People Innovation Excellence

UCDOS (Mertonian Norms)

Oleh SHIDARTA (Januari 2024)

Mungkin ada di antara kita yang pernah mengagumi sejumlah ilmuwan yang dulu memiliki pikiran bernas dan terbilang objektif, tetapi pada satu titik tertentu, kita mendapati orang yang kita kagumi itu telah berubah karena pandangannya kini menjadi partisan, dalam arti pragmatis, sesuai pesanan. Perubahan seperti ini dapat disebabkan berbagai alasan. Salah satunya, sangat mungkin karena mereka kini bergabung dalam barisan pendukung caleg atau capres tertentu yang tengah berlaga di kancah perpolitikan nasional.

Jika pada musim pemilu lima tahun lalu mereka menyerang habis-habisan kubu lawan, maka karena perubahan peta politik, sekarang mereka justru membela mati-matian pihak yang dulu pernah diserang itu. Begitulah! Kita mencermati, sekalipun sang figur dari kelompok yang diusung membuat kekeliruan, para pakar yang dimintai pendapatnya harus berani pasang badan sebagai “bumper” guna mencari argumen pembenarannya. Mereka kerap mengemukakan pendapat masing-masing tanpa meninggalkan atribut kepakaran mereka, sehingga terkesan pemikiran itu sejalan dengan latar belakang keilmuan yang dimiliki.

Apakah ada yang salah dari sikap ilmuwan untuk menjadi partisan dan pragmagis? Jika pertanyaan ini diajukan ke para sofis yang hidup di era Socrates, mereka akan memberi permakluman karena, menurut kelompok ini, tidak pernah ada ukuran kebaikan yang universal. Di kutub berseberangan ada Socrates yang meyakini tentang objektivitas kebaikan dan kebenaran.

Di tengah bertaburannya pembenaran yang mengatasnamakan kebenaran, kita mungkin perlu mencari pegangan seperti apa seorang ilmuwan seyogianya bersikap. Pencarian ini membawa kita pada sosiolog Robert K. Merton (The Normative Structure of Science,1942), yang pernah menawarkan empat hal yang di kemudian hari dikenal sebagai Mertonian Norms. Empat hal itu dapat disingkat menjadi UCDOS, yaitu akronim dari: universalism, communalism, disinterestedness, dan organized skepticism. Ada referensi yang menyingkat empat norma di atas dengan CUDOS, dengan alasan lebih mudah diucapkan, tetapi tampaknya kita perlu konsisten dengan naskah awal Merton dalam pengurutan tersebut. Keempat norma tersebut disebut beliau sebagai empat rangkaian keharusan institusional tentang etos keilmuan modern (four sets of institutional imperatives are taken to comprise the ethos of modern science).

Dalam tulisan ini, kita dapat menggunakan norma-norma ini sebagai batu penguji untuk menakar keyakinan kita berkenaan dengan predikat “ilmuwan” yang kerap kita lekatkan pada seseorang, termasuk mungkin pada diri kita sendiri.

Kita mulai dari universalisme. Dalam hal ini ilmuwan harus menerima posisi pengetahuan ilmiah sebagai pengetahuan yang bebas dari prasangka. Kapasitas seorang ilmuawan tidak diukur dari latar belakang warna kulit, keturunan, kedudukan sosial, keyakinan agama, ideologi, dan/atau kecenderungan politik. Kapaitasnya diukur dari kontribusi yang diberikan. Tatkala berargumentasi, ia fokus pada isi argumen (argumentum ad rem), bukan pada siapa yang mengutarakan (argumentum ad hominem). Ini berarti jika seseorang masih ingin mempertahankan predikatnya sebagai ilmuwan, ia harus siap menerima pendapat pihak manapun yang menyuarakan kebenaran yang disampaikan secara argumentatif, kendati pendapat itu diajukan oleh kubu yang berseberangan dengan dirinya. Ilmuwan, dengan tidak demikian, tidak mungkin berkarakter rasis atau chauvinis. Merton mengatakan bahwa norma imperatif universalisme ini mengakar-dalam pada karakter ilmu yang bersifat impersonal (the imperative of universalism is rooted deep in the impersonal character of science).

Selanjutnya adalah komunalisme. Dalam tulisan aslinya, Merton memakai kata “communism” lengkap dengan diapit oleh tanda kutip. Istilah “communism” tersebut merujuk pada pengertian non-teknis dan luas mengenai kepemilikan bersama atas barang-barang. Menurutnya, hal ini merupakan elemen integral kedua dari etos ilmiah. Temuan-temuan substantif ilmu pengetahuan merupakan produk kolaborasi sosial dan ditugaskan kepada masyarakat. Komunalisme membawa pesan agar siapapun yang mengaku menjadi ilmuwan harus memperlakukan pengetahuan ilmiah yang didapatnya itu sebagai lahan terbuka untuk diakses dan tidak boleh ada hambatan terhadap arus informasi di kalangan ilmuwan. Di dalamnya sekaligus ada semangat untuk terus produktif dan senang berbagi. Norma ini juga menekankan tentang hubungan kolegial dan egaliter di antara sesama anggota komunitas ilmuwan. Atas dasar komunalisme, maka seorang ilmuwan tidak boleh menyembunyikan (ia secara eksplisit mengatakan “Secrecy is the antithesis of this norm”), apalagi apabila sampai-sampai memanipulasi fakta dengan iktikad buruk untuk tujuan-tujuan sempit. Komunalisme memungkinkan ada atmosfer saling mengawasi, sehingga terjaga integritas keilmiahan itu. Artinya, apabila ada seseorang yang mengaku ilmuwan tetapi tidak jelas apa produk keilmuannya yang spesifik, atau berkarya tetapi dengan cara manipulatif atas kebenaran, atau berkarya tetapi pelit untuk saling berbagi, maka itu tanda-tanda bahwa sejatinya ia bukan ilmuwan.

Merton memang menyadari ada perlindungan legal atas karya ilmiah dalam wujud hak kekayaan intelektual. Namun, ia mengingatkan tentang bahaya dari konsep “private property” dalam ekonomi kapitalistis seperti itu karena sering berujung mubazir. Ia menunjuk betapa banyak temuan ilmiah yang dipatenkan, namun tidak memberi manfaat bagi masyarakat luas, bahkan tidak terpakai sama sekali akibat dipagari dengan hak eksklusif bermotifkan komersialisasi. Pandangan demikian pernah muncul dalam pertimbangan hakim di Amerika Serikat dalam kasus Pemerintah melawan American Bell Telephone Co. (1897). Di situ hakim menyatakan, “The inventor is one who has discovered something of value. It is his absolute property. He may withhold the knowledge of it from the public.” Merton mendukung semangat untuk mengubah model hukum kekayaan intelektual yang menurutnya bertentangan dengan etos ilmiah kaum ilmuwan.

Disinterestedness adalah norma ketiga yang dipesankan oleh Merton. Kata ini secara harfiah berarti “ketidaktertarikan,” tetapi lebih pas sebenarnya dimaknai sebagai objektivitas. Norma ini meminta setiap ilmuwan untuk menghormati  objektivitas pengetahuan illmiah, terlepas dampaknya akan menguntungkan atau tidak menguntungkan bagi suatu kelompok. Tidak boleh ada kepentingan eksternal, seperti kekuasaan, uang, atau bahkan ideologi sekalipun, yang mampu membuat pengetahuan ilmiah bertekuk lutut menyesuaikan diri dengan kepentingan itu. Objektivitas ilmiah tidak dapat dibeli dengan tawaran kekuatan eksternal apapun di luar keilmiahan itu sendiri. Intinya, ilmuwan sejati pasti bukan oportunis, yang rela menggadaikan objektivitas keilmuannya untuk kepentingan sesaat.

Pada uraian norma ketiga ini, ada catatan menarik dari Merton dalam membedakan posisi kaum saintis dengan praktisi profesional seperti dokter dan pengacara. Hal ini karena saintis, menurutnya, tidak berhadapan langsung dengan orang awam, seperti halnya para praktisi yang memposisikan orang lain sebagai klien. Dalam hal ini posisi para saintis dapat lebih menghindar dari kemungkinan mengeksploitasi orang lain daripada para praktisi tadi. Namun, saya kira, para dokter dan pengacara juga ilmuwan kendati bekerja di area ilmu-ilmu praktis (nomologis dan normologis). Justru karena mereka senantiasa berhadapan langsung dengan orang awam itu, menuntut mereka untuk lebih sadar tentang keluhuran profesi masing-masing. Isu tentang etika menjadi lebih relevan bagi para ilmuwan-praktisi tadi karena mereka bersentuhan langsung dengan kebutuhan konkret masyarakat di sekitarnya.

Terakhir, adalah skeptisisme terorganisasi, yang mengandung arti bahwa pengetahuan ilmiah harus dapat dipertanyakan atau diuji kebenarannya. Dengan perkataan lain, pengetahuan ilmiah tidak boleh diterima begitu saja hanya karena kita mengikuti tradisi atau otoritas tertentu. Skeptisisme terorganisasi ini, menurut Merton, memiliki keterkaitan yang beragam dengan elemen tiga etos ilmiah di atas, sehingga merupakan mandat metodologis sekaligus institusional (both a methodological and an institutional mandate). Di satu sisi kaum ilmuwan ingin tidak tergopoh-gopoh memberi penilaian atas suatu pemikiran, tetapi di sisi lain ada kemungkinan sikap seperti itu justru dihadapi secara tidak sabar oleh institusi tertentu (misalnya pandangan kaum agamawan). Artinya, konflik dapat saja terjadi. Saya kira, konflik seperti itu memang menjadi takdir yang harus dihadapi seorang ilmuwan karena ia berada pada titik berdiri yang cenderung meragukan apapun, bukan meyakini (mengimani). Ilmuwan pertama-tama tidak mengambil sikap “fides quaerens intellectum.” 

Norma skeptisisme terorganisasi dari Merton ini juga mengingatkan saya pada pesan Karl Popper untuk selalu berupaya memfalsifikasi suatu pemikiran ilmiah daripada hasrat selalu memverifikasinya (cari kemungkinan salahnya, bukan cari benarnya). Ia mengritik semangat mengekor, dengan sekadar menderivasi pandangan orang lain yang eksis sebelumnya, sehingga pada gilirannya suatu pandangan dikesankan sebagai mutlak benar dan mulai kehilangan ciri spekulatifnya. Ini berarti, pada sisi sebaliknya, setiap ilmuwan seharusnya siap untuk dikritik karena menyadari kemungkinan pendapatnya mungkin saja keliru, dan pendapat orang lain boleh jadi lebih mengandung kebenaran. Atas dasar norma keempat ini, ilmuwan sejati tidak mungkin senang menyanjung dirinya sendiri dengan cara mendungu-dungukan orang lain.

Mertonian Norms di atas, apabila disaripatikan, berfokus pada perlunya pengetahuan ilmiah yang menjunjung tinggi semangat berbagi, imparsialitas, objektivitas, dan evaluasi kritis. Di dalamnya sekaligus ada aspek kerendah-hatian atau kesantuan intelektual (humility; intellectual modesty) sebagai etos ilmiah. Kerendah-hatian memberi pesan agar ilmuwan sadar bahwa pendapatnya sangat mungkin keliru, sehingga semuanya wajib ia sampaikan secara santun tanpa perlu mempermalukan sesama rekan diskursus.

Jadi, pendek kata, UCDOS ini dapat membantu kita untuk mengintrospeksi diri. Jangan-jangan kita sendiri selama ini kerap berperilaku sama seperti para “politisi” yang berlagak ilmuwan atau “ilmuwan” yang berlagak politisi.  Wallahualam. (***)



Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close