People Innovation Excellence

SEPUTAR “SELF-REGULATORY ORGANIZATION” (SRO)

Oleh SHIDARTA (September 2024)

Istilah “self-regulatory organization” (SRO) atau “self-regulatory body” (SRB) sering digunakan untuk menunjuk suatu entitas hukum yang dapat memproduksi peraturan secara mandiri. Organisasi demikian (selanjutnya disebut dengan singkatan SRO) ada yang berkarakter penuh (full SRO), tetapi ada pula yang tidak penuh (quasi-SRO). Khusus yang disebutkan terakhir ini, harus juga dibedakan dengan entitas lain yang disebut quasi-governmental authority. Tulisan ini akan mendiskusikan karakteristik mereka.

Sebuah organisasi disebut SRO pertama-tama dapat dilihat dari sisi kelembagaannya bahwa ia bukan termasuk badan hukum publik (publiekrechtelijke rechtspersoon). Karena bukan badan hukum publik maka ia bukan termasuk bagian dari lembaga negara atau pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Ia tergolong badan [hukum] privat (privaatrechtelijke rechtspersoon). Dari sejarah pembentukannya, suatu SRO boleh-boleh saja digagas atau disponsori oleh pemerintah, namun dari struktur dan mekanisme kerja keorganisasiannya ia harus tidak menjadi bagian atau bercirikan badan hukum publik.

Sebuah full-SRO dapat membentuk aturan untuk keperluan organisasinya sendiri, tanpa campur tangan atau diintervensi oleh pihak manapun. Untuk pembentukan aturan tersebut, organisasi itu cukup menerima wewenang dari anggota-anggotanya yang notabene menjadi sasaran pengaturan tersebut. Tidak mengherankan apabila full-SRO lazimnya berbentuk asosiasi, serikat, ikatan, atau himpunan. Organisasi profesi seperti Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), misalnya, terindentifikasi sebuah full-SRO karena ia dapat membentuk peraturan yang mandiri untuk anggota-anggotanya. Pemberlakuan peraturan ini dibuat tanpa harus mendapat persetujuan dari pihak manapun di luar Peradi. Sebagai contoh, ada Peraturan Peradi tentang Tata Cara Perpindahan Domisili Anggota. Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) juga sebuah full-SRO. Bersama dengan sejumlah organisasi dan asosiasi lainnya, PPPI telah memberlakukan, misalnya Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang ditafsirkan mengikat bagi anggota-anggotanya sebagai bagian dari masyarakat periklanan.

Lalu, bagaimana dengan quasi-SRO? Sebuah quasi-SRO juga dapat mengeluarkan peraturan, tetapi dalam aspek tertentu penerbitan peraturan ini masih diawasi oleh pemerintah. Campur tangan atau pengawasan dari Pemerintah ini diperlukan antara lain karena ada kepentingan umum yang perlu dilindungi. Atas dasar itu suatu peraturan dimungkinkan untuk dibatalkan demi alasan kepentingan umum. Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) dapat dimasukkan ke dalam kelompok quasi-SRO ini. Kadin bukan sebuah badan hukum publik, tetapi anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya (juga setiap perubahannya) harus terlebih dulu disetujui oleh Presiden. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Kadin kerap beririsan dengan kebijakan pemerintah, mengingat sebagian dari anggota-anggotanya adalah juga badan-badan usaha milik negara.

Di luar SRO yang dipaparkan di atas, kita mengenal pula adanya quasi-governmental authority. Organisasi ini merupakan badan hukum publik yang dibentuk melalui peraturan perundang-undangan. Karena area tugas pokok dan fungsinya  sangat khas, dalam arti tidak boleh sampai diintervensi oleh kepentingan-kepentingan pragmatis penguasa dan/atau kelompok tertentu, maka ia diberi independensi dalam tingkat tertentu. Para pimpinan sebuah quasi-governmental authority harus diangkat dengan keputusan administrasi negara. Bahkan ada yang sampai wajib dilantik langsung oleh presiden. Kendati demikian, mereka semua tidak bertindak di bawah bayang-bayang komando pemerintah. Tidak tertutup kemungkinan, ia juga dapat berbeda pendapat dan “mengoreksi” kebijakan pemerintah. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Indonesia seharusnya dapat digolongkan dalam kelompok ini. KPPU dapat membuat peraturan komisi yang menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, peraturan komisi itu bisa dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan. KPPU juga berwenang memeriksa badan-badan usaha milik negara atau daerah, dan kemudian menindak mereka apabila melanggar hukum persaingan usaha. Penindakan ini dalam batas-batas tertentu dapat dibaca sebagai “koreksi” atas kebijakan pemerintah, misalnya yang telah dilakukan KPPU terkait kasus pelanggaran di bidang transportasi dan telekomunikasi.

Mari kita tunjukkan contoh lain, yaitu Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Dilihat dari pembentukannya, BPKN adalah badan yang tercantum pembentukannya dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Sayangnya, semua fungsi dan tugas BPKN yang dicantumkan dalam Pasal 33 dan 34 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tidak menjurus kepada wewenang untuk mengeluarkan peraturan. Badan ini lebih didesain sebagai badan pemberi rekomendasi dan penelitian.

Perlu juga dicatat bahwa walaupun BPKN mendapat tugas untuk mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM), keberadaan LPKSM-LPKSM itu bukan subordinat dari BPKN. Demikian juga, kendati BPKN juga menerima pengaduan dari berbagai pihak terkait persoalan perlindungan konsumen, ia juga tidak berperan sebagai penyelesai sengketa sebagaimana dilakukan oleh badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) di berbagai daerah. BPKN juga bukan wadah perhimpunan BPSK-BPSK, melainkan sekadar mitra kerja.

Ini berarti, apabila BPKN mengeluarkan peraturan, tidak akan jelas kepada siapa sasaran subjek pengaturannya. Tidak ada pemberian (atribusian) dan pelimpangan wewenang (delegasian dan/atau mandat) kepada BPKN untuk membentuk peraturan. Sebagai badan pemberi rekomendasi, realisasi dari rekomendasinya mungkin saja ditindaklanjuti dalam bentuk peraturan, tetapi hal itu harus dikemas dalam wujud peraturan perundang-undangan dari pemerintah atau kementerian/lembaga terkait. Substansinya dapat berasal dari rekomendasi BPKN, tetapi baju aturannya akan meminjam lembaga lain.

Hal lain terkait independensi. Dari sisi independensi, sekilas unsur-unsur keanggotaan BPKN memang telah mengindikasikan ekspektasi tersebut. BPKN berkedudukan di ibukota negara dan bertanggung jawab kepada Presiden. Unsur-unsur keanggotaannya terdiri dari pemerintah, pelaku usaha, LPKSM, akademisi, dan tenaga ahli. Unsur pemerintah di sini diwakili oleh instansi teknis terkait, yang menangani masalah perlindungan konsumen, yang sekurang-kurangnya di bidang industri, perdagangan, kesehatan, pertambangan, perhubungan, dan keuangan. Ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2019 tentang BPKN, bahwa jumlah wakil setiap unsur yang menjadi anggota BPKN harus memperhatikan keseimbangan setiap unsur. Dinyatakan di dalam penjelasan pasal ini bahwa jumlah wakil setiap unsur tidak harus sama, namun harus memperhatikan keseimbangan, dalam arti tidak ada unsur yang dominan dalam keanggotaan BPKN. Terlepas adanya pesan untuk tidak boleh ada unsur yang dominan, apabila dicermati dari mekanisme pengangkatan/pemberhentian keanggotaan dan terlebih lagi terkait pendanaan, kesan dominasi dari unsur pemerintah, memang tidak terhindarkan. Menteri (dalam hal ini Menteri Perdagangan) berperan cukup vital untuk ikut terlibat dalam fungsi dan tugas-tugas BPKN. Pendanaan BPKN pun sampai sekarang masih dianggarkan pada Setjen Kementerian Perdagangan. Dengan karakteristik seperti di atas, BPKN tentu tidak dapat dikualifikasikan, baik sebagai SRO maupun quasi-governmental authority. 

Dewasa ini cukup banyak entitas yang didesain dengan ketidakjelasan posisi seperti di atas. Komisi Kejaksaan, misalnya, dapat juga digolongkan dalam posisi demikian. Di satu sisi ada kecenderungan untuk diarahkan menjadi organ yang independen dalam memberi rekomendasi, pengawasan, dan sebagainya, tetapi di sisi lain ruang teknis pekerjaan mereka berada dalam koridor yang terlalu sempit.  Dengan ketidakjelasan ini, maka optimalisasi fungsi dan tugas-tugas mereka tidak akan tercapai dengan baik. (***)


 

 


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close