POLITIK ATAS NAMA HUKUM
Oleh SHIDARTA (Januari 2025)
Ada banyak peristiwa yang menunjukkan bahwa politik kerapkali bersembunyi di balik label hukum. Dengan perkataan lain, politik dari si penguasa politik menjadikan hukum sebagai alat berpolitik. Itulah politik yang mengatasnamakan hukum. Contoh-contohnya dapat ditemukan bertebaran sejak zaman kuno sampai detik hari ini. Namun, entah mengapa, setiap saya mencari contoh paling mengesankan tentang bagaimana politik mengatasnamakan hukum itu, pikiran saya selalu terbawa pada satu adegan di masa-masa akhir eksistensi Kekaisaran Romawi, tatkala Kaisar Honorius berkuasa.
Peristiwanya terjadi tahun 408 Masehi. Kota Roma kala itu sedang terkepung oleh suku-suku yang marah karena mendapat perlakuan buruk selama penaklukan Romawi. Akibat pengepungan ini, kaisar harus memindahkan pusat pemerintahannya ke Ravenna, di Utara Italia. Untuk menghadapi situasi yang kian memburuk, seorang penasihat kaisar bernama Flavius Stilicho meminta agar kaisar segera memenuhi janjinya yakni memberikan suku-suku terusir itu lahan baru tempat mereka dapat bermukim. Salah satu di antaranya kepada suku Visigoth yang berasal dari pinggiran Laut Hitam.
Stilicho pernah menjadi panglima militer Romawi di bawah Kaisar Theodosius, ayah dari Honorius. Oleh sebab itu, ia seorang tokoh yang berpengaruh dan dihormati. Namun, Kaisar Honorius tidak sudi dengan ide Stilicho ini, sehingga terjadi perselisihan sengit di antara mereka. Hal ini memaksa Stilicho harus keluar dari istana dan mengungsi di bawah perlindungan otoritas Gereja. Kaisar Honorius yang mendapat bisikan dari salah seorang menterinya bernama Olympus, menuduh Stilicho sengaja bersekongkol dengan suku-suku yang dipandangnyai sebagai kaum barbar itu untuk menggulingkan Kaisar.
Adegan menarik yang saya maksud terjadi ketika sekelompok utusan Honorius datang menemui Stilicho di sebuah gedung gereja tempat persembunyiannya. Mereka membujuk Stilicho untuk segera menghadap Kaisar menjelaskan duduk persoalan yang menyebabkan mereka berselisih. Utusan ini membawa surat dari Kaisar dengan menyatakan bahwa keselamatan Stilicho akan dijamin. Titah Kaisar adalah hukum. Stilicho percaya dengan jaminan dari Kaisar yang dikenalnya sejak kecil tersebut. Namun, beberapa saat ia melangkah keluar dari pintu gereja, datang utusan lain dengan membawa surat susulan dari Kaisar. “Saya membawa surat dari Kaisar yang memerintahkan agar Anda dieksekusi mati!” Demikian ucap utusan itu sambil menusukkan pedangnya di perut Stilicho.
Akal-akalan ala Honorius ini menyajikan bahan renungan bagi kita tentang bagaimana hukum dapat direkayasa dan kemudian dimanipulasi untuk kepentingan politik. Pembunuhan terhadap Stilicho dianggap sah karena ia dieksekusi di bawah perintah Kaisar. Eksekusi dilakukan di atas lahan dalam otoritas kekaisaran. Dengan demikian Kaisar tidak melanggar otoritas lain yang juga diakui resmi ketika itu, yakni Gereja. Atas nama hukum, juga tidak perlu ada perdebatan tentang dua surat yang isinya kontradiktif itu karena hukum hanya mengakui perintah terakhir dari pejabat berwenang.
Kelicikan politik yang bertopengkan hukum ini sampai sekarang masih menghiasi perjalanan kehidupan kita. Jika aturan hukum positif dianggap menjadi penghalang suatu ambisi politik, maka “honorius-honorius” di zaman sekarang akan menyiasatinya dengan rekayasa dan manipulasi, termasuk membuat aturan baru yang membuka jalan ke pencapaian ambisi itu. Demi ambisi itu, jangankan hukum setingkat undang-undang, konstitusi pun rela untuk diamputasi! Jangankan putusan pengadilan tingkat rendahan, mahkamah tertinggi pun dapat disetir! Jangankan tanah, laut pun dapat dikapling-kapling dengan legitimasi hukum! Demikian seterusnya…
Namun, “honorius-honorius” itu tidak lagi hidup di era Romawi Kuno. Ada banyak otoritas di luar negara dan agama. Dan, ada satu otoritas yang tidak mungkin ditaklukkan sampai kapanpun oleh kelicikan politik, yaitu otoritas akal sehat. Terbukti, seperti dicatat dalam sejarah, eksekusi model Honorius tidak dapat diterima menurut akal sekat sekalipun ia dibalut dengan wajah hukum.
Hal ini sekaligus mengajarkan bahwa hukum yang sehat tidak boleh diisi dengan motif jahat politik. Sebab pada gilirannya, motif jahat politik itupun tidak akan mampu bersembunyi berlama-lama dalam wujud hukum tadi. Kisah Honorius ini penting ditujukan bagi setiap orang yang di tangannya terdapat otoritas untuk membentuk dan menemukan hukum, baik yang ada di legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Kita perlu dan sepatutnya percaya, bahwa hukum akan mampu bertahan dari kelicikan politik, sepanjang dicerna dan dikawal dengan akal sehat, bukan dengan akal-akalan. Kita menyadari, bahwa dalam tataran tertentu, tugas ini ada di institusi pendidikan guna melahirkan sebanyak mungkin penghuni di otoritas akal sehat itu. (***)
Published at :