BERCERMIN DARI PROGRAM KEPATUHAN ALA KOREA
Oleh SHIDARTA (Agustus 2024)
Jika kita di Indonesia memiliki Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), maka Korea Selatan memiliki Gongjeong Georae Wiwonhoe atau Korea Fair Trade Commission (KFTC), yang didirikan pada tahun 1981, satu tahun pasca-pengundangan Monopoly Regulation and Fair Trade Act (MRFTA) di Negeri Ginseng itu. KFTC mengklaim menjalankan empat area tugas utama.
Pertama, KFTC mempromosikan persaingan usaha yang sehat dengan mengatur kembali peraturan-peraturan yang semula anti persaingan, mengatasi hambatan bagi pelaku usaha baru untuk masuk ke dalam pasar, melarang praktik kartel dan penyalahgunaan posisi dominan, serta kegiatan curang lainnya. Kedua, KFTC memperkokoh hak-hak konsumen dengan cara mengoreksi kontrak-kontrak baku yang merugian konsumen. Komisi ini memberi arahan bagaimana klausula yang bersinggungan dengan hak-hak konsumen di dalam kontrak-kontrak tersebut seharusnya diformulasikan. Komisi juga membantu konsumen untuk membuat pilihan dan keputusan yang tepat, misalnya dengan mengoreksi pelabelan produk dan iklan-iklan yang menyesatkan. Komisi juga mewajibkan pengungkapan informasi yang penting bagi konsumen. Bahkan, Komisi ikut aktif mencegah kerugian konsumen yang terlibat dalam jenis-jenis transaksi tertentu, seperti dalam jual beli angsuran, door-to-door, dan e-commerce. Ketiga, KFTC menjaga iklim bisnis yang kompetitif bagi pelaku usaha kecil dan menengah. Untuk itu Komisi ini mengoreksi berbagai praktik tidak adil yang mungkin dilakukan oleh perusahaan besar dalam proses subkontrak terkait pembayaran dan penerimaan barang. Sebagai contoh, KFTC mengoreksi perilaku distributor besar dan pewaralaba (franchisor) yang menyalahgunakan kekuatan posisi tawar mereka untuk menekan toko-toko berskala kecil dan menengah, pemasok, dan pemegang waralaba (franchisee). Keempat, KFTC mencegah konsentrasi kekuatan-kekuatan ekonomi. Untuk itu, Komisi akan mengoreksi manajemen perusahaan besar yang berorientasi pada ekspansi dengan cara melarang kepemilikan ekuitas silang dan jaminan utang silang di antara afiliasi kelompok bisnis besar. Komisi juga mengendalikan pemberian subsidi yang tidak semestinya antara afiliasi kelompok bisnis besar, dan menetapkan batas atas jumlah total investasi ekuitas.
KPPU di Indonesia tentu menjalankan sebagian besar dari tugas-tugas di atas. Mungkin hanya tugas kedua yang tidak secara spesifik dilakukan oleh KPPU, kendati pengawasan terhadap persaingan usaha pada gilirannya pasti berdampak pada konsumen. KPPU juga tidak mengawasi pembuatan klausula dan peredaran kontrak baku yang sebenarnya kerap menjadi instrumen persaingan usaha tidak sehat. Sebenarnya ada lembaga yang sudah diberi tugas dan kewenangan mengawasi klausula baku menurut Pasal 52 huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yakni Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Sayangnya, BPSK bukan pemangku kepentingan yang tepat untuk dipilih mengemban tugas ini, dan ia sama sekali tidak memiliki kapasitas untuk menjalankannya.
Lalu, apakah KFTC menawarkan program [manajemen] kepatuhan seperti yang juga sudah dijalankan oleh KPPU di Indonesia? Ternyata KFTC juga memiliki program yang disebut junbeobgyeong-yeong peulogeulaem. Ini program yang serius, sekalipun terkesan tidak ingin ditonjolkan. Ketika saya berselancar memasuki situs resmi KFTC (tanggal 6 Agustus 2024) dan mengetik di kotak pencarian kata “compliance program,” ternyata saya tidak menemukan satu keterangan pun tentang program ini.
Beruntung, sejak pertengahan tahun 2021, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis sebuah dokumen yang memberi informasi agak lengkap tentang program kepatuhan yang sudah dijalankan oleh KFTC. Tulisan ini banyak merujuk pada dokumen tersebut. Dokumen ini mereproduksi kontribusi tertulis dari Korea Selatan yang diserahkan untuk Item 1 Pertemuan ke-133 Kelompok Kerja OECD pada tanggal 8 Juni 2021. Menurut dokumen tersebut, program kepatuhan KFTC memang didesain untuk membantu perusahaan mengurangi risiko pelanggaran hukum, dan meningkatkan citra perusahaan dengan mengamankan kepercayaan konsumen melalui manajemen kepatuhan. Seandainya terdapat banyak perusahaan yang berpartisipasi dalam program ini, maka diharapkan mereka bakal menjadi contoh yang baik. Dengan kepatuhan ini biaya sosial dan administratif yang dibebankan kepada masyarakat luas (akibat praktik monopoli), dapat dikurangi.
Atas dasar keyakinan itu, maka KFTC telah mengintroduksi program kepatuhan sejak awal tahun 2001 dengan mengandeng Kamar Dagang di sana. Pada pertengahan tahun 2001, KFTC membuat kode perilaku (code of conduct) terkait program kepatuhan ini. Program ini segera menarik banyak peminat, walaupun banyak di antaranya dilatarbelakangi oleh motif sekadar ingin memperoleh insentif. Sesuatu yang cepat disadari sebagai anomali dan segera dievaluasi oleh KFTC.
Untuk membuat program kepatuhan ini sampai pada tujuannya, KFTC lalu merancang dengan serius Rules on Operation of Fair Trade Compliance Programs, Offering of Incentives, etc. yang diberlakukan pada tanggal 24 Oktober 2008. Menurut aturan ini, ada delapan persyaratan bagi perusahaan yang ingin secara sukarela mengadopsi program kepatuhan tersebut. Delapan persyaratan ini dijelaskan secara komprehensif, tetapi terbilang masih abstrak, sehingga setiap perusahaan harus mendetailkan lagi dan menguji coba program kepatuhannya, disesuaikan dengan lingkungan manajerial masing-masing perusahaan. Delapan persyaratan yang dimaksud mencakup: (1) penyusunan dan penegakan kriteria dan prosedur untuk program kepatuhan, (2) komitmen CEO dan dukungannya untuk kepatuhan itu, (3) penunjukan pejabat kepatuhan yang bertanggung jawab atas pengoperasian program kepatuhan, (4) pengembangan dan penggunaan manual kepatuhan, (5) pelaksanaan pelatihan kepatuhan yang berkelanjutan dan sistematis, (6) pembentukan sistem pemantauan internal, (7) sanksi terhadap karyawan yang melanggar undang-undang di bidang persaingan usaha, dan (8) evaluasi efektivitas dan langkah-langkah untuk perbaikan.
Apabila perusahaan memandang telah siap dengan semua persyaratan itu, ia dipersilakan mengajukan permohonan untuk dievaluasi oleh KFTC. Evaluasi memotret perjalanan program kepatuhan yang sudah diadopsi oleh perusahaan itu selama lebih dari satu tahun. Komisi menggunakan rujukan pada tujuh faktor penilaian, mencakup: (1) klarifikasi kemauan dan kebijakan kepatuhan diri oleh CEO perusahaan; (2) bantuan personel dan anggaran dari eksekutif, termasuk penunjukan petugas kepatuhan di perusahaan, (3) penerbitan dan pendistribusian buklet kepatuhan diri; (4) pendidikan dan pelatihan program kepatuhan, (5) pengoperasian sistem pemantauan kepatuhan diri, (6) sanksi terhadap eksekutif dan karyawan yang melanggar undang-undang dan menjalankan sistem insentif, dan (7) evaluasi dan peningkatan operasi program kepatuhan. Tampaknya, faktor nomor tujuh ini adalah kuncinya, dalam arti KFTC akan memperoleh kepastian apakah perusahaan tadi memang telah membuat kemajuan-kemajuan yang berarti, sehingga budaya kepatuhan di perusahaan itu benar-benar diprogramkan dengan baik dan berkelanjutan. Atas dasar tujuh faktor yang dievaluasi tadi, KFTC akan menetapkan hasil akhir berupa peringkat tertentu untuk perusahaan tadi. Saat ini terdapat enam peringkat, yaitu AAA (Outstanding), AA (Good), A (Fairly Good), B (Intermediate), C (Poor), dan D (Very Poor).
Sistem pemeringkatan merupakan penyempurnaan dari model insentif sebelumnya, yang membuat banyak perusahaan mengajukan diri untuk dievaluasi secara asal-asalan demi mengejar insentif. Sejak tahun 2002 sampai 2006, insentif yang diberikan berupa pengurangan denda administratif, dan pengecualian dari tuduhan atau kewajiban untuk mempublikasikan catatan pelanggaran antimonopoli mereka di masa lalu. Untuk mencegah perusahaan yang berburu insentif itu, KFTC kemudian memperkenalkan sistem pemeringkatan kepatuhan dan memberi insentif berdasarkan peringkat masing-masing. Perusahaan yang menerima peringkat A atau lebih tinggi akan diberikan insentif, seperti pengecualian dari investigasi ex-officio (penyelidikan atas dasar pemantauan, bukan karena laporan), pengurangan dan pengecualian perintah publikasi, dan pemberian sertifikasi. Kata “sertifikat” memang disebutkan di sini, tetapi tidak ditemukan elaborasi seperti apa wujudnya. Saya menduga sertifikat ini ada kaitannya dengan penghargaan bagi pimpinan perusahaan yang berhasil mempertahankan peringkat tertinggi perusahaaannya selama beberapa tahun berturut-turut.
Patut dicatat juga, bahwa KFTC dapat pula menangguhkan atau mengecualikan penetapan peringkat bagi perusahaan yang berisiko menghambat kewajaran dan kredibilitas program kepatuhan ini. Sebagai contoh, ada sebuah perusahaan telah dievaluasi dan mendapat peringkat A, tetapi saat ini ia sedang diselidiki karena melanggar hukum persaingan. Pengumuman pemeringkatan dan insentifnya akan ditunda hingga proses perkaranya selesai. Jika dalam perkara itu ia dinyatakan melanggar hukum persaingan, maka peringkat awalnya akan diturunkan satu peringkat (menjadi B), atau diturunkan dua peringkat (menjadi C) jika ia dijatuhi denda.
Beberapa Catatan
Catatan singkat di bawah ini dibuat dari hasil penglihatan kita atas upaya KFTC menjalankan program kepatuhannya. Tidak ada salahnya apabila komisi-komisi serupa, termasuk KPPU di Indonesia, dapat belajar dari pengalaman KFTC tersebut.
Dengan berkaca pada KFTC, pertama-tama kita dapat menyimpulkan bahwa insentif tidak boleh dipakai untuk mengaet perusahaan agar sebanyak mungkin berpartisipasi dalam program kepatuhan. Statistik dari KFTC memperlihatkan kecenderungan perusahaan yang mengajukan permohonan untuk dievaluasi ternyata makin menurun jumlahnya dari tahun ke tahun. Hal ini tidak membuat KFTC berkecil hati karena mereka mengejar kualitas, bukan kuantitas. Tabel di bawah ini memperlihatkan, bahwa pada tahun 2006 terdapat 60 perusahaan yang mengajukan permohonan untuk dievaluasi (hanya enam perusahaan mendapat peringkat AA, dan 17 mendapat peringkat A). Pada tahun 2020, hanya terdapat tujuh perusahaan yang mengajukan permohonan serupa (dengan hasil masing-masing satu perusahaan mendapat peringkat AAA, AA, dan A). Artinya, mayoritas dari perusahaan yang mengajukan permohonan untuk dievaluasi, mendapat peringkat di bawah A. Oleh karena perusahaan-perusahaan yang berminat mengajukan permohonan itu dapat mengukur dirinya sendiri terlebih dulu, maka mereka biasanya akan ekstra-berhati-hati untuk tidak gegabah mengajukan diri sebelum yakin benar-benar dapat memperoleh peringkat tinggi. Mereka tidak ingin pengajuan diri untuk dievaluasi justru berbuah menjadi bumerang dan dapat merugikan citra perusahaan. Lain halnya jika yang menjadi motif adalah sekadar mengejar insentif, misalnya mendapat diskon denda. Dengan motif seperti ini, Komisi hanya akan “kebanjiran” permohonan yang tidak serius dan membuang-buang energi jika proses evaluasinya dilanjutkan.
Hal lain yang patut dicatat adalah soal biaya. Dalam dokumen yang dirilis oleh OECD, isu tentang biaya ini sempat disinggung. Ternyata KFTC pernah dikritik karena biaya evaluasi ini terbilang cukup mahal. Hal itu mungkin tidak menjadi masalah bagi perusahaan besar, tetapi tidak demikian halnya dengan perusahaan kecil dan menengah. Oleh sebab itu, KFTC lalu memutuskan, khusus untuk perusahaan kecil dan menengah, biaya evaluasi ditanggung sepenuhnya oleh KFTC. Hal ini juga perlu menjadi perhatian komisi-komisi serupa di berbagai negara. Program kepatuhan tidak boleh menjadi program yang eksklusif hanya bagi pelaku usaha yang mampu membayar. Jika hal ini tidak diberi perhatian, dikhawatirkan program kepatuhan malahan menjadi praktik layanan yang diskriminatif terhadap para pelaku usaha.
Biaya yang dibebankan di area kerja Komisi tentu dapat ditekan apabila evaluasi mandiri sudah dilakukan sebelumnya secara intens oleh perusahaan itu sendiri. Dengan demikian, penyusunan program kepatuhan di internal perusahaan tidak harus buru-buru dilakukan karena di dalamnya ada proses internalisasi untuk sekaligus memastikan terdapat kemajuan dari waktu ke waktu selama kurun waktu lebih dari satu tahun berjalan. Hal ini penting agar semangat mendukung iklim persaingan usaha yang sehat benar-benar menjadi budaya di perusahaan itu. Jika sudah menyelesaikan tahap ini, silakan perusahaan mengajukan permohonan untuk dievaluasi oleh Komisi. Artinya, kesiapan perusahaan untuk dievaluasi, sudah diketahui melalui evaluasi mandiri terlebih dulu. Senyampang sebuah perusahaan belum yakin betul bakal mampu memperoleh peringkat minimal A, maka ia sebaiknya menunda dulu pengajuan permohonannya.
Persoalan lain yang juga perlu diberi perhatian terletak pada proses penyusunan program kepatuhan di internal perusahaan. Apakah di dalam proses ini Komisi perlu ikut terlibat? Jika ya, apakah ia harus melakukannya sendiri atau dapat mendelegasikan kepada pihak ketiga?
Untuk mencegah munculnya konflik kepentingan, maka idealnya komisi tidak perlu memaksakan diri untuk terlibat di dalam proses tersebut. Ini tentu saran yang ideal. Biarlah perusahaan itu sendiri yang memutuskan apa yang harus dilakukan dalam penyusunan ini, termasuk mengimplementasikannya dulu dalam beberapa waktu guna melihat kemajuannya. Semua itu dicatat sebagai portfolio asessment untuk nanti dijadikan dokumen guna dievaluasi oleh Komisi. Apabila Komisi sejak awal sudah ikut berperan terlalu jauh, proses evaluasi nanti dikhawatirkan tidak lagi objektif. Belum lagi jika Komisi harus menilai sejumlah perusahaan secara bersama-sama dalam satu periode evaluasi dan mendapati ada perusahaan yang melibatkan Komisi dalam penyusunan dan ada yang tidak melibatkan Komisi. Pada akhirnya, Komisi akan tersandera dengan konflik kepentingan.
Di dalam penyusunan program kepatuhan tersebut, memang dipersyaratkan ada pelatihan-pelatihan yang berkelanjutan. Di sini terselip pintu masuk bagi Komisi untuk terlibat langsung. Komisi dapat menghindarkan diri dari konflik kepentingan apabila kegiatan pelatihan itu memang dirancang secara inklusif. Misalnya saja, Komisi memiliki program pelatihan rutin bekerja sama dengan kamar dagang atau asosiasi pelaku usaha terkait. Peserta pelatihan terbuka untuk diikuti berbagai perusahaan. Biayanya dapat mereka tanggung bersama-sama, sehingga tidak terkesan Komisi hanya melayani satu perusahaan tertentu saja. Sangat mungkin dalam program pelatihan ini Komisi juga mengemas desain dan model pelatihannya, sehingga materi menjadi agak teknis. Untuk itu Komisi dapat meminta bantuan fasilitator dari para ahli atau praktisi di area bisnis yang relevan dengan peserta pelatihan. Contoh-contoh pelanggaran atau potensi pelanggaran yang dibahas, bakal menjadi lebih spesifik dan mendekati kebutuhan peserta. Dengan demikian, program pelatihan pada satu seri dengan seri lainnya akan bervariasi. Keterlibatan Komisi tidak melulu berurusan dengan isu-isu normatif. Pada kesempatan pelatihan ini, strategi penyusunan program kepatuhan di internal perusahaan juga diuraikan secara terbuka kepada para peserta agar dapat langsung diimplementasikan. Namun, Komisi atau pejabat/staf di lingkungan Komisi harus tahu diri pada batas mana ia perlu menjaga jarak agar tidak berubah menjadi “konsultan pribadi” untuk perusahaan-perusahaan tertentu.
Jadi, prinsipnya Komisi perlu transparan dalam keterlibatannya pada proses tersebut agar posisi berdirinya tetap dihormati. Komisi harus menjaga reputasi di dalam menjalankan program kepatuhan ini, sehingga siapapun yang mendapatkan hasil evaluasi Komisi, memiliki kebanggaan untuk menyandang predikat tersebut.
Untuk itu, Komisi sangat diharapkan tidak sekali-kali mendelegasikan kepada pihak ketiga atas apa yang seharusnya menjadi bagian dari tugas keterlibatannya. Ini berarti, Komisi jangan sampai menunjuk atau memberi legitimasi kepada asosiasi pelaku usaha, profesional tertentu, kantor hukum, atau kantor konsultan tertentu, untuk menjalankan program-program pelatihan yang secara otoritatif mengatasnamakan Komisi. Sebuah institusi resmi negara, apapun dan di manapun, tidak boleh berlabel seperti “penjual lisensi,” terlepas hal itu hanya sebatas kegiatan pelatihan. Jika hal itu dilakukan, maka semua konstruksi yang ingin dibangun untuk menjadikan program kepatuhan ini berjalan secara transparan, inklusif, objektif, tanpa konflik kepentingan, yang diharapkan hasilnya bakal berwibawa dan dihormati, dipastikan akan sia-sia. Apabila program dan produk dari sebuah komisi sudah tidak dihormati, maka dipastikan juga imbas yang sama segera tertuju pada institusinya. (***)