MENCARI FORMAT UNTUK PROGRAM KEPATUHAN KPPU
Pada tanggal 5 Juli 2024, bertempat di Sekretariat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Jakarta, dilangsungkan focus group discussion (FGD) yang melibatkan sejumlah narasumber. Dosen Jurusan Hukum Bisnis BINUS Shidarta diminta menjadi salah satu di antaranya, mendiskusikan program kepatuhan yang saat ini sedang berjalan di KPPU. Sebagian narasumber memberikan masukan secara daring.
FGD tentang program kepatuhan ini diadakan pada sesi kedua, mulai pukul 13:00 wib. Selain Shidarta, para narasumber yang lain terdiri dari Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.Li. (USU), Dr. Ir. H, Sutrisno Iwantono, M.A. (Aspindo), Prof. Dr. Sukarmi, S.H., M.Hum. (UB), Dr. Siti Anisah, S.H., M.Hum. (UII), dan Dr. Reni Budi Setianingrum, S.H., M.Kn. (UMY). Mereka secara umum memberi apresiasi terhadap program ini, tetapi ingin agar program ini tetap sejalan dengan ekspektasi semula, yaitu sejak awal menanamkan kepedulian terhadap persaingan usaha yang sehat.
Shidarta dalam kesempatan tersebut menyampaikan enam catatan. Ia menyinggung perlunya dipertimbangkan KPPU membuat panduan program kepatuhan yang lebih spesifik untuk potensi pelanggaran tertentu. Jika programnya terlalu umum, maka belum tentu menjangkau kebutuhan pelaku usaha yang bergerak dalam bidang usaha berbeda-beda. Misalnya, ada pelaku usaha yang menaruh perhatian pada isu tender karena perusahaan itu menilai pada sisi inilah potensi pelanggaran yang tertinggi. Dengan demikian, ia dapat minta untuk dievaluasi dari sisi ini secara mendalam. Demikian juga bagi perusahaan yang berada dalam posisi dominan, mungkin akan lebih menaruh perhatian pada potensi penyalahgunaan posisi dominan. Pelaku usaha akan membuat program kepatuhan terlebih dulu dengan penekanan pada potensi pelanggaran yang dihadapi, untuk kemudian dievaluasi oleh KPPU. Evaluasi menyangkut “good practices” yang dijalankan oleh pelaku usaha itu. Jadi, bukan baru berupa komitmen.
Kedua, ia menyoroti berapa lama waktu untuk mengevaluasi ini. Jika maksimal diberi waktu 30 hari kerja, maka kemungkinan waktu ini tidak mencukupi. Di beberapa negara, otoritas persaingan usahanya tidak diberi koridor waktu, sehingga mereka dapat lebih leluasa melakukan penilaian. Hal ini penting terutama jika berhadapan dengan pelaku usaha yang memiliki potensi pelanggaran tinggi. KPPU perlu untuk mencari tahu apakah dalam kurun waktu yang sudah berjalan, perusahaan itu sudah melakukan upaya yang cukup dan ada dampaknya terhadap perubahan perilaku di internal perusahaan tersebut.
Hal ketiga yang disoroti adalah tentang transparansi biaya. Shidarta mengatakan, jika KPPU berkeinginan agar program ini dapat menjangkau sebanyak mungkin pelaku usaha, maka harus ada kejelasan ada atau tidak biaya yang dibebankan ke pelaku usaha. Mohammad Reza, S.H., M.H., komisioner KPPU yang menjadi moderator dalam acara FGD ini menyampaikan bahwa KPPU sendiri tidak memungut biaya apapun dalam keseluruhan proses program kepatuhan ini, tetapi ia mengatakan tentu saja ada biaya yang dikeluarkan oleh pelaku usaha dalam rangka menyiapkan dokumen dan lain-lain. KPPU ternyata dapat diminta untuk memberikan sosialisasi dan pendampingan dalam tahap ini, sehingga harus juga dipaparkan ada tidaknya biaya sosialisasi dan pendampingan itu.
Hal keempat adalah tentang sentencing credit. Isu ini sudah juga disinggung oleh para narasumber yang lain. Misalnya, ada yang mempertanyakan mengapa pelaku usaha yang sudah membuat komitmen dan berjanji kepada KPPU untuk menaatinya, tetapi ternyata melanggar, justru diberi keringanan, dan bukan sebaliknya. Shidarta mencatat agar terkait soal ini, agar sentencing credit tidak dipakai sebagai “gula-gula” untuk menarik pelaku usaha mengikuti program ini. Iktikad baik pelaku usaha untuk dengan kesadaran sendiri mengikuti program kepatuhan inilah yang harus diberi penghargaan.
Kelima, terkait penggunaan sertifikat kepatuhan. Walaupun KPPU tidak pernah menyinggung adanya sertifikat bagi pelaku usaha yang sudah memperoleh penetapan memenuhi syarat dari program ini, dalam kenyataannya sejumlah perusahaan memang diberi sertifikat ini. Hal ini dapat menimbulkan kesalahpahaman bahwa seolah-olah KPPU menyelenggarakan program sertifikasi. Hal yang paling mengkhawatirkan adalah apabila pelaku usaha menyalahgunakannya, sehingga muncul misleading representation.
Terakhir, Shidarta mengajak KPPU untuk mempertimbangkan adanya model lain yang dapat memperkaya penerapan program kepatuhan ini. Misalnya, dengan bekerja sama dengan asosiasi pelaku usaha dan akademisi di berbagai perguruan tinggi, dapat dirancang indeks kepatuhan yang kemudian menjangkau seluruh anggota suatu asosiasi. Hasil akhirnya berupa pemeringkatan. Pelaku usaha yang masih berada di peringkat rendah didorong untuk naik ke peringkat lebih tinggi, dan pelaku usaha di tingkat tinggi dapat mempertahankan statusnya. (***)
Published at :