People Innovation Excellence

MEDIASI UNTUK PROGRAM KEMITRAAN UMKM

Oleh SHIDARTA (Mei 2024)

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga yang bertanggung jawab kepada Presiden, namun bersifat independen, dalam arti terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain. KPPU adalah lembaga yang secara khusus dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Demikianlah status yang disematkan kepada KPPU menurut Pasal 30 UU Nomor 5 Tahun 1999.

Jadi, sesuai namanya, KPPU adalah lembaga supervisi. Di sisi lain, ia sebenarnya juga merupakan lembaga adjudikasi dan pemberi rekomendasi. Dalam rangka menjalankan tugas-tugas itu, KPPU diberi kewenangan mengatur dirinya sendiri  (self-regulatory body), misalnya ia dapat membentuk peraturan KPPU mengenai tata cara penyampaian laporan dugaan pelanggaran. Ia juga dapat menjadi lembaga konsultansi, antara lain dalam rangka memberi masukan kepada pelaku-pelaku usaha yang berkomitmen ikut menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat. Kita memahami ini, misalnya, melalui program penetapan kepatuhan.

Di luar tugas dan kewenangan yang dicantumkan dalam UU No. 5 Tahun 1999, ternyata KPPU menerima tugas dan kewenangan baru, yaitu sebagai lembaga pengawas pelaksanaan kerjasama dalam keterkaitan usaha yang melibatkan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan pelaku usaha besar. Kerjasama ini dikenal sebagai kemitraan. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 36 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Ketentuan tersebut memang belum secara eksplisit menyebut KPPU, tetapi kita dapat menduga bahwa “lembaga yang dibentuk dan bertugas untuk mengawasi persaingan usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan” itu adalah KPPU. Penegasan tentang KPPU ini kemudian dieksplisitkan dalam peraturan perundang-undangan berikutnya.

Satu pertanyaan yang menarik adalah apakah kewenangan pengawasan yang dimaksud menurut Pasal 36 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2008 tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dengan pengawasan menurut UU Nomor 5 Tahun 1999? Pertanyaan ini harus dijawab dengan melihat filosofi dari keberadaan KPPU.

UU Nomor 5 Tahun 1999 dibentuk dengan dasar filosofis untuk menegakkan demokrasi dalam bidang ekonomi yang menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar. Filosofi ini sejalan dengan UU Nomor 20 Tahun 2008, yang menyatakan bahwa dalam rangka demokrasi ekonomi, UMKM perlu diberdayakan sebagai bagian integral ekonomi rakyat yang mempunyai kedudukan, peran, dan potensi strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional yang makin seimbang, berkembang, dan berkeadilan. Konsistensi pemikiran antara dua undang-undang tersebut tentu dapat menjadi landasan bagi KPPU untuk memainkan peran sebagai lembaga independen yang mengawasi persaingan usaha antara para pelaku usaha, termasuk di dalamnya pelaku usaha yang dikategorikan sebagai UMKM. Bahkan, keberadaan KPPU—guna ikut memperkuat posisi tawar UMKM berhadapan dengan pelaku usaha besar—merupakan keniscayaan. Seperti halnya konsumen, para pelaku usaha UMKM inipun cukup rentan untuk menerima nasib: “dua gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah.”

Tuntutan bagi KPPU untuk berperan sebagai lembaga pengawas di dalam kedua undang-undang itu sekilas sama, namun kita akan menemukan ada perbedaan signifikan tatkala kita berbicara tentang tugas-tugas yang termaktub di dalamnya, khususnya tugas dan kewenangan KPPU dalam melakukan adjudikasi. Perihal adjudikasi KPPU sangat ditonjolkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tetapi tidak pada UU Nomor 20 Tahun 2008 dan produk hukum turunannya. Kita mungkin melihat KPPU seperti memakai kaca mata dengan tipe gagang dari merek yang sama, tetapi sesungguhnya lensa kaca mata sebelah kiri dan kanannya berbeda. Sebagai contoh, kita dapat menggolongkan banyak bentuk kemitraan yang berpotensi lolos dari optik UU Nomor 5 Tahun 1999, sebagaimana dapat disimak dari ketentuan pasal “exceptions/exclusions/exemptions” (Pasal 50) undang-undang tersebut.

Kemitraan UMKM dengan pelaku usaha besar didasarkan pada adanya kerjasama, yang menurut Pasal 26 UU Nomor 20 Tahun 2008 menggunakan pola-pola inti-plasma, subkontrak, waralaba, perdagangan umum, distribusi dan keagenan, serta bentuk-bentuk kemitraan lain (bagi hasil, kerjasama operasional, usaha patungan, dan penyumberluaran). Kerjasama ini dituangkan dalam bentuk perjanjian kemitraan yang menurut Pasal 34 [wajib?] dituangkan dalam perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya mengatur kegiatan usaha, hak dan kewajiban masing-masing pihak, bentuk pengembangan, jangka waktu, dan penyelesaian perselisihan. Perjanjian kemitraan ini kemudian dilaporkan kepada pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sayangnya, Kendati KPPU adalah lembaga pengawas, tidak ada penegasan yang eksplisit bahwa KPPU adalah salah satu pihak yang harus diberikan laporan atas suatu perjanjian kemitraan.

Apabila dalam perjanjian kemitraan dipersyaratkan terdapat klausula penyelesaian perselisihan, maka besar kemungkinan di dalam klausula tersebut sudah ditentukan pilihan forum (choice of forum) ketika para pihak tidak berhasil menyelesaikan perselisihan secara internal di antara mereka sendiri. Pilihannya dapat ke pengadilan atau ke forum lain di luar pengadilan. Mekanisme penyelesaiannya pun dapat beragam. Sebagai contoh, mereka dapat memilih penyelesaian dengan meminta bantuan konsiliator, mediator, atau arbiter (arbitrator).

Dalam hal ini, apakah KPPU dapat berperan sebagai pihak ketiga untuk membantu penyelesaian perselisihan atas perjanjian kemitraan itu? Jawabannya, seharusnya “dapat” karena KPPU memang mengemban tugas melakukan pengawasan secara tertib dan teratur dan (bersama dengan instansi terkait) KPPU juga berwenang melakukan evaluasi atas pelaksanaan kemitraan itu (lihat Pasal 119 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM). Kendati demikian, kata kuncinya harus terlebih dulu mencermati apa isi klausula penyelesaian perselisihan dalam suatu perjanjian kemitraan. Benarkah memang ada pintu masuk bagi KPPU untuk terlibat, dalam hal ini sebagai mediator dalam perselisihan itu? Apabila para pihak sudah menunjuk forum lain, maka KPPU tentu harus menghormati pilihan tersebut untuk tidak cawe-cawe pada tahap ini. Bagaimanapun pilihan forum demikian sudah ada rambu-rambunya di dalam undang-undang lain, seperti UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Lain halnya jika para pihak itu sendiri yang kemudian mengabaikan pilihan forum tadi, lalu bersepakat untuk berpindah dengan meminta KPPU menjadi mediator.

Nah, di sini muncul persoalan baru, yakni di bagian mana dari alur penanganan perkara di KPPU yang dapat dicangkokkan mediasi untuk menyelesaikan problem perjanjian kemitraan ini? Perlu dicatat bahwa penyelesaian melalui proses adjudikasi di KPPU (menurut versi UU Nomor 5 Tahun 1999) tidak memposisikan satu pihak pelaku usaha berhadapan dengan pihak lainnya. KPPU yang justru berada dalam posisi berhadap-hadapan dengan pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran. Hal ini sangat berbeda dengan mekanisme mediasi, yaitu tatkala KPPU harus berada di tengah-tengah, menjembatani para pelaku usaha yang tengah berselisih. Demikian pula, hasil dari adjudikasi dilakukan oleh KPPU menurut pola UU Nomor 5 Tahun 1999 adalah berupa putusan, yang dengan demikian dapat diajukan keberatan bagi pihak yang tidak dapat menerima putusan itu. Hal ini berbeda dengan mekanisme mediasi, yang bermuara pada tercapainya perjanjian perdamaian di antara para pihak. KPPU di sini bukanlah aktor yang melahirkan perjanjian itu. Oleh karena para pihak itu sendirilah yang melahirkan perjanjian, maka sangat tidak beralasan jika ada di antara mereka kemudian mengajukan keberatan terhadap hasil kesepakatan yang ikut dibuatnya sendiri.

Jadi, KPPU perlu membedakan sejak awal jalur mediasi yang dilakukan untuk menjalankan amanat UU Nomor 20 Tahun 2008, dengan jalur adjudikasi ala UU Nomor 5 Tahun 1999. Proses mediasi itu mungkin sama, yaitu dapat bersumber dari laporan atau dari hasil pemantauan. Atas dasar itu KPPU menjalankan proses penyelidikan. Jika rapat Komisi memutuskan ada dugaan yang cukup bahwa perjanjian kemitraan tersebut tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana diamanatkan peraturan perundang-undangan dan/atau pelaksanaannya menyimpang dari prinisp saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan, maka rapat Komisi perlu mengambil keputusan: apakah akan langsung menempuh prosedur pemeriksaan pendahuluan atau “dibelokkan” dulu ke tawaran mekanisme mediasi. Apabila prosedur diteruskan ke mekanisme yang biasa, maka KPPU harus sadar bahwa dirinya bukan pihak ketiga yang menjalankan mekanisme mencari win-win solution bagi para pihak. Ini berbeda jika jalur “berbelok” tadi yang ditempuh. Jalur mediasi memposisikan KPPU bukan sebagai pihak yang menghakimi, melainkan sebagai penyedia fasilitas (fasilitator) yang mempertemukan kepentingan-kepentingan. Jalur ini tidak memberi diktum sanksi atau tindakan administratif. Namun, atas perjanjian perdamaian yang dicapai melalui mekanisme mediasi tersebut, KPPU wajib untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaannya, tentu saja dengan tetap berkoordinasi dengan instansi lain yang berwenang. Fungsi pengawasan ini terutama harus di bawah kontrol KPPU, sehingga ketika ada pihak yang melakukan pelanggaran atas isi perjanjian, KPPU dapat segera memproses pelanggaran itu melalui mekanisme yang juga sudah tersedia, yang dalam hal ini berpotensi untuk membawa kepada penjatuhan sanksi/tindakan administratif.

Boleh jadi tawaran-tawaran pemikiran sederhana seperti di atas dapat menjadi bahan pertimbangan seandainya KPPU berniat membentuk peraturan KPPU berkenaan dengan mediasi untuk program kemitraan ini. (***)


 


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close