People Innovation Excellence

RONALD DWORKIN DAN PEMIKIRAN HUKUMNYA

Oleh SHIDARTA (Februari 2025)

Ketika berbicara tentang aliran hukum kodrat dalam filsafat hukum, saya harus menyinggung nama seorang Ronald Dworkin. Biasanya, saya menempatkannya sebagai tokoh dalam versi ketiga dalam aliran ini, yaitu setelah versi tradisional dengan tokoh utamanya Thomas Aquinas, dan versi “inner morality of law” dari Fuller. Dworkin dapat dianggap sebagai pengemuka versi selanjutnya dengan mengemukakan hukum sebagai integritas (law as integrity).

Ronald Dworkin lahir di Rhode Island, Amerika Serikat pada tanggal 11 Desember 1931 dari keluarga Yahudi Amerika. Pendidikan hukumnya ditempuhnya di Universitas Harvard.  Profesi pertama yang ditekuninya adalah sebagai juru tulis (clerk) untuk seorang hakim di pengadilan banding dan ia mendapat pujian untuk pekerjaannya ini. Dworkin kemudian bergabung dalam kantor hukum (lawfirm) terkenal Sullivan & Cromwell di New York. Baru setelah itu ia menjadi akademisi sampai kemudian menjadi guru besar di Universitas Yale dan Oxford. Kepindahannya di Oxford (Inggris) dalam rangka menggantikan seorang pemikir hukum terkenal dan legendaris H.L.A. Hart, yang justru pemikirannya kerap menjadi sasaran kritik dari Dworkin. Beberapa perguruan tinggi terkenal lainnya juga sempat menjadi tempatnya berkarier. Dworkin menulis banyak sekali buku-buku fenomenal tentang hukum, seperti Taking Rights Seriously (1977), A Matter of Principle (1985), dan Law’s Empire (1986). Beliau meninggal tanggal 14 Februari 2013 dalam usia 81 tahun, pada saat ia masih menjabat sebagai guru besar di New College of the Humanities di London (Inggris).

Pemikiran Dworkin

Apakah hukum itu menurut Dworkin? Di mata  Dworkin, hukum merupakan sistem prinsip moral dan hukum yang koheren yang membentuk dan membimbing tercapainya suatu keputusan hukum. Pandangan ini jelas membawa kita pada kesimpulan bahwa Dworkin bukan seorang positivis karena ia menolak mendefinisikan hukum sebagai sekumpulan aturan (rules) yang ditentukan oleh otoritas berwenang.

Dalam bukunya Law’s Empire (1986), ia menyatakan bahwa hukum harus ditafsirkan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan. Ia meyakini bahwa hukum tidak boleh hanya mencakup aturan (rules) yang dirumuskan secara eksplisit, tetapi juga harus berupa prinsip-prinsip moral. Prinsip-prinsip ini selalu melekat di dalam hukum. Oleh karena itu, ketika para hakim menghadapi kasus-kasus yang sulit (hard cases), mereka tidak hanya mengandalkan teks hukum, tetapi juga harus mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan yang mendasari hukum tersebut.

Dworkin berpendapat bahwa tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan dan menegakkan hak-hak individu secara konsisten dalam suatu sistem hukum yang koheren. Dworkin tidak pernah memisahkan keadilan dengan hak individu. Ia berpandangan bahwa keadilan tidak boleh lepas dari hak individu. Bahkan, hak individu harus lebih diutamakan daripada kebijakan bagi mayoritas. Dengan kata lain, hak-hak dasar tidak boleh dikorbankan hanya demi kepentingan kepentingan orang banyak. Hak-hak individu berfungsi sebagai “trump card” yang harus diutamakan dalam pengambilan suatu keputusan hukum. Sebagai contoh, dalam kasus kebebasan berbicara, meskipun undang-uindang atau mayoritas masyarakat mungkin menganggap suatu pendapat tidak pantas disampaikan, hukum tetaplah harus melindungi hak individu untuk mengekspresikan pendapatnya. Penghormatan terhadap hak-hak individu yang fundamental seperti itu (rights as trump) tidak boleh dikalahkan hanya karena ada tekanan politik atau desakan publik. Perlakuan demikian berlaku bagi semua orang (equal treatment).

Dalam praktik, tentu pengambilan suatu keputusan hukum tidak selalu mudah. Untuk itu, ia mengembangkan sebuah konsep yang disebutnya “the idea of fit”. Pertama-tama, hakim sebagai pengambil keputusan harus memasuki tahap “fit” yaitu mencari interpretasi hukum yang dapat dijustifikasi sebagai bagian dari keseluruhan sistem hukum yang telah ada. Baru setelah itu masuk ke tahap “justification” (pembenaran normatif). Dari berbagai interpretasi yang “cocok” dengan hukum yang ada, hakim harus memilih interpretasi yang paling mencerminkan prinsip moral dan keadilan yang terbaik. Dengan pendekatan ini, Dworkin menegaskan bahwa hukum bukan hanya tentang kesesuaian tekstual dengan aturan yang ada, tetapi juga tentang interpretasi normatif yang menegakkan prinsip moral yang lebih tinggi. Model bernalar demikian membuat pandangan Dworkin kerap disebut sebagai interpretivisme.

Dengan demikian, hakim menurutnya, seperti seorang novelis yang menulis bab tambahan dalam sebuah novel. Bab baru itu tidak boleh ditulis sembarangan karena harus “nyambung” dengan alur cerita sebelumnya. Tidak cukup hanya sampai di situ. Si novelis juga harus memastikan bahwa bab baru dari novelnya itu bakal membawa cerita ke arah yang lebih bermakna dan bernilai. Hakim yang ideal seperti itu diberi predikat oleh Dworkin sebagai “Hercules”.

Metode menafsirkan hukum secara koheren seperti itu memberi ciri khas terhadap pemikiran Dworkin, yang kemudian juga dikenal sebagai teori interpretivisme. Teori ini berangkat dari kesadaran bahwa hukum memang harus dipahami sebagai praktik interpretatif yang berkembang dari waktu ke waktu. Intinya tetap sama, bahwa interpretasi hukum harus dilakukan dengan mempertimbangkan tujuan moral hukum tersebut, bukan sekadar mengikuti aturan hukum positif secara mekanis.

Seringkali pemikiran interpretivisme Dworkin ini disamakan dengan hermeneutika hukum. Namun, ada sejumlah penegasan bahwa Dworkin tidak dapat menerima cara tafsir yang terlalu toleran sebagaimana ditunjukkan pegiat hermeneutika hukum, seperti tafsir historis dan/atau sosiologis. Dworkin akan mengarahkan penafsirannya kepada prinsip moral terbaik yaitu prinsip yang mengedepankan penghormatan terhadap hak-hak individu yang fundamental dan kesetaraan bagi semua orang.

Kita dapat menguji pandangan Dworkin ini dengan suatu kasus. Misalnya, bagaimana seorang hakim “Hercules” harus memberi tafsir yang tepat apabila ada undang-undang yang melarang pernikahan sejenis? Bagaimana pula jika undang-undang itu didukung oleh mayoritas masyarakat? Apakah Dworkin tetap setuju dengan dalih bahwa hak individu untuk menikah itu adalah bagian dari “rights as trump” yang menjadi tolok ukur menuju ke hukum yang berintegritas?

Pertanyaan di atas menampilkan ketegangan antara “fit” dan “justification” dalam teori hukum Dworkin. Sekali lagi, Dworkin akan menggarisbawahi pandangannya bahwa hakim harus menafsirkan hukum agar “fit” dengan struktur hukum yang ada, tetapi sekaligus memastikan bahwa interpretasi itu mencerminkan prinsip keadilan yang terbaik (justification). Di sini “fit” berarti bahwa interpretasi si hakim tidak boleh bertentangan secara radikal dengan aturan dan preseden yang sudah ada. Hakim tidak boleh menciptakan hukum baru secara sewenang-wenang. Hakim tetap tidak boleh mengabaikan hukum positif itu. Namun, di sisi lain ada “justification” yang berarti hakim harus memilih interpretasi hukum yang paling cocok. Di sini hakim akan menguji apakah larangan pernikahan sesama jenis itu benar-benar mencerminkan prinsip moral terbaik di dalam hukum.

Menguji Pemikiran Dworkin

Kita mencermati bahwa implemantasi dari gagasan Dworkin tidak sesederhana seperti dibayangkan. Misalnya, kita disodorkan satu pertanyaan kunci, yaitu apakah hak untuk menikah adalah bagian dari hak-hak individu yang fundamental dan paling determinan (trump card), sehingga tidak dapat dihilangkan atas dasar alasan apapun? Jika jawabannya adalah ya, maka ketentuan dalam undang-undang yang melarang  pernikahan sejenis haruslah dinyatakan batal. Hak mayoritas tidak boleh membatasi, apalagi sampai menindas atau melenyapkan hak individu seperti itu.

Namun, apakah hakikat dari suatu penikahan? Jika kita memahami hakikat pernikahan adalah pola tindakan manusia untuk mempertahankan keberlangsungan kehidupan dengan melahirkan generasi-generasi baru, maka pernikahan sejenis telah bertentangan dengan hakikat itu. Artinya, ada hak dari individu-individu baru untuk dilahirkan kemudian dari setiap pernikahan. Pernikahan sejenis justru melenyapkan hak individu-individu yang berpotensi lahir dari pernikahan demikian. Argumentasi ini tentu ada sisi kelemahannya karena berarti pernikahan heteroseksual yang tidak bermotifkan melahirkan keturunan (child-free), harus pula ditolak dengan dalih yang sama.

Ketegangan antara “fit” dan “justification” ini tentu tidak mudah untuk diilustraikan dan ditarik kesimpulannya sekali jadi. Mahkamah Agung Amerika Serikat mengalaminya tatkala menghadapi kasus Obergefell v. Hodges (2015),*

Kasus ini bermula dari kematian seseorang bernama John Arthur tahun 2013. John memiliki pasangan sesama jenis bernama Obergefell. Pernikahan mereka dilangsungkan di wilayah negara bagian Maryland pada satu tahun sebelumnya.  Pasangan yang tinggal di Ohio ini memang sengaja menikah di Maryland karena negara bagian itu sudah melegalkan pernikahan sejenis sejak tahun 2012.  Setelah kematian pasangannya, Obergefell meminta agar negara bagian Ohio mencantumkan dirinya sebagai pasangan sah dari John Arthur di akta kematian almarhum. Negara bagian ini menolak, dengan alasan pernikahan mereka tidak diakui di Ohio. Penolakan ini membuat Obergefell memasukkan permohonan ke pengadilan di negara bagian Ohio dengan dalih kebijakan itu telah melanggar hak konstitusionalnya di bawah Amendemen Keempat Belas. Pengadilan Ohio akhirnya menjatuhkan putusan mengakui pernikahan itu. Namun putusan demikian diajukan oleh negara bagian ke tingkat berikutnya, yaitu ke tingkat federal (Mahkamah Agung). Mayoritas hakim pengadilan federal dalam kasus Obergefell v. Hodges (2015) juga setuju untuk mengakui pernikahan sejenis ini. Jika dicermati, cara pandang mereka ternyata sama seperti gagasan Dworkin. Putusan tersebut tidak aklamatif karena ada juga hakim yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Pendapat berbeda itu didasarkan pada pandangan bahwa konstitusi AS tidak secara eksplisit membahas pernikahan sesama jenis. Ini berarti bahwa dilarang atau tidaknya pernikahan sejenis itu seharusnya cukup diserahkan saja kepada kekuasaan legislatif masing-masing negara bagian, dan tidak perlu sampai diputuskan oleh pengadilan federal.

Di sini kita dapat menyimpulkan cara pandang Dworkin memang telah mengaksentuasi karakteristik pemikiran aliran hukum kodrat. Ujian terhadap pemikirannya lagi-lagi datang dari cara pandang berbeda yang memaknai hukum secara yuridis dan/atau kultural, misalnya dengan melihat hukum sebagai produk penguasa di dalam undang-undang dan/atau kebiasaan yang sudah melembaga di dalam masyarakat. Melalui pemikiran Dworkin, kita dapat menemukan corak aliran hukum kodrat yang mampu menerobos kekakuan undang-undang atau tradisi yang cenderung ingin memelihara “status quo”. Tentu saja, dengan segala konsekuensi dan risiko yang tidak semua pengambil keputusan hukum berani menanggungnya. Soal apakah hanya cara pandang Dworkin itulah yang mampu membawa hukum tampil berintegritas, adalah perihal penilaian yang lain lagi. (***)


*) Nama Hodges pada kasus Obergefell v. Hodges (2015) diambil dari Richard Hodges, yang menjabat sebagai Direktur Departemen Kesehatan Ohio. Pada tingkat awal di pengadilan negara bagian Ohio, kasus ini dikenal sebagai Obergefell v. Kasich (diambil adari nama gubernur negara bagian tersebut John Kasich).



Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close