JOHN FINNIS DAN PEMIKIRAN HUKUMNYA
Oleh SHIDARTA (Maret 2025)
Ketika kita berbicara tentang fenomena kebangkitan aliran hukum kodrat di era modern, nama John Mitchell Finnis (lahir 1940) tidak dapat diabaikan sebagai salah satu eksponennya. John Finnis diklaim sebagai filsuf hukum asal Australia, kendati jika ditelurusi, karier akademiknya justru banyak dihabiskannya di Eropa. Ia menjadi guru besar di Universitas Oxford (Inggris) dari tahun 1989 hingga 2010, lalu di Universitas Notre Dame (Amerika Serikat). Di Australia sendiri ia lebih banyak terlibat dalam berbagai tugas pemerintahan.
Karya-karyanya yang fenomenal antara lain: Natural Law and Natural Rights (1980), Fundamentals of Ethics (1983), Natural Law (1991), Moral Absolutes: Tradition, Revision and Truth (1991), dan Aquinas: Moral, Political, and Legal Theory (1998). Dua judul terakhir dari bukunya tersebut menandakan betapa Aristoteles dan Thomas Aquinas cukup dalam mempengaruhi pemahamannya tentang hukum. Finnis kerap juga disebut sebagai neo-Aristotelian dan neo-Thomis. Kita akan tunjukkan nanti di mana irisan pemikiran Finnis dengan kedua orang tersebut.
Pemikiran Finnis tentang Hukum
Sebagai penganut aliran hukum kodrat, tentu Finnis membawa masuk substansi moralitas dalam berhukum. Ia meyakini hukum selalu memiliki dimensi moral dan karena itu hukum tidak dapat sepenuhnya dipisahkan dari konsep keadilan. Namun, ia tidak menganggap bahwa hukum harus secara langsung mencerminkan moralitas teologis atau moralitas agama tertentu. Lalu dari mana sumber moralitas itu? John Finnis mengembangkan konsep moralitas yang bersumber dari dua konsep utama, yaitu nilai dasar atau kebaikan dasar (basic values; basic goods) dan akal budi praktis (practical reasonableness) manusia.
Istilah “nilai dasar” (basic values) memang digunakan pula oleh Finnis dalam pengertian yang sama dengan “kebaikan dasar” (basic goods). Hal ini memang sedikit membingungkan pembaca bukunya. Untuk memudahkan pemahaman kita, di dalam tulisan singkat ini, dipilih terminologi “kebaikan dasar” yang mohon disamakan dengan “nilai dasar”.
Tentang kebaikan dasar, ia mengatakan bahwa hukum memang seharusnya berorientasi pada pencapaian kebaikan dasar, yang mencakup setidaknya tujuh aspek. Kebaikan dasar itu sama sekali tidak bersumber dari hukum positif. Dalam buku Natural Law and Natural Rights (edisi 2011, hlm. 86 dst.), Finnis memberi urutan kebaikan dasar itu dengan urutan sebagai berikut: (1) life, (2) knowledge, (3) play, (4) aestethic experience, (5) sociability (frienschip), (6) practical reasonableness, dan (7) religion. Finnis tidak mengatakan urutan pertama lebih penting daripada urutan berikutnya. Kita ikuti penjabaran dari Finnis dengan catatan-catatan sebagai berikut:
Kebaikan dasar yang pertama disebut oleh Finnis adalah kehidupan (life). Kebaikan ini mencakup tidak hanya kelangsungan hidup fisik tetapi juga kesehatan dan kesejahteraan. Oleh sebab itu, dalam berhukum, kebaikan dasar ini diwujudkan dalam perlindungan terhadap nyawa, misalnya, larangan atas pembunuhan (termasuk hukuman mati dan euthanasia), perawatan kesehatgan, dan perlindungan atas keamanan publik.
Kebaikan dasar selanjutnya adalah pengetahuan (knowledge). Moralitas berhukum membutuhkan pengetahuan dan ini sesuai dengan karakter alamiah manusia yang gemar mencari pemahaman tentang dunia yang ditinggalinya. Pengetahuan merupakan bagian mendasar dari perkembangan manusia. Oleh sebab itu di dalam hukum, kebaikan dasar berupa pengetahuan ini tercermin dari adanya perlindungan terhadap kebebasan pers, kebebasan mimbar akademik, hak atas pendidikan, serta keterbukaan informasi publik.
Kebaikan dasar selanjutnya adalah permainan (play). Kebaikan dasar ini merujuk pada aktivitas yang dilakukan untuk kesenangan dan rekreasi, agar terbangun keseimbangan dalam hidup manusia. Dalam hukum, ini dapat diwujudkan dalam hak pekerja mendapatkan libur dan berwisata, perlindungan terhadap hak-hak anak untuk menikmati usia kanak-kanak mereka, hak menikmati hiburan, dan hak berolahraga.
Kemudian, Finnis menyebut ada kebaikan dasar berupa pengalaman estetis (aesthetic experience). Manusia memiliki kecenderungan alami untuk mengapresiasi keindahan dalam seni, alam, dan ekspresi kreatif lainnya. Dalam hukum, ini berkaitan dengan perlindungan hak cipta, kebebasan berekspresi dalam seni dan budaya, serta pelestarian warisan budaya.
Berikutnya ada kebaikan dasar berupa persahabatan (friendship, sociability). Manusia adalah mahluk sosial, yang perlu menjaga hubungan baik dnegan manusia lain. Kebaikan dasar ini tidak hanya terbatas pada hubungan personal, tetapi juga mencakup kebersamaan dalam komunitas dan masyarakat secara luas. Dalam hukum, ini terkait dengan hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul, kesetaraan sosial dan gender, dan larangan diskriminasi.
Kebaikan berikutnya adalah akal budi praktis (practical reasonableness). Aspek ini rupanya sangat menarik perhatian Finnis. Sebab, ia kemudian mengelaborasi lebih jauh akal budi praktis ini sebagai elemen kedua dari konsep moralitasnya. Finnis meyakini bahwa kemampuan manusia untuk menggunakan akal budi praktis dalam membuat keputusan adalah suatu kebaikan yang bernilai dalam dirinya sendiri. Dengan perkataan lain, akal budi praktis itu bukan hanya alat untuk memahami moralitas, tetapi juga sesuatu yang memiliki nilai intrinsik. Tanpanya, manusia tidak dapat menentukan bagaimana cara terbaik mengejar kebaikan dasar lainnya. Jadi, sebagai kebaikan dasar, akal budi praktis ini memiliki nilai dalam dirinya sendiri, karena manusia yang hidup dengan kebijaksanaan praktis akan memiliki kehidupan yang lebih bermakna dan bertanggung jawab. Namun, ia juga nanti akan diposisikan oleh Finnis sebagai pedoman dalam mengejar kebaikan dasar lainnya. Hal ini karena akal budi praktis mengajarkan bagaimana seseorang dapat hidup secara moral dengan menyeimbangkan berbagai kebaikan dasar dalam kehidupan. Menurutnya, akal budi praktis meletakkan prinsip yang mengatur bagaimana seseorang menentukan tindakan yang baik dan benar sesuai dengan akal budi. Ia menjadi dasar bagi semua keputusan moral, termasuk dalam sistem hukum yang mengatur keadilan dan kewajiban sosial. Dalam hukum, hal ini mencerminkan prinsip rasionalitas dalam pembuatan kebijakan dan penegakan hukum yang adil.
Terakhir, kebaikan dasar yang berwujud keharmonian internal dalam diri manusia. Tepatnhya adalah spiritualitas atau religi dalam arti luas (religion, understood broadly as concern for ultimate questions). Bukan terbatas pada agama tertentu, tetapi lebih pada pencarian manusia terhadap makna hidup, keterhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri, serta harmoni batin. Dalam hukum, ini berkaitan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan, beribadah, dan berdakwah.
Perlu dicatat, sekalipun dibentangkan tujuh kebaikan dasar itu, dalam pemikiran Finnis, tidak ada kebaikan dasar yang lebih tinggi dari yang lain dalam arti mutlak. Setiap individu dan masyarakat harus menemukan keseimbangan berdasarkan prinsip akal budi praktis. Menurutnya, kebaikan dasar ini bersifat objektif dan harus menjadi tujuan sistem hukum yang baik. Dengan akal budi praktis, moralitas dalam hukum harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang dapat dipahami secara rasional dan obyektif oleh semua orang (universal), terlepas dari keyakinan agama mereka. Dari kebaikan-kebaikan dasar itu dapat ditunjukkan lahirnya hak-hak alamiah (natural rights).
Sekali lagi, Finnis seorang penganut aliran hukum kodrat. Untuk itu, ia lebih fokus berbicara tentang hak-hak alamiah (natural rights) dan tidak hak-hak asasi manusia (human rights), kendati saya melihat pada segi tertentu kedua konsep tadi akan bertindihan juga. Hak-hak alamiah itu berakar di dalam hukum kodrat dan prinsip moralitas obyektif, sedangkan hak-hak asasi manusia muncul di dalam pemikiran modern yang diberikan kepada individu-individu dan juga perlu dipertanyakan validitas moralnya. Artinya, di mata Finnis, hak-hak asasi manusia itu hanya sah jika jika selaras dengan hukum kodrat dan prinsip-prinsip moralitas universal.
Demikianlah, menurut sudut pandang Finnis, hukum pada akhirnya juga berperan sebagai struktur sosial dalam rangka menggapai kesejahteraan bersama dalam makna kolektif (common good). Oleh karena itu, hukum tidak boleh hanya sekadar perintah yang dipaksakan oleh penguasa (sebagaimana diajarkan kaum positivis hukum), melainkan harus mencerminkan nilai-nilai fundamental yang mendukung kehidupan manusia secara optimal. Ia berpendapat bahwa adanya kewajiban moral untuk menaati hukum yang sah adalah karena hukum tersebut memang didasarkan pada prinsip-prinsip rasional yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan bersama itu (common good) itu. Hal ini membuat Finnis diberi label ne-arisotelian yang kurang lebih sejalan dengan pandangan Aritoteles bahwa moralitas dan hukum itu berakar pada konsep eudaimonia (kehidupan yang baik). Apabila hukum bertentangan secara fundamental dengan prinsip keadilan dan rasionalitas, kata Finnis, tersedia alasan moral untuk tidak mengikuti hukum itu. Suatu pandangan yang mengingatkan kita pada pemikiran Thomas Aquinas, sehingga Finnis dapat juga diberi predikat sebagai pengikut neo-thomisme. Lengkapnya ia seorang Aristotelian- Thomist.
Kaitannya dengan Akal Budi Praktis dari Immanuel Kant
Konsep “akal budi praktis” (practical reasonableness) ini mengingatkan kita pada konsep yang sudah lama disuarakan oleh filsuf penting dari Prusia Timur bernama Immanuel Kant (1724-1804). Keduanya dapat dikatakan mempunyai pandangan yang sama tentang moralitas berbasis akal budi (Vernunft). Mereka berdua atidak membahas moralitas sebagai bentukan pengalaman atau perasaan subjektif manusia. Mereka berdua sama-sama meyakini tentang adanya moralitas yang rasional-objektif dan universal.
Jika ada akal budi praktis, apakah ada akal budi teoretis? Kant adalah filsuf yang menjelaskan perbedaan di antara keduanya. Akal budi teoretis (theoretische Vernunft; theoretical reason) digunakan untuk memahami dunia sebagaimana adanya (misalnya, dalam ilmu pengetahuan dan metafisika). Sebaliknya, akal budi praktis (praktische Vernunft; practical reason) digunakan untuk menentukan bagaimana manusia seharusnya bertindak berdasarkan prinsip moral yang rasional. Saya sendiri secara sederhana menggambarkan bahwa ketika kita berbicara tentang deskripsi hukum-hukum alam (law of nature) kita selayaknya menoleh ke akal budi teoretis, tetapi tatkala kita berbicara tentang preskripsi hukum-hukum kodrat (natural law) kita akan ditarik untuk menggunakan akal budi praktis.
Kant adalah seorang deontologis yang menekankan bahwa tindakan bermoral harus didasarkan pada kewajiban dan prinsip yang dapat diuniversalkan (duty-based ethics). Guna memastikan adanya universalitas prinsip moral, Kant mengembangkan konsep imperatif kategoris (categorical imperative) yang otonom pada setiap orang. Dasar moralitas itu, dengan demikian, bersifat otonom pada diri setiap orang untuk sampai pada kesadaran bahwa ia berperilaku karena memang menganggapnya sebagai kewajiban untuk berlaku demikian. Mengapa anda harus memberi para pekerja hak berserikat? Dengan imperatif kategoris, Kant akan mengatakan bahwa karena memang sudah kewajiban kitalah untuk memberi hak berserikat itu kepada setiap orang.
Finnis, sebagai seorang natural law theorist, percaya bahwa hukum dan moralitas harus didasarkan pada kebaikan dasar yang dapat diketahui melalui akal budi manusia. Setiap orang diberi kebebasan untuk mengejar kebaikan bersama (basic goods) dan ketika semua kebaikan bersama itu diakomodasi ke dalam hukum, maka hukum bakal mencapai tujuannya, yaitu kesejahteraan bersama (common good). Dengan perkataan lain, moralitas bagi Finnis lebih berorientasi pada kebaikan yang harus diwujudkan dalam kehidupan, bukan sekadar mengikuti aturan kewajiban seperti dalam etika Kantian. Apabila Finnis ditanya mengapa anda harus memberi para pekerja hak berserikat, maka ia akan menjawab bahwa hak berserikat itu adalah manifestasi kebaikan dasar (basic goods) persahabatan yang dimiliki oleh setiap manusia. Hukum yang bermoral harus menghormati kebaikan dasar ini.
Meskipun terdapat kesamaan dalam fokus pada rasionalitas sebagai dasar moralitas, Finnis lebih menekankan bahwa moralitas harus didasarkan pada pencapaian kebaikan dasar, sementara Kant lebih menitikberatkan pada kewajiban moral yang bersifat universal dan otonomi individu. Finnis juga lebih aplikatif dalam konteks hukum, sedangkan Kant cenderung mengembangkan teori etika normatif yang lebih abstrak. (***)
Comments :