People Innovation Excellence

MENGENAL PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Oleh AHMAD SOFIAN (Mei 2024)

Secara doktrin tindak pidana pencucian uang memiliki dua komponen yaitu tindak pidana asal (predicate crime) dan tindak pidana lanjutan (follow up crime). Inilah yang membuat unik tindak pidana pencucian uang ini  dan menimbulkan kesulitan dalam proses pembuktiannya. Kedua komponen delik tersebut harus bisa dibuktikan sehingga seseorang atau korporasi bisa ditetapkan sebagai pelaku  tindak pidana pencucian uang.  Dua komponen tindak pidana pencucian uang ini tentu saja berbeda dengan  doktrin  perbarengan yang juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam doktrin perbarengan, ada dua atau lebih tindak pidana yang dilakukan subjek hukum, atau satu tindak pidana yang dilakukan oleh subjek hukum, namun diatur dalam lebih dari satu ketentuan atau norma hukum pidana. Sementara itu, dalam tindak pidana pencucian uang dua komponen perbuatan yang dilarang tersebut merupakan satu kesatuan yang harus dibuktikan secara bersama-sama.

Sering terjadi perdebatan apakah tindak pidana asalnya lebih dahulu dibuktikan selanjutnya baru tindak pidana lanjutan. Dalam pendapat hukum ini saya akan menjelaskan tentang kedunya, dan tentang proses pembuktiannya mengacu pada Undang-Undang  Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Nomor 25 Tahun 2002   kemudian direvisi  terakhir kali melalui UU No. 8 Tahun 2010.

Pengaturan

Dalam ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang disebutkan bahwa pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang tersebut. Dalam pengertian ini, unsur-unsur yang dimaksud adalah unsur pelaku, unsur perbuatan melawan hukum serta unsur merupakan hasil tindak pidana. Karena telah dibuatnya ketentuan bahwa tindak pidana pencucian uang di Indonesia adalah kejahatan ganda maka dalam tindak pidana pencucian uang terdiri dari predicate offence (kejahatan asal) dan pencucian uang sebagai follow up crime (kejahatan lanjutan), maka dalam UU ini telah diatur ketentuan mengenai tindak pidana asal beserta jenis-jenis hasil tindak pidana yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1).

Selanjutnya tindak pidana ini juga dibagi dalam 2 (dua) tipe jenis pelaku, yaitu pelaku aktif dan pasif. Yang dimana tipe-tipe tersebut diatur di dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, dengan adanya pembagian tipe pelaku ini, memudahkan penegak hukum dalam memberikan pertanggungjawaban hukum kepada setiap orang yang melakukan dan menikmati tindak pidana pencucian uang. Lalu, tidak hanya pengaturan tentang perseorangan namun UU TPPU ini juga mengatur tentang pengaturan korporasi yang terlibat dalam TPPU yang diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 9. Hal ini berarti dalam ketentuan UU TPPU ini antara korporasi dan perseorangan unsur delik dan pidananya dibedakan.

Pencucian uang diatur di dalam Pasal 3, 4, dan 5  UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang berbunyi:

Pasal 3

Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Penjelasan singkat: Dalam pasal ini yang hendak dipidana adalah pelaku aktif yang melakukan perbuatan uang memindahkan uang hasil tindak pidana ke tempat lain yang bentuk pemindahan ini sangat beragam.

Pasal 4

Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)

Penjelasan singkat : Dalam pasal ini yang hendak dipidana adalah pelaku aktif yang menyamarkan atau mengaburkan asal usul tindak pidana pencucian uang

Pasal 5

(1) Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini.

Penjelasan singkat : Dalam pasal ini yang hendak dipidana adalah pihak ketiga yang menerima hasil dari tindak pidana pencucian uang dari pelaku tindak pidana pencucian uang. Disebut juga dengan pelaku pasif

Tindak pidana pencucian uang terdapat karakteristik khusus yang membedakan dengan tindak pidana yang lain yaitu bahwa tindak pidana pencucian uang  dua komponen yaitu tindak pidana asal (predicate offence/predicate crime) dan tindak pidana lanjutannya (follow up crime).   Maka sebenarnya harus dipahami suatu prinsip bahwa tidak mungkin ada pencucian uang tanpa terjadi predicate offence. Sistem hukum Indonesia mengenal istilah predicate crime dan follow up crime dalam pola pencucian uang, yang dapat dijabarkan seperti:

  • Predicate offence adalah Pemanfaatan yang hasilnya dilakukan atau diproses pencucian uang, yang dalam UUTPPU diatur dalam Pasal 2 yaitu terdiri dari 23 jenis kejahatan dan ditambah semua kejahatan yang ancaman pidananya 4 tahun ke atas.
  • Follow up crime adalah kejahatan selanjutnya, setelah kejahatan asal dilakukan dengan maksud menghilangkan jejak hasil kejahatan seolah-olah hasil kejahatan menjadi legal.

Tindak Pidana Asal dan Tindak Pidana Lanjutan

Menurut Ahli hukum pencucian uang, Yenti Garnasih menjelaskan bahwa ada dua elemen penting dalam delik tindak pidana pencucian uang, yaitu pertama tindak pidana asal (predicate crime) yang menghasilkan sejumlah harta kekayaan dan kedua tindakan pidana lanjutan (follow up crime) yaitu kejahatan menikmati hasil kejahatan asal, perbuatan yang dilakukan selanjutnya setelah kejahatan asal terjadi.

Tindak Pidana asal dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang diatur dalam Pasal 2 yaitu :

Pasal 2

(1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:

  1. Korupsi;
  2. Penyuapan;
  3. Narkotika;
  4. Psikotropika;
  5. Penyelundupan tenaga kerja;
  6. Penyelundupan migran;
  7. Di bidang perbankan;
  8. Di bidang pasar modal;
  9. Di bidang perasuransian;
  10. Kepabeanan;
  11. Cukai;
  12. Perdagangan orang;
  13. Perdagangan senjata gelap;
  14. Terorisme;
  15. Penculikan;
  16. Pencurian;
  17. Penggelapan;
  18. Penipuan;
  19. Pemalsuan uang;
  20. Perjudian;
  21. Prostitusi;
  22. Di bidang perpajakan;
  23. Di bidang kehutanan;
  24. Di bidang lingkungan hidup;
  25. Di bidang kelautan dan perikanan; atau
  26. Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

(2) Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.

Dalam follow up crime, pelaku tindak pidana pencucian uang menempatkan, atau memindahkan atau mentransfer atau menyimpan hasil kejahatan kepada aktor lain (pihak ketiga). Aktor  ini bisa saja bank, perusahaan asuransi, perusahan investasi, toko emas, perusahaan perumahan atau malah sebuah badan wakaf. Dalam konteks ini, maka untuk bisa menakar pertanggungjawaban pidana pihak aktor ini, rujukan utamanya adalah Undang- Undang  Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Nomor 25 Tahun 2002   kemudian direvisi  terakhir kali melalui UU No. 8 Tahun 2010. Dalam UU versi revisi, disebutkan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan pelaku tindak pidana pada pihak ketiga, maka cukup dengan “patut menduga” bahwa uang hasil kejahatan berasal dari uang haram (hasil tindak pidana pencucian uang). Unsur “patut diduga” merupakan salah satu satu unsur subjektif yang melekat pada pihak ketiga yang terlibat dalam tindak pidana pencucian uang sebagai pelaku peserta (ajaran penyertaan). Terlibatnya pihak ketiga ini merupakan wujud dari komponen follow up crime dalam tindak pidana pencucian uang.

Ada banyak kesulitan  dalam mengukur atribusi pertanggungjawaban follow up crime pihak ketiga. Salah satu kesulitan ini terutama untuk memberikan tafsir unsur “patut diduga”, bahwa uang tersebut berasal dari tindak pidana pencucian uang. Tafsir yang diberikan atas unsur “patut diduga” sangat variatif dan bias. Sebagaimana diketahui dalam konteks kesalahan, maka hanya ada dua jenis yaitu kesengajaan dan kelalaian. Pertanyaannya apakah “patut diduga” masuk dalam kategori “sengaja” atau “lalai” atau malah bisa ditafsirkan keduanya? Oleh karena itu, dalam penegakan hukum pencucian uang yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam konteks follow up crime, sedikit sekali kasus yang dibawa ke pengadilan. Penegak hukum memberikan tafsir “patut diduga” sebagai kesengajaan, artinya jika pihak ketiga benar-benar tidak mengetahui bahwa uang yang diterimanya merupakan hasil pencucian uang, maka dia hanya diminta mengembalikan uang tersebut. Pengembalian uang ini pun, adakalanya tanpa dibuktikan lebih dahulu tindak pidana asalnya.

Namun secara luas, definisi tinjauan pengertian mengenai follow up crime sendiri memang tidak secara universal diungkapkan secara terminologi dalam hukum, terminologi tersebut hanya ada pada elemen dalam tindak pidana pencucian uang yaitu predicate crime dan follow up crime (tindak pidana lanjutan), dan dua elemen ini hanya ada dalam penjelasan doktrin-doktrin. Follow up crime sendiri dapat dikatakan sebagai perbuatan kejahatan menikmati kejahatan lanjutan, kejahatan lanjutan ini dapat dilakukan oleh pelaku aktif dan pelaku pasif. Pelaku aktif sendiri yang melakukan perbuatan memindahkan kejahatan asal, sedangkan pelaku pasif adalah pelaku atau pihak ketiga yang melakukan perbuatan pencucian uang tersebut.

Pembuktian dan Alat Bukti

Dalam tindak pidana pencucian uang sering diperdebatkan soal pembutian, apakah pembuktian dilakukan pada tindak pidana asalnya lebih dahulu setelah itu baru dibuktikan tindak pidana lanjutannya. atau apakah pembuktian tidak harus membuktikan tindak pidana asalnya, sepanjang ditemukan dugaan tindak pidana lanjutan. Pertanyaan seperti ini telah terjawab dalam Pasal 69 UU No. 8 tahun 2010 yang berbunyi :

Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.”

Pasal 69 UU No. 8 tahun 2010 tersebut adalah terkait dengan proses pembuktian, artinya untuk menyatakan ada atau tidak nya tindak pidana pencucian uang dalam satu peristiwa pidana maka, tindak pidana asal tidak harus dibuktikan keberadaannya lebih dahulu. Proses pembuktian berbeda dengan proses penetapan tersangka, karena dalam proses penetapan tersangka tetap mengacu pada Pasal 184 KUHAP Juncto Putusan Mahkamah Konsitusi No. 21/PU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 Juncto Peraturan Mahkamah Agung No. 4 tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan.

Dalam ketiga sumber hukum yang disebutkan di atas untuk syahnya penetapan tersangka maka penyidik wajib memiliki dua alat bukti yang sah berdasarkan Pasal 184 KUHAP. Jika penyidik tidak memiliki minimal  2 alat bukti yang sah, maka penetapan tersangka tersebut dalam diuji di Lembaga praperadilan. Jadi untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam pasal 3,4, dan 5 UU 8 tahun 2010 maka dua alat bukti yang sah harus dimiliki oleh penyidik yang meliputi : (1) keterangan saksi, (2) surat/document, (3) keterangan ahli, (4) petunjuk dan (5) keterangan terdakwa. Dalam tingkat penyidikan alat bukti yang didasar adalah pada (1) keterangan saksi, (2) surat/document (3) keterangan ahli, sedangkan petunjuk dan keterangan terdakwa hanya ditemukan dalam pemeriksaan pokok perkara.

Dalam Pasal 2  ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 4 tahun 2016  menyebutkan :

Pemeriksaan praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara.

Dengan demikian tanpa adanya minimal 2 alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum di atas maka penetapan tersangka tindak pidana pencucian uang menjadi tidak sah. Oleh karena dalam tindak pidana pencucian uang ada dua kompenen tindak pidana yaitu tindak pidana asal (predicate crime) dan tindak pidana lanjutan (follow up crime), maka kedua element tersebut harus ada alat buktinya baru bisa seseorang ditetapkan sebagai tersangka.

Untuk memudahkan dalam memahami soal dua alat bukti dalam tindak pidana asal dan tindak pidana lanjutan (tindak pidana pencucian uangnya), maka digambarkan dalam tabel   berikut ini :


 

Model pengaturan pencucian tindak pidana uang Alat Bukti
Predicate Crime

kejahatan asal atau kejahatan utama yang dalam ini pelaku menghasilkan sejumlah  kekayaan yang diatur dalam Pasal 2 UU No. 8 Tahun 2010. Dan wajib ada dua alat bukti yang sah

 

Untuk menentukan adanya tindak pidana asal ini maka penyidik wajib memiliki 2 alat bukti yang sah, agar penetapan tersangka menjadi sah. Dan alat bukti tersebut harus bisa diperlihatkan dan diuji aspek formilnya sebagai alat bukti yang sah dalam sidang pra peradilan

 

Follow up Crime

kejahatan lanjutan untuk menikmati hasil kejahatan asal, yaitu sebagai perbuatan yang dilakukan selanjutnya setelah kejahatan asal terjadi dan disinilah yang disebut sebagai “money laundering” atau pencucian uang. Letak tindak pidana pencucian uang sebegai follow up crime menunjukan bahwa pengungkapan kejahatan ini dengan mengikuti, menelusuri aliran hasil kejahatan (follow the proceed of crime). Aturan ini pun diatur dalam UU TPPU No. 8 Tahun 2010 pada Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5. Maka disinilah muncul suatu pandangan bahwa dalam penerapan UU TPPU bukan saja mengungkap pelaku dan menangkapnya tetap justru strategi utamanya dengan menelusuri dana atau sering dikatakan follow the money. Dan diperlukan alat bukti yang sah

Dalam menentukan adanya tindak pidana lanjutan maka penyidik wajib memiliki minimal 2 alat bukti yang sah agar penetapan tesangka menjadi sah dan alat bukti tersebut harus bisa diperlihatkan dan diuji aspek formilnya sebagai alat bukti yang sah dalam sidang pra peradilan

 


 


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close