa. Provinsi dan kabupaten/kota yang memiliki pendapatan lebih tinggi, seharusnya dapat memberikan kuantitas dan kualitas layanan sosial yang lebih baik kepada para warga lokal. Dengan demikian layanan sosial tidak seluruhnya harus disentralisasi oleh pemerintah pusat.

Pilihan-pilihan kebijakan ini tentu merupakan tantangan tersendiri bagi negara-negara berkembang. Model negara kesejahteraan Esping-Andersen tidak selalu harus dimaknai sebagai tipe yang bergerak positif ke negara-negara kesejahteraan ala Skandinavia.(***)