People Innovation Excellence

MENELISIK KEBEBASAN BERPENDAPAT PASCA-PEMBATASAN PASAL PENYEBARAN HOAKS

Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (April 2024)

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 78/PUU-XX1/2023 menyatakan bahwa Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 1/1946 tentang penyebaran hoaks (berita bohong) inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Artinya pasal-pasal tersebut resmi dibatalkan dan tidak berlaku lagi. Hal ini menarik untuk ditelaah berkenaan dengan implikasi dari putusan tersebut, yang kebetulan penulis berkesempatan menjadi ahli dari pemohon dalam sidang di Mahkamah Konstitusi terkait permohonan peninjauan undang-undang ini.

Pasal-pasal yang dipermasalahkan di atas berasal dari Pemerintahan Kolonial Belanda yang secara khusus diberlakukan di wilayah jajahannya di Hindia Belanda. Pemerintah Kolonial sengaja membuat rumusan yang luas dan tidak jelas sehingga menjadi pasal ‘karet’. Dalam penerapannya, pasal ini sebenarnya terlupakan sampai munculnya perkara Ratna Sarumpaet di tahun 2018 lalu. Hasil penelusuran pada situs Mahkamah Agung terhadap putusan-putusan perkara penyebaran hoaks menunjukkan bahwa pasal ini tidak saja diterapkan kepada aktivis maupun tokoh publik yang mengkritik kebijakan pemerintah tetapi pasal ini mayoritas ditujukan kepada masyarakat umum, terutama pengguna internet yang membicarakan isu yang sedang menjadi perbincangan hangat pada masa itu. Misalnya pada tahun 2018 mengenai pemilihan umum, dan pada tahun 2020-2021 mengenai pandemik Covid-19.

Kriminalisasi penyebaran hoak terjadi karena tingkat literasi dan kesadaran masyarakat Indonesia yang kurang baik. Survei Katadata Insight Center dan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia menunjukkan bahwa pada masyarakat yang memiliki tingkat literasi rendah maupun yang memiliki tingkat literasi lebih tinggi mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi pesan yang ia terima merupakan bohong atau tidak. Adanya kesulitan untuk membedakan pesan bohong, tidak diikuti dengan kesadaran dan kehati-hatian dalam menyebarkan berita yang diterima. Hal ini menyebabkan kriminalisasi terhadap individu yang ikut-ikut meneruskan (forward) hoaks yang berasal dari pesan berantai.

Dalam Putusan No. 78/PUU-XX1/2023, Mahkamah Konstitusi memberikan perlindungan yang lebih luas terhadap kebebasan berpendapat terhadap pertanyaan politik dalam kerangka demokrasi.

Mahkamah menggarisbawahi tugas negara untuk dapat menerima setiap masukan atau kritik yang bersifat konstruktif sebagai bagian dari kebebasan berpendapat. Pembatasan kebebasan berpendapat tidak dapat dibenarkan apabila hanya menitikberatkan pada kebenaran isi pesan yang disampaikan karena penilaian akan kebenaran bersifat subjektif terutama pada masyarakat heterogen yang memiliki latar belakang nilai budaya, agama dan sosial yang berbeda beda. Lebih lanjut Mahkamah menyatakan bahwa pembatasan kebebasan berpendapat terutama dengan penggunaan hukum pidana (kriminalisasi) tidak dapat dibenarkan dengan menitikberatkan pada kebenaran isi pertanyaan yang disampaikan ke ruang publik. Terutama ketika perkembangan teknologi informasi membuat masyarakat dapat dengan cepat dan mudah diakses berita akan tetapi tanpa diimbangi dengan pengetahuan dan kemampuan untuk mengetahui kebenaran isi berita tersebut.

Pandangan Mahkamah Konstitusi yang memberikan perlindungan terhadap kebebasan berpendapat dengan membatasi penggunaan hukum pidana telat tepat. Akan tetapi bukan berarti kriminalisasi terhadap penyebaran hoaks selalu bertentangan dengan kebebasan berpendapat.   Kriminalisasi terhadap perbuatan menyebarluaskan hoak hanya dapat dibenarkan apabila ada kesengajaan untuk mengakibatkan kerusuhan dengan menyebarluaskan hoaks. Misalnya hoak (tahun 2019) mengenai bendera merah putih dibuang diselokan di depan asrama mahasiswa Papua di Surabaya yang mengakibatkan anggota organisasi masyarakat menyerang asrama Papua. Pada perkara ini sudah sepatutnya pelaku dimintakan pertanggung jawaban hukum. Pembatasan kriminalisasi akan melindungi kepentingan umum dan kebebasan berpendapat.

Pasal Serupa dalam KUHP dan Perubahan Kedua UU ITE

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 78/PUU-XX1/2023, apakah Indonesia benar-benar menghapuskan tindak pidana penyebaran hoaks? Tindak pidana penyebaran hoak tidak saja diatur dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 1/1946 namun juga diatur dalam Pasal 263 ayat (1), (2) dan Pasal 264 KUHP (UU No. 1/2023) dan Pasal 28 (3) Jo. 45A (3) Perubahan Kedua UU ITE (UU No. 1/2024). Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak secara mutatis mutandis membatalkan tindak pidana penyebaran hoaks pada kedua undang-undang tersebut. Hal tersebut didasarkan pada beberapa pertimbangan.

Pertama, para pemohon dalam perkara No. 78/PUU-XX1/2023 hanya memohon pembatalan pasal penyebaran hoak dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 1/1946. Di sisi lain Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian materi terhadap undang-undang tidak dapat memutus di luar dari apa yang diminta para pemohon.

Kedua, terdapat perbedaan norma tindak pidana penyebaran hoaks dalam UU No. 1/1946 dengan KUHP dan Perubahan Kedua UU ITE. Pasal 14 dan 15 UU No. 1/1946 menggunakan kata ‘keonaran’. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kata ‘keonaran’ memiliki pengertian yang ambigu dan multitafsir sehingga menimbulkan ketidakjelasan terkait ukuran dan parameter yang menjadi batas bahaya. Terlebih dengan perkembangan teknologi informasi saat ini, ketika suatu pernyataan yang belum teruji kebenarannya menimbulkan diskurus di internet dapat dikategorikan sebagai ‘keonaran’ karena menimbulkan pro dan kontra di antara para warga net. Berbeda dengan KUHP dan Perubahan Kedua UU ITE, kata ‘keonaran’ diganti dengan kata ‘kerusuhan’. Penggunaan kata ‘kerusuhan’ menunjukkan adanya kepentingan umum yang hendak dilindungi dari adanya bahaya konkret dari penyebaran hoaks. Adanya kerusuhan akibat dari penyebaran hoaks menunjukkan adanya ukuran dan parameter bahaya yang jelas dan nyata sehingga layak untuk dikriminalisasi.

Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi No. 78/PUU-XX1/2023 tidak serta merta menghapus tindak pidana penyebaran hoak di Indonesia. Tindak pidana penyebaran hoak dalam Perubahan Kedua UU ITE saat ini masih berlaku. Demikian halnya dengan pasal penyebaran hoak dalam KUHP yang akan mulai berlaku pada tahun 2026 mendatang. Tentu perlu cermati penerapan pasal-pasal penyebaran hoak dalam kedua undang-undang tersebut. Apakah perubahan norma dalam kedua undang-undang tersebut memberikan perlindungan atau justru mengekang kebebasan berpendapat di ruang publik. 

Pengaturan Moderasi Konten dalam UU ITE  

Terlepas apakah nantinya pasal penyebaran hoak dalam KUHP dan Perubahan Kedua UU ITE akan dinyatakan mutatis mutandis dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 78/PUU-XX1/2023, dengan dibatalkannya pasal tindak pidana penyebaran hoak tidak menjadikan masyarakat dengan bebas menyampaikan kebohongan di internet. Terdapat peraturan mengenai moderasi konten sebagai dasar untuk mengatur peredaran konten hoak di internet.

Perubahan Kedua UU ITE memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah untuk melakukan moderasi konten. Pemerintah dengan dasar untuk melindungi kepentingan umum dapat melakukan penghentian peredaran konten bermasalah. Termasuk memerintahkan perantara internet (termasuk platform sosial media) untuk menghentikan dan memoderasi konten bermasalah serta memberikan sanksi apabila perantara internet tidak melakukan perintah moderasi konten. Di satu sisi, ketentuan ini memperluas kewajiban perantara internet dalam memodersi konten. Sebelumnya perantara internet melakukan moderasi konten berdasarkan pada kebijakan yang mereka buat sendiri. Adanya ketentuan ini untuk menyesuaikan pandangan perantara internet dengan pemerintah mengenai kategori konten bermasalah, serta memudahkan untuk  pengawasan dan penindakan terhadap konten bermasalah. Akan tetapi di sisi lain ketentuan ini dapat menjadi ancaman bagi kebebasan berpendapat. Terutama ketika suatu kritik dapat diberi ‘label’ hoak dan konten mengganggu masyarakat sehingga harus dihentikan peredarannya.

Pada akhirnya, putusan Mahkamah Konstitusi No. 78/PUU-XX1/2023 memang memberikan angin segar bagi kebebasan berpendapat. Terutama untuk mengajukan kritik terhadap pemerintah sebagai bagian dari partisipasi demokrasi. Akan tetapi potensi pengekangan terhadap kebebasan berpendapat tetap ada. KUHP dan Perubahan Kedua UU ITE yang masih membatasi penyampaian pendapat di ruang publik dengan menitikberatkan adanya nilai kebenaran dari pendapat tersebut. (***)



Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close