People Innovation Excellence

PERLU UNDANG-UNDANG ATAU PERPU UNTUK PEMBATASAN ANAK DI MEDIA SOSIAL

Oleh AHMAD SOFIAN (Februari 2025)

Media sosial saat ini sedang tidak baik-baik saja. Banyak problem negatif yang ditimbulkannya pada sejumlah anak-anak. Media sosial pun membuat kebijakan untuk membatasi usia anak untuk mengakses media sosial. Namun kebijakan  ini gagal, karena kenyataannya sejumlah anak-anak tetap bisa mengakases dan memiliki akun media sosial meskipun telah dilarang. Kondisi ini menyebabkan mereka berada dalam situasi yang tidak aman. Ada resiko besar yang mengancam keamanan mereka di media sosial. Mereka bukannya mencari ilmu pengetahuan tetapi asik bercengkerama di media sosial, sehingga mereka terpapar konten yang berbahaya dan juga menjadi serangan para predator anak.

Untuk mengatasi masalah ini, sejumlah negara mengembangkan program literasi digital untuk orang tua dan anak. Sejumlah software dan aplikasi parental control dikembangkan untuk menjadi instrumen bagi orang tua mengawasi anak-anaknya agar aman ketika berinternet. Bahkan sebuah perusahaan telekomunikasi menciptakan dan menjual gawai khusus untuk anak sehingga anak-anak terlindungi dari paparan konten yang dapat mengganggu keamanan mereka ketika berinternet. Sejumlah program dan kebijakan pun diluncurkan untuk memastikan adanya perlindungan bagi anak, termasuk berkolaborai dengan sejumlah Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) atau platforms media sosial. Media sosial bahkan didorong untuk memperbaiki sistem keamanan mereka sehingga anak-anak terlindungi. Sejumlah media sosial mengembangkan fitur-fitur bantuan, fitur-fitur pelaporan dan mengembangkan sejumlah program tanggung jawab sosial atas implikasi media sosial terhadap anak-anak.

Namun ternyata program-program tersebut masih belum mampu melindungi sejumlah anak-anak ketika mengakses media sosial. Sehingga pada akhirnya sejumlah negara membuat aturan yang lebih ketat dengan menerbitkan undang-undang yang mengatur pembatasan usia dalam mengakses media sosial, bahkan memberikan  sanksi denda yang sangat tinggi hingga pencabutan izin kepada  PSE  yang gagal dalam memastikan anak pada usia tertentu tidak boleh mengakses media sosial. Aturan ini dinilai oleh sejumlah PSE merugikan mereka sehingga merekapun melakukan lobby agar negara lain tidak mengikuti negara-negara yang telah membuat undang-undang membatasi usia anak dalam mengakses media sosial.

Salah satu negara yang membuat aturan ketat adalah Australia. Negara ini  membuat aturan pembatasan usia anak menggunakan media sosial minimal 16 tahun. Sebelumnya beberapa negara di Amerika Serikat, Uni Eropa, Inggris, bahkan  beberapa negara asia seperti  Korea Selatan, Tiongkok, Jepang  telah membuat aturan yang hampir sama yaitu  memberikan batasan pada anak untuk mengakses media sosial dan games online pada usia 15 atau 16 tahun. Atas situasi itulah Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menginisiasi penyusunan kebijakan untuk membuat aturan yang sama yaitu pembatasan usia anak dalam mengakses media sosial. Namun sayangnya kebijakan ini  dituangkan   dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP)  bukan dalam bentuk Undang-Undang. Selain itu,  pembahasannya dinilai sejumlah pihak  tidak transparan, dan ada dugaan intervensi dari sejumlah Penyelenggara Sistem Elektrnik (PSE).

Keadaan Darurat

Keadaan darurat dimaknai sebagai  keadaan genting dan memaksa yang menyebabkan mekanisme yang ada tidak berjalan normal. Keadaan darurat bukan saja harus situasi  darurat militer,  darurat perang atau darurat bencana alam. Keadaan darurat dalam konteks yang lebih luas termasuk di dalamnya adalah kondisi sosial rusak dan tatanan kehidupan menjadi tidak  normal. Dalam konteks ini, bisa Interaksi manusia tidak lagi dilakukan secara face to face, tetapi diganti  oleh mesin. Bahkan mesin ini pun digunakan oleh anak-anak untuk berinteraksi  dengan anak-anak lainnya sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan mental dan sosial mereka. Oleh karena itu, dalam keadaan darurat,  Presiden dapat menetapkan PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) untuk mengatasi situasi darurat tersebut agar bisa kembali ke keadaan normal.

Jika mengacu pada data yang terpercaya, maka disimpulkan bahwa penggunaan media sosial dikalangan anak-anak kita sudah dalam keadaan darurat yaitu memprihatinkan dan membahayakan masa depan mereka serta tumbah kembang mereka secara wajar menjadi terancam. Berbagai upaya sudah dilakukan   untuk mengatasi  masalah ini, namun upaya tersebut hanya berdampak minor pada anak-anak kita. Hasil survey sebuah lembaga independent menemukan sebanyak 89 persen  anak usia 5 tahun ke atas mengakses  media sosial dan bermain games online dan sisanya atau 11 persen mengakses internet untuk belajar. UNICEF juga mencatat bahwa rata-rata waktu yang digunakan anak-anak untuk  berinternet per hari 5,4 jam dan dari jumlah itu,   86,5 persen  digunakan untuk  mengakses konten video dan media sosial. ECPAT (Endang Sexual Exploitatition of Children) menemukan setidaknya 30 persen anak-anak yang menggunakan media sosial pernah di-grooming oleh predator seks.

Bukanlah kondisi ini telah berada dalam keadaan darurat. Masa depan anak-anak kita berada dalam ancaman yang masif, dan terstruktur. Karena itu, langkah untuk mengatasi kondisi kedaruratan ini adalah dengan Undang-Undang atau PERPU dan bukan dengan Peraturan Pemerintah. Sejumlah negara yang yang saya sebutkan di atas mengatur pembatasan usia ini dengan sebuah Undang-Undang, yang dibahas oleh pemerintah dan parlemen. Ini menunjukkan mereka telah memahami kondisi kedaruratan yang mengancam anak anak mereka. Undang-Undang pembatasan usia anak di media sosial menjadi prioritas di program legislasi nasional. Undang-undang yang lain disuruh antri lebih dahulu. Lalu bagaiman dengan Indonesia? Pemerintah kita  masih menganggap kondisi anak-anak di media sosial   belum  dalam keadaan darurat  sehingga belum perlu membuat UU atau PERPU  untuk pembatasan usia anak.

Kenapa Harus Undang-Undang atau PERPU?

Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) jauh lebih ampuh dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah (PP) yang akan diterbitkan pemerintah atas usulan Komdigi dalam waktu dekat ini. Alasan Komdigi menerbitkan PP, adalah agar lebih cepat terbitnya aturan pembatasan usia anak di media sosial. Tentu saja, rencana ini patut diapresiasi, namun perlu difahami bahwa   Peraturan Pemerintah tidak memiliki kekuatan ampuh dalam “memaksa” Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) seperti  Istagram, Twitter, Tiktok, Facebook,  atau bahkan games online,  untuk patuh dan mentaati aturan soal pembatasan usia ini. Banyak PP yang akhirnya menjadi macan ompong dan mandul karena tidak bisa memberikan sanksi tegas dalam bentuk denda dan pencabutan izin kepada PSE. Peraturan Pemerintah hanya bisa memberikan sanksi administrasi kepada kepada PSE.  Peraturan Pemerintah  juga tidak memiliki landasan hukum yang kuat dalam mengatur masalah ini untuk jangka Panjang. Dalam konteks hirarki perundang-undangan harusnya yang disusun lebih dahulu adalah Undang-Undangnya baru setelah itu PP. Ada dugaan, PSE bisa dengan mudah mengintervensi Komdigi dalam pembahasan dibandingkan jika yang dibuat adalah Undang-Undang atau PERPU. Hanya saja sampai saat ini belum terdengar suara dari DPR RI tentang rencana penyusunan Undang-Undang, dan belum juga terdengar rencana dari Presiden untuk menerbitkan PERPU. Substansi yang harus dituangkan dalam UU atau PERPU ini adalah :

  • menegaskan usia anak dalam menggunakan media sosial harus ditetapkan 16 tahun
  • Media sosial bertanggung jawab ketika ditemukan fakta ada anak di bawah 16 tahun yang mengakses media sosialdan diberikan sanksi dalam bentuk denda, hingga pencabutan izin jika ditemukan fakta anak di bawah 16 tahun memiliki akun media sosial.
  • untuk memastikan anak telah berusia 16 tahun maka harus ada fitur khusus yang memverifikasi usia anak yang dikembangkan oleh PSE
  • orang tua memastikan anak mereka yang belum berusia 16 tahun tidak mengakses media sosial.
  • Memastikan PSE mengembangkan program literasi digital kepada anak, orang tua, dan stakeholder penting lainnya. (***)



 


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close