Oleh SHIDARTA (Maret 2025)

Dalam perkuliahan filsafat hukum bagi mahasiswa program sarjana, selalu terdapat sesi yang membahas pertanyaan kunci: di mana kita harus memposisikan aturan (rules) dan prinsip (principles)? Isu mengenai aturan versus prinsip tersebut sebenarnya terhubung dengan isu berkenaan ketegangan antara hukum positif dan moralitas.

Khusus untuk aturan dan prinsip ini, saya ingin membawa para pembaca ke perdebatan antara dua tokoh penting, yaitu H.L.A. Hart dan Ronald Dworkin. Perdebatan mereka (melalui artikel-artikel yang ditulis sejak 1967) merepresentasikan dua pandangan berbeda dalam pemosisian aturan dan prinsip. Hart mewakili kubu positivisme hukum, sedangkan Dworkin menempatkan diri sebagai eksponen aliran hukum kodrat. Tulisan singkat ini ingin merangkum inti dari perdebatan mereka berdua disertai dengan sejumlah catatan kecil.

Perdebatan antara Hart dan Dworkin dapat dikatakan sebagai “kelanjutan” dari perdebatan serupa antara Hart dan Fuller yang sudah terjadi lebih awal (1958).  Fuller dan Dworkin sama-sama menyerang Hart karena mereka berdua menolak pemisahan hukum dari moral, tetapi mereka mengambil sudut serangan berbeda.  Fuller mendasarkan argumentasinya karena yakin di dalam hukum terdapat “inner morality of law,” sedangkan Dworkin meyakini bekerjanya hukum membutuhkan penalaran dengan tidak cukup mengandalkan aturan, melainkan harus sampai pada prinsip-prinsip moral.

Ketika saya diminta untuk membedakan dua perdebatan itu, maka kita dapat katakan Fuller lebih memfokuskan serangannya pada konsep Hart tentang “secondary rule of recognition” dan Dworkin lebih pada konsep Hart tentang “secondary rule of adjudication.” Tulisan ini akan mengajak kita untuk mengulik perdebatan Hart dan Dworkin tersebut.

Kita mulai dari pandangan mereka berdua tentang hakikat hukum. Menurut H.L.A. Hart, hukum adalah sistem aturan yang terdiri dari aturan primer (memuat norma perilaku) dan aturan sekunder (memuat norma pengakuan, norma perubahan, dan norma penegakan hukum). Aturan-aturan ini ditetapkan oleh penguasa dan penetapan ini sudah menjadi syarat yang cukup bagi keabsahan hukum. Ronald Dworkin menolak pandangan demikian. Menurutnya, hukum bukan sekadar kumpulan aturan yang ditetapkan oleh otoritas yang sah, tetapi justru adalah kesatuan prinsip dan kebijakan yang harus diinterpretasikan secara moral dan koheren di dalam sistem hukum. Dengan demikian, Dworkin tidak dapat menerima pandangan yang terlalu sederhana, sempit, dan mekanistik di dalam melihat hukum sebagaimana diperagakan oleh Hart. Dworkin juga tidak dapat menerima model pembedaan aturan primer dan sekunder seperti dinyatakan oleh Hart. Menurutnya, hukum lebih dari sekadar kumpulan aturan; hukum mencerminkan prinsip-prinsip keadilan yang harus diperhitungkan dalam setiap keputusan hukum.

Seorang hakim, misalnya, tidak cukup hanya membaca aturan-aturan primer dan sekunder itu, kemudian menerima aturan-aturan itu apa adanya. Menurut Dworkin, ketika hakim mengadili kasus-kasus yang kompleks, hakim harus membuat interpretasi atas aturan-aturan tersebut secara koheren, yakni dengan melibatkan prinsip-prinsip hukum dan juga dengan membawanya ke dalam pertimangan-pertimbangan berkonteks moral. Di dalam moral itulah terdapat keadilan.

Di sini kita melihat perbedaan yang lebih tajam antara pandangan Hart dan Dworkin. Hart melihat hukum melalui kaca mata formalistis, yakni berangkat dari subjek yang menetapkannya ditambahkan dengan jenis aturan yang ditetapkan. Dworkin menolak cara pandang khas positivistis seperti itu. Baginya aturan hanya menggunakan logika biner soal berlaku atau tidak berlaku terhadap suatu kasus. Dworkin menawarkan pendekatan “law as integrity” yang menekankan kesatuan antara hukum dan moralitas di dalam praktik hukum. Untuk itu hukum harus bekerja berdasarkan prinsip yang memiliki bobot (weight) yang harus diinterpretasikan bersama-sama di dalam konteks berhukum dan bermoral.

Hart tidak dapat menerima pencampuran hukum dengan moral seperti dinyatakan oleh Dworkin. Menurutnya, hukum tetap sah sebagai hukum kendati hukum itu tidak memiliki kesesuaian dengan moral. Sekali lagi, syaratnya adalah selama prosedur penetapan hukum itu sah, misalnya melalui proses legislasi di parlemen atau putusan hakim di pengadilan.
Sebagai bagian dari teorinya tentang “law as integrity” Dworkin memperkenalkan konsep “the idea of fit”. Pertama, hakim harus memastikan aturan yang digunakan memiliki kesesuaian (fit) dengan sistem norma yang berlaku. Kedua, hakim harus juga melangkah lebih jauh dengan melakukan justifikasi moral. Di sini kita dapat menyatakan bahwa Hart tidak menganggap perlu langkah justifikasi ini. Ia  tidak ingin melangkah lebih jauh ke arah justifikasi moral, karena baginya hukum adalah sistem aturan yang dapat eksis secara independen dari moralitas. Hart menyatakan interpretasi hukum sudah cukup dilakukan dengan bantuan aturan sekunder.
Berkenaan dengan aturan sekunder ini, terdapat aturan sekunder tentang rekognisi yang diberi penekanan tersendiri oleh Hart. Ia mengatakan ada satu tingkatan tertinggi dari aturan rekognisi itu, yang disebutnya dengan istilah “ultimate rule of recognition”. Apa maksudnya?
Aturan rekognisi tertinggi ini adalah aturan yang diterima oleh para fungsionaris hukum (seperti pembentuk hukum dan aparatur peradilan) untuk menentukan hukum yang sah. Aturan rekognisi tertinggi itu memiliki tiga ciri: (1) aturan tersebut tidak perlu lagi mencari pembenaran dari aturan lain, manapun juga, (2) aturan tersebut sudah diterima di dalam praktik berhukum (dalam arti dipandang sah berlaku di mata para praktisi hukum), dan (3) aturan tersebut menentukan sumber hukum manakah yang dijadikan standar untuk menyatakannya sah di dalam sistem hukum itu (ini artinya tiap negara dapat menetapkan standar berbeda).
Butir-butir di atas memerlukan penjelasan tambahan. Kita harus ingat, bahwa ultimate rule of recognition adalah suatu meta-kaidah. Menurut Hart, jika meta kaidah itu memiliki ciri sebagai aturan rekognisi tertinggi, maka ia sudah tidak berupa hukum positif lagi. Ia ada dengan sendirinya melalui praktik berhukum yang berkembang di dalam sistem hukum tertentu. Misalnya, di Inggris tidak ada ketentuan yang mengatakan apa yang membuat sebuah undang-undang yang disahkan oleh parlemen adalah sah juga secara hukum positif. Keabsahan prosedural pengesahan oleh parlemen itu tidak perlu ditetapkan standarnya melalui hukum positif. Untuk itu harus dicari standar yang lebih jauh lagi di balik hukum positif. Melalui kaca mata Hart, dapat dikatakan bahwa sepanjang praktik berhukum yang berkembang di suatu negara itu sudah menerimanya sebagai sah, maka undang-undang itu adalah sah pula.
Apakah rekognisi demikian melibatkan moral? Hart tidak menampik kemungkinan seperti itu, tetapi moral di sini tidak menjadi faktor penentu.
Dworkin mempertanyakan hal ini. Titik lemah teori Hart memang berada di titik ini. Hart berusaha menyatakan bahwa penerimaan keabsahan hukum itu semata-mata karena alasan faktual (empirikal). Namun, mengapa sampai pejabat-pejabat hukum itu mau mempertahankan kebiasaan seperti itu terus-menerus? Bukankah suatu kebiasaan dipertahankan terus sebagai praktik berhukum karena ia mengandung kebaikan secara moral? Bahkan, jika kebiasaan itu suatu saat ingin dihentikan pun, bukankah karena ia dipandang tidak lagi mengandung kebaikan secara moral?
Hart mengakui memang agar suatu hukum bisa berfungsi dalam masyarakat manusia, ada prinsip-prinsip kebenaran (truism) yang harus hadir dalam sistem hukum. Hanya saja, lagi-lagi Hart menyatakan prinsip-prinsip ini bukan moral, melainkan fakta yang diakui secara universal karena sifatnya yang fundamental. Hart merinci truism ini dalam lima prinsip dasar:
  1. Kerentanan manusia (faktanya adalah bahwa tanpa hukum yang melindungi manusia dari kekerasan, maka manusia tidak mungkin bisa hidup dengan aman;
  2. Kesamaan manusia yang relatif (faktanya adalah bahwa karena tidak ada individu yang sangat kuat untuk dipercaya mengendalikan segala hal, maka hukum diperlukan guna menjaga keseimbangan di antara kepentingan-kepentingan manusia yang beraneka ragam itu).
  3. Altruisme terbatas (faktanya adalah bahwa manusia tidak sepenuhnya egois, tetapi juga tidak sepenuhnya peduli terhadap orang lain, sehingga hukum diperlukan guna mengatur hak dan kewajiban di antara mereka).
  4. Sumber daya terbatas (faktanya adalah bahwa kebutuhan manusia lebih besar daripada sumber daya yang tersedia, sehingga hukum diperlukan untuk mengatur kepemilikan dan distribusi sumber daya itu).
  5. Keterbatasan pemahaman dan kehendak manusia (faktanya adalah bahwa manusia bisa salah atau bertindak irasional, sehingga hukum diperlukan untuk memberikan panduan berperilaku yang jelas).

Semua truism itu adalah fakta-empiris, kata Hart, bukan tuntutan moral. Apabila tetap ingin diklaim sebagai kodrati manusia yang universal, maka bolehlah lima prinsip tadi diberi label sebagai isi minimal dari hukum kodrat (minimum content of natural law). Hart mengatakannya sebagai “minimal” karena kelima prinsip itu memang elemen paling mendasar yang harus ada dalam hukum agar masyarakat bisa bertahan. Selanjutnya disebut sebagai hukum kodrat karena ia adalah fakta dalam kehidupan sosial yang tidak dapat dihindari.

Kendati tidak secara spesifik menyerang isi minimal dari hukum kodrat ini, dapat diduga bahwa Dworkin tidak dapat menerima argumentasi Hart. Hal ini terjadi karena lima prinsip yang dikemukakan Hart memang terlalu minimal untuk dipakai dalam memberi justifikasi atas kasus-kasus sulit. Dalam tulisan saya terdahulu (baca: Dworkin dan Pemikiran Hukumnya), saya pernah menyinggung kasus Obergefell v. Hodges (2015). Dapat dibayangkan kesulitan Hart untuk membuat pertimbangan yang memadai mengadili kasus itu apabila hakim hanya bermodalkan lima prinsip berisikan minimal hukum kodrat itu. Selain itu, berbeda dengan Dworkin, Hart tidak berani untuk memberi prioritas pada hak-hak individual berhadapan dengan hak-hak komunal (kolektif). Dengan lima prinsip itu, Hart bakal terjebak untuk menjelaskan seperti apa hukum itu [secara faktual] berjalan, bukan tentang seperti apa hukum itu seharusnya ditegakkan secara benar dan adil.

Demikianlah sekilas substansi perdebatan antara Hart dan Dworkin. Menarik untuk juga mengetahui bahwa tatkala pada tahun 1969 Hart purnabakti sebagai guru besar ilmu hukum di Universitas Oxford, Inggris. Dworkin adalah salah seorang tokoh yang ditawari untuk menggantikan posisi yang beliau tinggalkan. Dworkin awalnya menolak, sehingga jabatan ini diisi oleh John Finnis. Baru kemudian pada tahun 1975, Dworkin bersedia menduduki jabatan tadi. Di Universitas Oxford, Dworkin bersahabat dn kerap bertemu dengan Hart yang masih aktif bekerja, dan dua tahun kemudian lahirlah buku terkenal dari Dworkin berjudul Taking Rights Seriously, yang mempertegas gagasan tentang hukum sebagai interpretasi moral yang koheren. (***)