FGD PERSAINGAN USAHA DI KPPU: MEDIASI DAN SERTIFIKASI KEPATUHAN IKUT DIBAHAS
Pada tanggal 22 Mei 2024, bertempat di Ruang Sidang Kodrat Wibowo Gedung KPPU Jakarta, berlangsung focus group discussion (FGD) yang menghadirkan sejumlah narasumber dan semua anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Salah satu narasumber yang diundang adalah dosen Jurusan Hukum Bisnis BINUS, Shidarta. Narasumber yang lain adalah Prof. Ningrum Natasya Sirait (FH USU), Prof. Ine Minara S. Ruky (FEB UI), Hakim Agung Syansul Ma’arif, dan Sutrisno Iwantono (Ketua Kebijakan Publik Apindo). Dua narasumber yang disebutkan terakhir adalah juga mantan Komisioner KPPU.
Acara dibuka oleh Ketua KPPU Dr. Ir. M. Fanshurullah Asa, S.T., M.T., IPU., didampingi oleh Wakil Ketua Aru Armando, S.H., M.H. Selain para anggota KPPU yang lain, pertemuan juga diikuti oleh pejabat dari Biro Hukum di bawah pimpinan Manaek S.M. Pasaribu, S.H., LL.M.
Shidarta pada kesempatan tersebut diminta memberikan paparan tentang dua isu, yaitu tentang mediasi dalam program kemitraan UMKM dan sertifikasi kepatuhan bagi pelaku usaha. Mediasi adalah peran yang sudah dijalankan oleh KPPU sebagai wujud dari kewenangan yang diberikan melalui UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Shidarta menekankan bahwa Pasal 36 dari undang-undang ini ingin agar pengawasan atas pelaksanaan kemitraan ini dilakukan oleh KPPU secara tertib dan teratur. Kata “tertib dan teratur” menunjukkan bawah peran pengawasan ini tidak boleh dijalankan secara sporadis. Bukan berarti begitu ada sengketa, baru KPPU muncul untuk melakukan mediasi. Untuk itu, harus ada kejelasan tentang apa peran yang tepat bagi KPPU guna menjalankan pengasan yang tertib dan teratur itu.
Di sisi lain, mediasi sendiri sebenarnya tidak didesain sebagai tugas KPPU. Pasal 48 undang-undang ini menganamatkan tugas ini justru kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Hanya saja, tata caranya masih perlu diatur lebih lanjut. Pasal 119 dari UU UMKM secara eksplisit menyebut KPPU adalah lembaga yang membuat aturan pengawasan kemitraan ini, tetapi pelaksanaan pengawasan dan evaluasinya “dapat” dilakukan oleh kementerian atau lembaga nonkementerian terkait dengan KPPU. Bagaimana jika terjadi perkara? Menurut Pasal 123, lagi-lagi KPPU yang diberi kewenangan untuk membuat aturan penanganan perkaranya (Pasal 123).
Sutrisno Iwantono menjelaskan bahwa gagasan untuk melibatkan KPPU dalam kemitraan ini memang diusulkan oleh KPPU sendiri pada era ketika ia menjabat sebagai komisioner KPPU. Intinya, keberadaan pelaku usaha besar dalam kemitraan dengan UMKM ini perlu didorong. Tidak boleh sampai KPPU membuat kebijakan yang justru menjauhkan pelaku usaha besar dari UMKM karena dibayangi kekhawatiran akan ada penindakan yang merugikan mereka. Tetapi lagi-lagi, core business dari KPPU sebenarnya tidak di sini karena bakal bersinggungan dengan kementerian atau lembaga lain yang memang sudah diberikan kewenangan untuk melakukan tugas itu. Ningrum Natasya Sirait bahkan meminta agar KPPU harus membagi domain perhatiannya, bahwa 75 persen harus tetap ada di area penegakan hukum persaingan usaha.
Jika menilik pada format perjanjian kemitraan, Shidarta menyatakan bahwa akses KPPU untuk masuk sebagai mediator dalam sengketa kemitraan sangat bergantung pada isi klausula perjanjian kemitraan yang dibuat oleh pelaku usaha besar dan mitra UMKM-nya. Jika KPPU tidak ditunjuk sebagai choice of forum oleh para pihak (sesuatu yang terbilang belum lazim ditemukan dalam berbagai perjanjian kemitraan), maka KPPU sebenarnya tidak dapat masuk begitu saja untuk memediasi suatu perkara.
Bagaimana jika ide untuk melibatkan KPPU ini baru muncul kemudian setelah timbul perkara? Di sini juga harus dicermati apakah pelibatan KPPU itu disetujui oleh semua pihak, atau hanya sebagian pihak saja. Hal ini mungkin terjadi karena UMKM yang diajak dalam suatu kemitraan, jumlahnya dapat sangat banyak. Alhasil, efektivitas penanganan perkara akan ikut terpengaruh jika tidak melibatkan semua pemangku kepentingan.
Shidarta mengingatkan bahwa proses mediasi ini tidak perlu dipaksakan untuk diintegrasikan dengan proses penanganan perkara menurut versi UU No. 5 Tahun 1999 karena ia ada dalam pijakan aturan berbeda. Ia mengibaratkan KPPU memiliki dua kaca mata dalam menjalankan amanat UU No. 5 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2008. KPPU tidak harus memaksakan agar area pengawasan dan evaluasi kemitraan ini beririsan dengan area penegakan hukum persaingan usaha.
Proses mediasi yang berhasil akan bermuara pada dibuatnya perjanjian perdamaian. Selalu ada kemungkinan mediasi gagal mencapai perjanjian perdamaian. Syamsul Ma’arif ikut mengingatkan agar mediasi yang gagal tidak boleh lalu membuat pelaku-pelaku usaha itu dipersalahkan.
Terkait isu sertifikasi kepatuhan, Shidarta menyadari bahwa KPPU ingin menunjukkan komitmen untuk mengubah perilaku pelaku usaha dengan melakukan pencegahan, bukan hanya penindakan administratif. Kendati demikian, harus ada kejelasan apakah “sertifikat” yang diberikan sekarang ini adalah sebuah bukti pencapaian atas kepatuhan yang sudah dilakukan (sebagaimana terpotret sampai saat ini) atau baru berupa deklarasi komitmen kepatuhan pelaku usaha yang didukung dan akan diawasi pelaksanaan oleh KPPU untuk lima tahun ke depan, atau mencakup keduanya sekaligus. Kejelasan makna “sertifikat” di atas harus konsisten dengan mekanisme penetapan sertifikatnya, antara lain tata cara pengumpulan data/informasi, proses verifikasi data/informasi, dan fasilitas yang bakal diberikan sebagai buah dari penetapan sertifikat tersebut. Saat ini, misalnya, KPPU menjanjikan akan memberikan keringanan sanksi bagi semua pelaku usaha yang sudah mendaftarkan diri sebagai pelaku usaha yang ingin disertifikasi. Ini berarti KPPU perlu mencermati motif pelaku usaha dalam memanfaatkan “sertifikat” yang diberikan agar reputasi KPPU juga tetap terjaga baik. Ia memberi catatan tentang seberapa program ini akan mampu menjangkau para pelaku usaha pada umumnya, sehingga program ini tidak menjadi program eksklusif. Lalu seberapa besar potensi timbulnya “misrepresentasi” yang menyesatkan masyarakat akibat penggunaan sertifikat tadi oleh pelaku usaha tertentu. (***)