MENGENANG PROF. LILI RASJIDI
Rabu, tanggal 4 Desember 2024, di Rumah Sakit Advent, Bandung, telah berpulang Prof (Em) Dr. H. Lili Rasjidi, S.H., S.Sos., LL.M., guru besar emeritus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Almarhum dikenal sebagai dosen untuk sejumlah mata kuliah dasar-dasar keilmuan hukum, khususnya filsafat hukum.
Saya mengenal beliau karena pernah menjadi dosen sekaligus rekan sesama tim pengajar di Program Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan (Unpar). Beliau terlibat menguji naskah disertasi saya sejak sidang proposal sampai sidang terbuka. Judul awal disertasi saya yang cukup panjang “Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan,” termasuk hasil usulan beliau setelah berkompromi dengan semua anggota tim penguji. Judul itu sebenarnya tidak saya sukai, tetapi “demi kelancaran” proses ujian, saya mengalah. Judul yang sekarang saya gunakan ketika disertasi itu kemudian dipublikasikan melalui Genta Publishing (2012), yakni “Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum,” pernah saya ajukan waktu itu dan langsung ditolak oleh para penguji. Alasan mereka, judul seperti itu terlalu populer!
Ada pengalaman seru ketika saya sampai di sidang terbuka di aula Kampus Unpar di Ciumbuleuit pada awal tahun 2004. Prof. Lili adalah penguji bersama dengan Promotor Prof. Dr. Bernard Arief Sidharta, S.H., Ko-Promotor Dr. Ignatius Bambang Sugiharto (ketika itu beliau belum guru besar), dan Prof. Dr. Soedjono Dirdjosisworo. Beliau dengan sangat yakin menyampaikan pertanyaannya: “Saudara Promovendus. Saya sudah menyimpan pertanyaan ini sejak lama dan ingin saya tanyakan pada Saudara pada sidang terbuka ini. Begini pertanyaannya: Mengapa pada judul disertasi ini Saudara memilih kata ‘Keindonesiaan’? Mengapa bukan ‘Ala Indonesia’ misalnya?” Saya sendiri sudah mengantisipasi akan ada sanggahan seputar judul disertasi saya (kendati awalnya ide judul ini bukan dari saya). Di sela-sela halaman disertasi saya, sudah ada oretan-oretan jawaban untuk pertanyaan seperti ini, bahkan lengkap dengan uraian disertai contoh-contoh padanannya dengan kata “kemanusiaan” dan “ketuhanan.” Untuk itu dengan tenang saya menjawab: “Prof. Dr. Lili Rasjidi yang sangat terpelajar. Izinkan saya menjawab. Saya pun sudah lama menunggu-nunggu pertanyaan ini…!” Tanggapan spontan yang mengawali jawaban lengkap saya atas pertanyaan itu sontak menuai tertawa riuh pengunjung sidang.
Beberapa tahun setelah lulus sebagai doktor, saya diminta mengajar di Program Sarjana Fakultas Hukum Unpar. Saya menjadi asisten Prof. Bernard Arief Sidharta untuk mata kuliah Penalaran Hukum dan Filsafat Hukum. Tidak lama kemudian Prof. Lili juga meminta saya membantu beliau mengajar mata kuliah Teori Hukum Lanjutan di Program Doktor Hukum Unpar. Secara bersamaan, saya sempat juga mengajar di Program Magister Hukum Unpar untuk mata kuliah Sosiologi Hukum. Setelah berlangsung beberapa tahun, saya akhirnya memutuskan untuk tidak lagi hilir-mudik Tangerang-Jakarta-Bandung setiap akhir pekan. Perjalanan dengan menyetir mobil sendiri ketika itu, terbilang lumayan melelahkan.
Siapapun yang pernah menjadi mahasiswa Prof. Lili, khususnya pada program pascasarjana, sangat mungkin pernah diajak bertandang ke rumah beliau yang asri di jalan Karangsari Bandung. Di sini mahasiswa boleh bernyanyi bersama. Saya termasuk yang beberapa kali diundang, tetapi karena tidak berbakat bernyanyi, saya agak “repot” memenuhi permintaan ini.
Terlepas dari itu semua, selalu menyenangkan dapat berdiskusi dengan Prof. Lili. Pertama-tama, tentu karena area peminatan kami berdua, sangat beririsan. Ada potongan-potongan pernyataan beliau yang kerap menjadi bahan refleksi saya, bahkan sampai sekarang. Misalnya, dalam kuliah Sosiologi Hukum beliau pernah berkata, “Dalam hukum Indonesia, kita cenderung lebih memilih pendekatan struktural-fungsional, ketimbang memakai pendekatan konflik.” Pada momentum lain, ia mempertanyakan seberapa relevan karakter konkret dan kontan pada hukum adat kita dewasa ini. “Di pelosok kampung-kampung, masyarakat kita sudah terbiasa berbelanja secara kredit,” ungkapnya. Ia juga pernah mempertanyakan batas-batas antara sosiologi dan antropologi. “Buktinya, saat ini ada antropologi perkotaan, tetapi ada juga sosiologi pedesaan,” ungkapnya.
Prof. Lili termasuk sedikit orang yang rajin menanyakan tulisan-tulisan [terbaru] saya untuk dapat menjadi bahan bacaannya. Beruntung, saat ini ada platform Researchgate yang membuat saya lebih sederhana memenuhi permintaan beliau. Sekitar dua tahun lalu, saat terakhir bertemu langsung dengannya, beliau masih meminta saya memberikan kembali tulisan saya dalam buku terbitan Epistema Institute tentang pemikiran Hukum Progresif Satjipto Rahardjo. Saya menyerahkan naskah tulisan tersebut bersama dengan hard-copy orasi pengukuhan guru besar saya. Beliau kebetulan tidak dapat hadir saat acara pengukuhan tanggal 26 Oktober 2022, tetapi saya sempat melihat di layar monitor langsung dari atas panggung, bahwa nama beliau ada di deretan awal pengunjung-pengunjung via daring.
Kehadiran Prof. Lili ke Jakarta untuk acara pengukuhan itu sebenarnya sungguh-sungguh sangat saya harapkan. Setidaknya figur beliau dapat mengobati sedikit kerinduan saya pada sosok Alm. Prof. Bernard Arief Sidharta yang sangat berjasa mengantarkan saya meraih gelar doktor. Untuk itu, jauh-jauh hari sebelumnya saya sudah menghubungi puteri beliau, Ira Thania Rasjidi, untuk ikut membujuk beliau. “Ya, saya sendiri berharap Bapak mau ke Jakarta supaya sesekali keluar dari Bandung,” demikian tanggapan Ira. Rupanya, karena alasan kesehatan beliau akhirnya tidak dapat datang. Suasana pasca-pandemi tentu juga menjadi salah satu pertimbangan yang dapat dipahami.
Pada kesempatan bertemu terakhir kali dengan beliau itu beberapa bulan kemudian, Prof. Lili menyatakan senang dengan topik yang saya pilih untuk orasi tesebut. “Topik humaniora digital tersebut penting untuk diangkat agar isu-isu filsafat hukum juga makin sesuai dengan perkembangan kekinian,” katanya. Ia mengaku heran, buku beliau yang sudah diterbitkan puluhan tahun lalu masih banyak dicari, padahal isinya belum sepenuhnya sempat dimutakhirkan. Buku yang dimaksud beliau adalah “Dasar-Dasar Filsafat Hukum” yang kemudian diterbitkan dengan judul baru “Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum” (bersama Ira Thania Rasjidi, lalu kemudian bersama Liza Sonia Rasjidi). Perubahan judul ini pernah beliau ceritakan alasannya: “Setelah saya pertimbangkan, isi buku saya tersebut lebih ke jurisprudence, mencakup filsafat hukum dan teori hukum!”
Ia juga mengungkapkan kebahagiaannya menyaksikan sudah ada peminat-peminat kajian filsafat hukum yang lebih muda dibandingkan dengan generasi beliau dan rekannya Prof. Bernard Arief Sidharta (Alm). Ia berharap estafet pemikiran hukum-hukum dasar, seperti filsafat hukum, dapat diteruskan ke generasi yang lebih muda lagi. Gagasan demikian tentu sudah sempat dirintis bersama dengan sejumlah rekan di berbagai perguruan tinggi melalui penyelenggaraan rutin konferensi filsafat hukum. Motornya antara lain komunitas kecil bernama Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI). Kendati beliau tidak terlibat secara aktif di dalam AFHI, saya selalu menginformasikan aktivitas asosiasi ini kepadanya.
Terkait dengan minat beliau dalam filsafat hukum, Prof. Lili menunjuk pengaruh Prof. Mochtar Kusuma-Atmadja (cara penulisan lain: Kusumaatmadja) terhadap pandangannya tentang hukum. Bersama dengan Alm. Prof. Bernard Arief Sidharta, mereka berdua memang pernah mendampingi Prof. Mochtar mengampu mata kuliah Filsafat Hukum di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran pada tahun 1970-an (setelah Prof. Soediman Kartohadiprodjo berpulang). Tatkala Epistema Institute pada tahun 2012 meminta saya menjadi penulis dan editor buku berjudul “Mochtar Kusuma-Atmadja dan Teori Hukum Pembangunan: Eksistensi dan Implikasi,” saya meminta Prof. Lili ikut menulis di buku itu. Dari diskusi dengan beliau sebelumnya, saya tahu beliau menyimpan hasil identifikasinya sendiri berkenaan dengan perjalanan pemikiran Mochtar. Entah mengapa beliau justru meminta saya yang menuliskan tulisan itu untuknya. “Saya ingin Anda yang menuliskannya untuk saya!” tegas beliau. Dalam rangka itu saya beberapa kali harus mewawancarai Prof. Lili di lobby sebuah apartemen di kawasan Simprug, Jakarta. Hasilnya adalah sebuah ulasan tentang fase kedua pemikiran Mochtar, yang menurut Prof. Lili sudah bergeser dari fase pertama. Pada episode kedua ini Mochtar sudah mulai berbicara tentang ide-ide filsafat hukum Pancasila. Tulisan itu diberi judul “Fase Kedua Perjalanan Teori Hukum Pembangunan.”
Pada saat seseorang [kemudian saya ketahui bernama Nina Pane] menghubungi Prof. Lili untuk keperluan penerbitan buku “Rekam Jejak Kebangsaan Mochtar Kusuma-Atmadja” (Penerbit Buku Kompas, 2015), Prof. Lili sempat menelepon saya. “Tolong Pak Shidarta bantu ya jika penulis buku itu ingin mendapat masukan tentang ‘teori’ hukum pembangunan dari Mochtar,” pesannya singkat. Rupanya Prof. Lili ingin saya dapat memberi masukan agar penulis tersebut, yang mungkin saja bukan dari kalangan hukum, dapat lebih memahami makna pemikiran Mochtar. Saya sendiri tidak berpretensi sebagai orang yang memahami benar pemikiran tokoh sekaliber Mochtar, tetapi menyatakan tetap bersedia apabila memang dihubungi. Namun, setelah ditunggu-tunggu, penulis yang dimaksud tidak pernah menghubungi. Barangkali karena desain buku itu sekadar sebuah rekam jejak, penulis/penyusun buku itu merasa cukup menyalin ulang tulisan saya (termasuk tulisan tentang fase kedua perjalanan Teori Hukum Pembangunan dari Prof. Lili), bertolak dari buku yang telah terbit tahun 2012.
Demikian sekilas kenangan kecil mengantarkan Prof. Lili ke peristirahatan beliau yang terakhir. Rest in peace, Prof. Lili. (***)