Oleh SHIDARTA (Februari 2024)
Kita sudah melewati centang perenang Pemilu 2024. Salah satu episode yang saya rasakan cukup “memilukan” pada saat Pemilu adalah model-model berkampanye yang membingungkan, alih-alih mencerahkan kita. Boleh jadi, semua berawal dari ketidakjelasan definisi tentang kampanye itu sendiri.
Sebagai contoh indikasinya, Presiden Jokowi dalam keterangan pers di Sumatera Utara, sebagaimana dilansir siaran YouTube Sekretariat Presiden (7 Februari 2024) dan dikutip berbagai media massa, menyatakan sebagai berikut:
“Yang bilang siapa [saya mau ikut kampanye]? Ini, ini, ini saya ingin tegaskan kembali, pernyataan saya yang sebelumnya. Bahwa presiden memang diperbolehkan undang-undang untuk berkampanye, Dan juga sudah pernah saya tunjukkan bunyi aturannya. Tapi, jika pertanyaannya apakah saya akan ikut kampanye? Saya jawab tidak. Saya tidak akan berkampanye.”
Intinya, Presiden ingin mengatakan bahwa ia tidak berkampanye! Apakah maksud berkampanye Pemilu di sini dimaknai beliau sebagai semata-mata tampil di atas panggung dan ikut berpidato memporomosikan salah satu partai politik atau pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden? Semoga tidak demikian maksud beliau.
Lalu, apa artinya kampanye Pemilu menurut kriteria hukum positif? Mari kita telisik ketentuannya menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Kampanye Pemilu, menurut Pasal 1 butir 35, adalah “Kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu.” Berangkat dari definisi di atas, pemaknaan kampanye Pemilu sangat luas karena semua tawaran kampanye pada ujungnya pasti berkaitan dengan pencitraan diri para kontestan yang sedang berlaga.
Ironisnya, selama masa kampanye berlangsung, kita semua menyaksikan Presiden Jokowi sangat rajin muncul dalam spanduk dan iklan televisi salah satu partai politik, yang notabene partai itu adalah “Peserta Pemilu” juga. Dalam iklan Partai Solidaritas Indonesia, misalnya, Presiden mengucapkan dengan lantang “PSI, menang pasti menang!”
Tampilnya Presiden di iklan media massa seperti ini apakah dapat dikategorikan sebagai berkampanye? Pertanyaan inilah yang ingin kita elaborasi dalam tulisan ini.
Apabila kita merujuk pada definisi “kampanye” tentu pernyataan “menang pasti menang” ini adalah sebuah materi kampanye. Misi partai tersebut memang ingin menang dalam Pemilu. Iklan di televisi itu sendiri adalah sarana untuk berkampanye yang memang secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 275 Undang-Undang Pemilu. Dinyatakan dalam pasal itu bahwa kampanye Pemilu dapat dilakukan melalui pertemuan terbatas; pertemuan tatap muka; penyebaran bahan kampanye Pemilu kepada umum; media sosial; iklan media massa cetak, media massa elektronik, dan internet; rapat umum; debat pasangan calon tentang materi kampanye pasangan calon; dan kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye Pemilu dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, sekalipun mengaku tidak berkampanye, sesungguhnya Presiden dapat dikualifikasikan sebagai sudah berkampanye karena membiarkan dirinya tampil di iklan sebuah partai politik selama musim kampanye Pemilu.
Dapat diduga bahwa secara formal nama Joko Widodo tidak dicantumkan sebagai orang yang ditunjuk oleh Pelakana Kampanye dan/atau dibentuk oleh Tim Kampanye, serta tidak didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota). Artinya, bakal ada dalih bahwa dengan demikian Presiden sebenarnya tidak sedang berkampanye karena ia tidak terdaftar secara resmi. Jika memang demikian alasannya, hal ini justru makin mempertegas bahwa ada sesuatu yang sudah dilanggar menurut ketentuan Pasal 272 Undang-Undang Pemilu. Pihak yang melanggar dapat mengacu ke pemrakarsa dan/atau perusahaan periklanan yang memproduksi iklan tersebut. Bahkan, apabila mengacu ke Etika Pariwara Indonesia, dapat juga ditengarai kontribusi atas pelanggaran itu pada media massa yang menayangkannya. Dan, potensi pelanggar yang lain tentu si “bintang” iklannya karena ia tidak pernah berkeberatan dirinya digunakan sebagai model iklan padahal ia tidak terdaftar di otoritas penyelenggara Pemilu.
Apabila kita mengkualifikasi fenomena di atas sebagai pelanggaran Undang-Undang Pemilu, maka apakah pelanggaran serupa juga terjadi jika sosok Presiden dimunculkan pada spanduk-spanduk yang berjejer di pinggir-pinggir jalan? Dengan perkataan lain, apabila Presiden Jokowi juga hadir pada spanduk-spanduk itu, apakah berarti dirinya juga beriklan?
Sekali lagi, apabila kita konsisten dengan ketentuan Pasal 1 butir 35 dan Pasal 275 Undang-Undang Pemilu, spanduk-spanduk itu juga adalah bahan kampanye yang disebarkan kepada umum yang memuat visi-misi dan/atau pencitraan diri. Oleh sebab itu, cara-cara berkampanye yang memajang foto figur-figur tertentu yang BUKAN Peserta Pemilu, sudah selayaknya tidak diteruskan lagi pada masa mendatang. Terlepas ada strategi “co-branding” yang diajarkan dalam ilmu marketing, tabiat yang mendompleng figur-figur terkenal guna membayang-bayangi seorang kontestan politik sungguh memperlihatkan anomali dalam kualitas perpolitikan kita setelah 78 tahun negeri ini memekikkan kemerdekaannya. Partai-partai politik beserta dengan kontestan yang mengadu peruntungan di dalamnya, mengambil cara-cara instan dan pragmatis, yang sungguh kontradiktif dengan tuntutan sikap kematangan, kedewasaan, dan kemandirian yang semestinya diperlihatkan oleh para calon pemimpin bangsa yang mengklaim dirinya sebagai representasi rakyat Indonesia. Untuk kursi DPR, saat ini terdapat 580 kursi yang diperebutkan oleh para konstestan dari 84 daerah pemilihan (dapil). Oleh karena penduduk yang memiliki hak pilih pada tahun 2024 ini berjumlah 204,8 juta orang, maka berarti di belakang setiap kursi terselip amanat 350 ribuan orang. Seyogianya pada setiap kursi itu duduk seorang figur pilihan yang mewakili kepentingan rakyat dan bekerja dengan hikmat kebijaksanaan, dan bukan dikendalikan oleh semangat pendomplengan.
Tulisan pendek ini sengaja dihadirkan saat ini, tatkala momentum kampanye Pemilu 2024 sudah lewat. Tujuannya agar kita dapat merefleksikan semua ini secara lebih jernih. Sudah saatnya kita mendapati contoh-contoh konkret tentang bagaimana pemimpin bangsa kita, khususnya yang berkiprah di arena politik, berkomitmen menegakkan pendidikan politik yang baik bagi segenap bangsa di masa depan. Kita juga patut berharap agar kualitas Pemilu kita makin meningkat dari waktu ke waktu. Preseden untuk berkomitmen demikian perlu dimulai dari tokoh tertinggi di negeri ini, yakni sang Presiden.
Jika tekad seperti itu tidak pernah terbersit di sanubari kita dan tidak ingin kita tunjukkan secara gamblang, maka percayalah bahwa Pemilu di negeri ini benar-benar hanya jadi pemilu (pembuat pilu). (***)